Khazanah
Beranda » Berita » Fathul Qorib di Pesantren: Tradisi, Makna, dan Keindahan Belajar yang Tidak Pernah Padam

Fathul Qorib di Pesantren: Tradisi, Makna, dan Keindahan Belajar yang Tidak Pernah Padam

Pengajian Fathul Qorib di pesantren dengan kiai dan santri belajar bersama.
Ilustrasi suasana pengajian kitab Fathul Qorib di pesantren tradisional, menggambarkan kehangatan, keikhlasan, dan keabadian tradisi ilmu.

Surau.co. Fathul Qorib di pesantren hadir sebagai simbol keabadian tradisi keilmuan Islam klasik yang terus menyala dari generasi ke generasi. Kitab karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili ini bukan hanya menjadi bahan ajar fikih, tetapi juga cermin perjalanan intelektual umat Islam dalam memahami hukum syariat dengan penuh adab serta ketundukan kepada Allah. Karena itu, Fathul Qorib berkembang menjadi napas kehidupan di dunia pesantren.

Ketika seorang santri membuka lembarannya, ia seakan memasuki gerbang ilmu dan ketenangan batin. Meskipun zaman terus bergerak menuju era digital, para santri tetap mempelajarinya—mulai dari musholla kecil hingga pesantren besar. Hal ini terjadi karena kitab tersebut menyimpan cahaya yang menuntun akal sekaligus menenteramkan hati.

Selain itu, Fathul Qorib menyajikan dasar-dasar fiqih mazhab Syafi’i secara padat, sistematis, dan sarat hikmah. Syekh al-Ghazi menyusunnya sebagai syarah atas Taqrib karya Imam Abu Syuja’, sehingga para penuntut ilmu dapat memahami hukum Islam secara bertahap dan terstruktur.

Tradisi Mengaji Fathul Qorib di Pesantren

Fenomena mengaji Fathul Qorib di pesantren memunculkan suasana khas. Suara santri melantunkan teks Arab dengan logat Jawa, Sunda, Madura, atau Bugis menghadirkan harmoni indah di antara dinding surau. Proses ini bukan hanya kegiatan belajar, tetapi juga ritual spiritual yang perlahan membentuk karakter.

Dalam metode bandongan atau sorogan, para santri mendengarkan penjelasan kiai dengan penuh kesungguhan. Mereka menulis makna gandul selama berjam-jam, lalu berusaha memahami makna batin dari setiap hukum. Dengan demikian, proses mengaji berjalan bukan hanya di atas kertas, tetapi juga di dalam hati.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Syekh al-Ghazi menulis:

وَفِي الْعِبَادَاتِ يَجِبُ أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ وَلَا يَكْفِي التَّلَفُّظُ بِاللِّسَانِ
“Dalam ibadah, seseorang wajib berniat dengan hati, dan ucapan lisan tidaklah cukup.”

Makna ini menegaskan bahwa ibadah tumbuh dari pertemuan antara kehendak hati dan penghambaan. Karena itu, para kiai sering mengingatkan santri bahwa belajar juga harus berangkat dari niat suci—belajar karena Allah, bukan mengejar prestise.

Makna Filosofis dalam Fathul Qorib

Fathul Qorib tidak hanya memuat hukum praktis. Lebih dari itu, ia mengandung filsafat moral yang mendalam. Setiap perbuatan manusia selalu terkait dengan niat, kesucian, dan tanggung jawab.

Dalam pembahasan tentang wudhu, Syekh al-Ghazi menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

الطَّهَارَةُ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ
“Kesucian menjadi syarat sahnya salat.”

Meskipun terlihat sederhana, kalimat ini membawa pesan spiritual yang luas: kebersihan lahir mencerminkan kebeningan batin. Karena itu, santri memahami bahwa wudhu bukan hanya mencuci anggota tubuh, tetapi juga menyucikan hati dari riya, sombong, dan iri.

Setiap kali kiai memaknai kalimat itu, suasana belajar berubah menjadi khusyuk. Para santri tak hanya mendengar, tetapi juga merenungi dirinya. Apakah hatinya sudah cukup bersih untuk menerima ilmu? Inilah kekuatan Fathul Qorib yang sulit ditemukan dalam buku modern.

Keterkaitan Ilmu dan Amal

Syekh al-Ghazi terus menekankan hubungan erat antara ilmu dan amal. Beliau menulis:

الْعِلْمُ بِدُونِ الْعَمَلِ لَا يُفِيدُ
“Ilmu tanpa amal tidak memberi manfaat.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Pesan ini menjadi fondasi pendidikan pesantren. Seorang santri tidak cukup pandai membaca kitab; ia harus menghidupkan ilmunya dalam perilaku. Ketika mereka membantu masyarakat, mengajar anak-anak, atau merawat musholla, para santri sedang mempraktikkan ajaran ini.

Dalam masyarakat modern, pesan ini semakin relevan. Banyak orang berpendidikan, tetapi kehilangan arah moral. Karena itu, Fathul Qorib hadir sebagai pengingat bahwa pengetahuan sejati harus menghasilkan akhlak, bukan kesombongan intelektual.

Keindahan Bahasa dan Kelembutan Spiritualitas

Gaya bahasa Syekh al-Ghazi dikenal ringkas, lembut, tetapi tegas. Misalnya, beliau menulis:

وَفِي الصَّدَقَةِ تَزْكِيَةٌ لِلنَّفْسِ وَمَالِكَ
“Dalam sedekah terdapat penyucian bagi jiwa dan hartamu.”

Kata tazkiyah menunjukkan bahwa memberi bukan sekadar tindakan sosial, tetapi juga penyembuhan spiritual. Karena itu, para kiai sering menghubungkan kalimat tersebut dengan QS. At-Taubah: 103. Dari sini terlihat bahwa Fathul Qorib berfungsi sebagai jembatan antara hukum dan kebeningan jiwa.

Spirit Pesantren di Era Digital

Meskipun era digital menawarkan kecepatan dan kemudahan, Fathul Qorib tetap hadir sebagai penyeimbang. Kitab ini mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan dalam belajar. Santri yang terbiasa membaca kitab ini tumbuh dengan cara berpikir yang sistematis tetapi rendah hati.

Kini, banyak pesantren menggabungkan metode belajar klasik dengan teknologi digital. Namun, Fathul Qorib tetap menjadi teks utama, membuktikan bahwa warisan ulama klasik tidak mudah tergeser oleh zaman.

Kesimpulan: Cahaya yang Terus Menyala

Fathul Qorib bukan sekadar bacaan klasik, melainkan jantung tradisi keilmuan pesantren. Ia menuntun manusia untuk memahami hukum Allah dengan hati yang lembut dan akal yang jernih. Setiap kalimatnya memadukan dunia intelektual dan spiritual.

Selama pesantren hidup, cahaya Fathul Qorib akan tetap menyala—menjadi lentera bagi siapa pun yang merindukan kedamaian dan kebenaran.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement