Surau.co. Kitab Taqrib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili bukan hanya teks klasik keagamaan. Sebaliknya, kitab ini berperan sebagai jembatan spiritual antara dunia Arab dan dunia Melayu-Nusantara. Sejak pertama kali para kiai mengajarkannya di pesantren-pesantren Jawa, Fathul Qorib tumbuh menjadi “ruh” pembelajaran fikih dasar dalam madzhab Syafi’i.
Selain itu, Taqrib tidak hadir sebagai bacaan wajib semata. Kitab ini justru menciptakan dialog panjang antara guru dan murid—antara Gaza yang jauh dan tanah Jawa yang haus ilmu. Di Gaza, Syekh al-Ghazi menulis dengan bahasa ilmu; di Jawa, para kiai meresponsnya dengan kehangatan rasa. Oleh karena itu, perpaduan keduanya membuat kitab ini tetap hidup hingga sekarang.
Dalam pengantarnya, Syekh al-Ghazi menulis:
“وَسَمَّيْتُهُ فَتْحَ الْقَرِيبِ الْمُجِيبِ فِي شَرْحِ أَلْفَاظِ التَّقْرِيبِ”
“Aku menamainya Fathul Qorib al-Mujib sebagai penjelasan atas lafaz-lafaz dalam At-Taqrib.”
(Fathul Qorib, Muqaddimah)
Kata al-Mujib (Yang Mengabulkan) seolah menjadi doa. Lebih jauh lagi, Syekh al-Ghazi berharap agar ilmu yang ia tulis dengan tulus benar-benar memberi manfaat, termasuk bagi wilayah Nusantara.
Pesantren dan Nafas Panjang Sebuah Tradisi
Fenomena sehari-hari di pesantren menunjukkan bagaimana Fathul Qorib bukan hanya buku, tetapi juga “teman zikir” bagi para santri. Ketika fajar menyingsing, santri membaca kalimat-kalimat Syekh al-Ghazi di bawah cahaya temaram lampu minyak. Suasana itu menghadirkan kekhusyukan yang sulit ditemui di tempat lain.
Setelah menempuh perjalanan panjang—dari Gaza, Damaskus, hingga Gresik, Jombang, dan Madura—Fathul Qoribterus beradaptasi. Dalam prosesnya, kitab ini diterjemahkan, disyarah, dan diajarkan dengan langgam lokal. Bahkan, pada beberapa tradisi pengajian, para kiai mengiringi pembelajaran dengan tembang Jawa.
Syekh al-Ghazi menegaskan dalam salah satu bagiannya:
“وَيُسْتَحَبُّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ…”
“Setiap Muslim disunnahkan mempelajari ilmu yang ia butuhkan dalam urusan agamanya.”
(Fathul Qorib, Kitab Thaharah)
Pesan ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ:
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ…”
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua kutipan tersebut menunjukkan bahwa Fathul Qorib hadir sebagai ajakan untuk memahami kehidupan dengan panduan syariat yang mencerahkan.
Ketika Ilmu Menyatu dengan Laku
Di Jawa, para santri tidak hanya membaca Fathul Qorib; mereka justru menghidupinya. Setiap pelajaran tentang wudhu, tayamum, shalat, atau zakat dijalani dengan kesadaran penuh—bahwa ibadah tidak berhenti pada ritus, tetapi membuka jalan menuju kebersihan jiwa.
Syekh al-Ghazi menjelaskan:
“الطَّهَارَةُ نِصْفُ الْإِيمَانِ”
“Kesucian adalah separuh dari iman.”
(Fathul Qorib, Bab Thaharah)
Oleh karena itu, definisi kesucian tidak berhenti pada air dan tanah. Para kiai mengembangkan maknanya hingga mencakup kejernihan hati, kemurnian niat, dan keteduhan perilaku. Dengan begitu, Fathul Qorib mengajarkan thaharah jasmani dan thaharah batin secara bersamaan.
Di pesantren modern, kitab ini tetap diajarkan. Bukan sekadar untuk menjaga tradisi, tetapi karena nilai-nilainya relevan dengan era digital yang serba cepat. Fathul Qorib mengingatkan para santri untuk berhenti sejenak, menata ulang niat, dan kembali kepada keseimbangan batin yang meneduhkan.
Spirit Keilmuan yang Menyatukan Timur dan Barat Nusantara
Perjalanan Fathul Qorib di dunia Melayu-Nusantara menunjukkan fleksibilitas Islam dalam berdialog dengan lokalitas. Di Aceh, kitab ini berdampingan dengan tafsir klasik. Selanjutnya, di Kalimantan dan Sulawesi, kiai memakainya sebagai rujukan hukum keluarga. Bahkan, di pesantren besar seperti Gontor atau Lirboyo, Fathul Qorib selalu menjadi dasar sebelum para santri menuju karya-karya besar seperti Fathul Mu’in atau Tuhfatul Muhtaj.
Syekh al-Ghazi menulis:
“وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ”
“Tempat niat adalah di dalam hati.”
(Fathul Qorib, Bab Niyyah)
Kalimat itu relevan sepanjang masa, sebab ia mengingatkan manusia bahwa nilai amal terletak pada niat. Al-Qur’an pun menegaskan:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ…
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar: 9)
Oleh karena itu, ilmu dalam Fathul Qorib menjadi cahaya yang tidak hanya menerangi aturan, tetapi juga menghidupkan hati.
Cahaya Ilmu yang Terus Menyala
Kini, ratusan tahun setelah Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi wafat, Fathul Qorib tetap mewarnai identitas pesantren Indonesia. Kitab ini menghubungkan Gaza yang penuh debu peperangan dengan pesantren-pesantren sunyi di lereng Gunung Muria. Keduanya bertemu dalam satu simpul: cinta kepada ilmu.
Dari halaman ke halaman, para pembaca merasakan pesan lembut sang pengarang: jangan berhenti belajar, karena ilmu tidak mengenal batas waktu. Selain itu, keikhlasan menjadi fondasi yang membuat kitab ini terus bermanfaat.
Syekh al-Ghazi menutup karyanya dengan doa:
“وَسَأَلْتُ اللَّهَ أَنْ يَنْفَعَ بِهِ…”
“Aku memohon agar Allah memberi manfaat melalui kitab ini sebagaimana Dia memberi manfaat dengan kitab asalnya.”
(Fathul Qorib, Khitam)
Doa itu kini terjawab dalam kehidupan ribuan pesantren, di setiap santri yang belajar dengan cinta, dan di setiap guru yang mengajar dengan kesabaran.
Refleksi: Dari Gaza, untuk Dunia Pesantren
Pada akhirnya, Fathul Qorib tidak hanya mengajarkan hukum. Kitab ini menghidupkan adab, memperhalus batin, dan mengajak manusia memahami agama dengan rasa, bukan hanya dengan teks. Dari Gaza ke Jawa, Fathul Qoribmembuktikan bahwa ilmu yang lahir dari keikhlasan selalu menemukan rumahnya—yaitu hati para pencari kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
