Surau.co.Gaya penulisan Ibnu Qasim al-Ghazi – Kitab Fathul Qorib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili menempati posisi penting dalam khazanah fiqih mazhab Syafi‘i. Selain menawarkan ringkasan hukum, kitab ini menampilkan keistimewaan lain yang sering terabaikan: bahasa Ibnu Qasim yang lembut, sistematis, dan sangat dekat dengan jiwa pembacanya.
Sejak paragraf pertama, Fathul Qorib menunjukkan bahwa ilmu agama tidak hanya mengatur hukum dan dalil. Sebaliknya, Ibnu Qasim menghadirkan ilmu sebagai seni menyampaikan hikmah dengan tutur yang menenangkan. Ia juga mengajak pembaca menelusuri makna di balik setiap ketentuan, sehingga pembelajaran terasa lebih dalam.
Sebagaimana ia tulis dalam mukadimah:
قال المؤلف رحمه الله: “أما بعد، فهذا مختصر في الفقه على مذهب الإمام الشافعي رضي الله عنه”
“Adapun setelah itu, maka ini adalah ringkasan dalam ilmu fiqih menurut mazhab Imam Asy-Syafi‘i, semoga Allah meridhainya.”
Kutipan ini menegaskan sikap rendah hati seorang ulama yang menghormati ilmu dan sanad yang ia terima.
Ketika Ilmu Bertemu Keindahan Bahasa
Ibnu Qasim menyajikan hukum syariat dengan bahasa yang lembut dan tertata. Ia tidak memperkeras nada atau memojokkan pembaca. Sebaliknya, ia mengajak mereka memahami substansi syariat dengan pikiran jernih. Oleh karena itu, gaya ini terasa relevan bagi masyarakat yang sering menghadapi perdebatan agama.
Selain itu, banyak ulama mengapresiasi Fathul Qorib karena penyusunnya memahami psikologi pembelajar. Ia menulis seolah sedang berbicara langsung dalam halaqah, bukan menyusun teks untuk para ahli hukum yang kaku.
قال في باب الطهارة: “ولا تصح الطهارة إلا بالماء المطلق”
“Tidak sah bersuci kecuali dengan air muthlaq.”
Kutipan singkat ini memperlihatkan ketegasan hukum tanpa intimidasi. Ibnu Qasim menjelaskan inti aturan dengan cara yang halus tetapi jelas.
Bahasa yang Menyentuh Hati Santri
Para santri merasakan bahwa Fathul Qorib tidak hanya mengasah logika, tetapi juga membentuk rasa hormat terhadap ilmu. Pilihan bahasa Ibnu Qasim mencerminkan keikhlasan. Ia menegaskan hukum tanpa menutup ruang toleransi.
Dalam bahasan tentang niat, ia menulis:
وقال: “والنية شرط في الطهارة، محلها القلب، ولا يتلفظ بها إلا للتذكير”
“Niat adalah syarat dalam bersuci, tempatnya di hati, dan tidak perlu dilafalkan kecuali untuk mengingatkan.”
Melalui uraian ini, ia mengajak pembaca menjaga esensi ibadah sambil tetap lapang terhadap kebiasaan yang berkembang.
Dari Lembaran Kitab ke Kehidupan Sehari-hari
Gaya lembut Ibnu Qasim menghadirkan teladan etika ilmu. Ia menunjukkan bahwa seseorang dapat menyampaikan kebenaran tanpa mengancam atau merendahkan. Karena itu, gaya tersebut memberi inspirasi bagi pengajar, dai, dan penulis untuk berbicara dengan kasih sayang.
Sering kali perbedaan justru memicu ketegangan, padahal tujuan ilmu terletak pada pencerahan. Ibnu Qasim mengarahkan pembaca untuk kembali pada kelembutan, sebagaimana perintah Al-Qur’an:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Ṭāhā [20]: 44)
Ayat ini memperlihatkan bahwa kelembutan justru menunjukkan kekuatan moral.
Sistematis dan Rasional: Ciri Khas Fathul Qorib
Selain lembut, Ibnu Qasim menyusun kitab ini dengan struktur yang sangat sistematis. Ia memulai pembahasan dari perkara dasar, kemudian naik ke pembahasan yang lebih kompleks. Dengan alur seperti ini, ia memudahkan pembaca mengikuti logika fiqih.
Dalam bab ibadah, ia menyusun urutan rapi: thaharah, shalat, zakat, dan haji. Pengurutan itu membentuk cara berpikir runtut yang dibutuhkan oleh setiap penuntut ilmu.
قال في باب الصلاة: “وأركان الصلاة ثمانية: النية، والقيام، وتكبيرة الإحرام، وقراءة الفاتحة، والركوع، والاعتدال، والسجود، والجلوس الأخير”
“Rukun shalat ada delapan: niat, berdiri, takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, ruku‘, i‘tidal, sujud, dan duduk terakhir.”
Keteraturan ini memperlihatkan metodologi yang matang dan konsisten.
Jejak Keilmuan dan Keikhlasan
Sepanjang kitab, Ibnu Qasim jarang menonjolkan pendapat pribadi. Ia merujuk pada Imam an-Nawawi dan jalur mazhab Syafi‘i. Dengan sikap ini, ia menunjukkan kerendahan hati ilmiah. Selain itu, ia menampilkan keberkahan sanad yang ia jaga.
Pembaca akhirnya tidak hanya mempelajari hukum, tetapi juga adab dalam menyampaikan ilmu: berpikir rapi, berbicara halus, dan menempatkan ego di bawah kebenaran.
Penutup: Lembutnya Bahasa, Dalamnya Makna
Pada akhirnya, Fathul Qorib memperlihatkan bahwa kelembutan bukan sekadar gaya menulis. Ia merupakan sikap hidup yang menjadikan ilmu terasa sebagai cahaya. Cahaya itu akan mudah menyentuh hati apabila seseorang menyampaikannya dengan ketulusan dan tutur yang baik.
Di tengah dunia yang penuh suara keras, kita membutuhkan lebih banyak ulama dan penulis yang mengikuti jejak Ibnu Qasim. Dengan kelembutan dan ketelitian, ilmu dapat kembali menghidupkan jiwa dan membangun pencerahan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
