Surau.co. Dalam tradisi pesantren, kitab Fathul Qorib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili selalu menempati posisi istimewa. Kitab ini tidak hanya menjadi rujukan fiqih dasar, tetapi juga berfungsi sebagai pondasi pembentukan karakter santri. Karena itu, Fathul Qorib hadir sebagai jembatan yang menghubungkan ilmu dan akhlak, sehingga pemahaman hukum berkembang seiring tumbuhnya kesadaran moral. Maka, ketika membicarakan Fathul Qoribdan pendidikan karakter, kita bukan sekadar menelaah teks hukum, melainkan menyingkap ruh pendidikan Islam: ilmu yang melahirkan adab.
Akhlak dan Ilmu: Dua Sayap Santri dalam Meniti Jalan Ilahi
Fenomena di pesantren menunjukkan bahwa pembelajaran Fathul Qorib tidak berhenti pada tataran intelektual. Sebaliknya, santri diajak memahami makna wudhu, shalat, dan muamalah sebagai cermin kebersihan hati serta keteraturan hidup. Dengan demikian, ilmu fiqih berubah menjadi wadah bagi pembiasaan diri untuk tertib, disiplin, dan penuh tanggung jawab.
Syekh al-Ghazi dalam Fathul Qorib menulis:
“الطهارة شرط في صحة الصلاة”
“Kesucian adalah syarat sahnya shalat.”
(Fathul Qorib, Bab Thaharah)
Makna kesucian tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga sisi spiritual. Ketika seseorang menjaga wudhunya, ia belajar membersihkan diri dari dosa kecil. Selain itu, proses tersebut melatih kesadaran moral—bahwa kebersihan lahir dan batin selalu berjalan beriringan. Nilai inilah yang menguatkan karakter jujur, tangguh, dan sadar diri dalam berbagai tindakan.
Fathul Qorib: Cermin Kedisiplinan dan Kejujuran
Dalam keseharian, santri terus mengulang pelajaran fiqih dengan penuh kedisiplinan. Mereka tidak hanya menulis dan menghafal, tetapi juga meneladani perilaku guru yang mencerminkan nilai kitab. Karena itu, kedisiplinan tumbuh sebagai wujud nyata dari ilmu yang mereka pelajari.
Syekh al-Ghazi kembali menegaskan:
“ولا تصح الصلاة إلا بطهارة عن الحدث والنجس”
“Shalat tidak sah kecuali dalam keadaan suci dari hadats dan najis.”
(Fathul Qorib, Bab Shalat)
Kebiasaan menjaga kebersihan serta ketelitian dalam beribadah membentuk rasa tanggung jawab dan kejujuran. Santri terbiasa memeriksa diri: apakah sudah suci, sudah benar arah kiblatnya, serta sudah tepat niatnya. Dengan demikian, fiqih melatih kontrol diri yang menjadi modal penting dalam pendidikan karakter.
Ilmu Fiqih Sebagai Jalan Etika Sosial
Selain berbicara tentang ibadah individu, fiqih juga mengatur interaksi sosial. Fathul Qorib menjelaskan aturan jual beli, hutang, pernikahan, dan warisan. Seluruh pembahasan itu hadir untuk menjaga keadilan. Karena itu, santri belajar beretika, berempati, dan bersikap adil ketika hidup bermasyarakat.
Syekh al-Ghazi menulis:
“البيع مبادلة مال بمال على وجه مخصوص”
“Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta menurut cara tertentu.”
(Fathul Qorib, Bab Jual Beli)
Selain memberikan definisi hukum, kutipan ini menegaskan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam transaksi. Santri memahami bahwa mencari rezeki selalu berkaitan dengan tanggung jawab moral. Ketika seseorang menipu, ia tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga melukai integritas dirinya di hadapan Allah.
Dari Hal Fiqih ke Laku Hidup
Selanjutnya, kehidupan sehari-hari santri menunjukkan bahwa setiap hukum dalam Fathul Qorib memiliki makna batin. Mereka tidak hanya mempelajari apa yang halal atau haram, tetapi juga memahami alasan spiritual di balik setiap aturan. Inilah inti pendidikan karakter dalam Islam: memahami hukum dengan hati.
Syekh al-Ghazi menulis dengan penuh kelembutan:
“والنية شرط في جميع العبادات”
“Niat adalah syarat dalam seluruh ibadah.”
(Fathul Qorib, Bab Niat)
Niat menjadi akar keikhlasan. Dalam pendidikan karakter, ikhlas berarti bertindak tanpa pamrih dan menghindari riya. Karena itu, santri yang memahami makna niat tidak hanya menjalankan ritual dengan benar, tetapi juga berbuat baik karena Allah semata.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memperkuat ajaran Fathul Qorib: fiqih harus dipahami dengan hati yang bersih, sehingga amal menjadi benar.
Menumbuhkan Jiwa Rahmatan lil ‘Alamin
Dalam kerangka besar pendidikan Islam, Fathul Qorib bukan hanya menuntun santri mengenal hukum, tetapi juga mengenal Allah dan makhluk-Nya. Bab demi bab mengajak mereka menelusuri jejak rahmat—bagaimana Islam mengatur kehidupan agar penuh kasih, seimbang, dan manusiawi.
Al-Qur’an menegaskan:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat tersebut memperlihatkan puncak ajaran fiqih dalam Fathul Qorib. Ilmu hukum tanpa rahmat akan kering, sedangkan rahmat tanpa ilmu akan kehilangan arah. Karena itu, fiqih dan akhlak harus berjalan bersama.
Refleksi Akhir: Fathul Qorib Sebagai Sekolah Hati
Pada akhirnya, Fathul Qorib di pesantren tidak hadir sebagai kitab kuning yang dibaca secara datar. Sebaliknya, kitab ini menjadi cermin kehidupan. Setiap hukum mengandung pesan cinta, setiap larangan menyimpan kebijaksanaan. Pendidikan karakter melalui fiqih tidak berhenti di ruang kelas; ia hadir dalam keseharian—dalam cara santri menghormati guru, berbagi dengan teman, dan menjaga waktu shalat.
Dengan demikian, Fathul Qorib mengajarkan bahwa belajar fiqih berarti belajar menjadi manusia yang tahu batas, tahu adab, dan tahu makna hidup. Karena itu, pendidikan Islam akan terus melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dalam hukum, tetapi juga lembut dalam hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
