Surau.co. Dalam Fathul Qorib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, struktur fiqih tidak hanya muncul sebagai kumpulan hukum. Sebaliknya, ia hadir sebagai sistem pengetahuan yang hidup dan terus mengalir dalam keseharian umat Islam. Sejak paragraf pertama, kitab ini menegaskan bahwa ilmu fiqih bukan sekadar menentukan halal dan haram, melainkan membimbing seorang muslim menjaga harmoni antara ibadah, muamalah, dan moralitas sosial.
Syekh al-Ghazi membuka pembahasan dengan penjelasan mendalam bahwa fiqih merupakan pemahaman terhadap hukum syariat melalui dalil terperinci. Pemahaman inilah yang kemudian membentuk keteraturan hidup berlandaskan wahyu. Dalam bagian awal kitabnya, beliau menulis:
“الفقه هو معرفة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية”
“Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
Melalui definisi tersebut, terlihat jelas bahwa struktur fiqih dalam Fathul Qorib bukan hanya bersifat akademik. Justru, ia berfungsi sebagai panduan hidup yang membangun kesadaran spiritual sekaligus sosial.
Keteraturan Syariat dan Keindahan Logika Ilmiah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan bagaimana hukum Islam mengatur hal-hal sederhana, seperti adab makan, berpakaian, hingga hubungan sosial. Banyak orang modern mungkin menganggap rincian itu terlalu banyak. Namun, bila dipahami lebih jauh, seluruh rincian tersebut justru menyimpan hikmah keseimbangan antara logika dan ibadah.
Syekh al-Ghazi menjelaskan dalam bab Thaharah bahwa kesucian bukan hanya urusan fisik, tetapi juga simbol keteraturan spiritual:
“الطهارة شرط في صحة الصلاة، لأنها مناجاة بين العبد وربه”
“Kesucian merupakan syarat sahnya salat, karena salat adalah dialog antara hamba dengan Tuhannya.”
Kutipan ini menggambarkan bahwa syariat Islam tidak memisahkan tubuh dari ruh, dan tidak memisahkan ibadah dari logika kebersihan. Ketika seseorang berwudhu sebelum bekerja atau belajar, ia bukan hanya membersihkan tubuhnya. Ia sekaligus memperbarui niatnya.
Sebagaimana alam semesta berjalan dengan aturan yang tetap, Fathul Qorib menampilkan hukum Islam sebagai sistem yang tertata. Air membersihkan, waktu mengatur salat, dan niat mengarahkan amal. Semua unsur tersebut bergerak saling melengkapi.
Struktur Fiqih: Dari Ibadah menuju Muamalah
Bila kita memperhatikan urutannya, Fathul Qorib tersusun rapi: dimulai dari ibadah (thaharah, salat, zakat, puasa, haji), lalu berlanjut pada muamalah (jual beli, pernikahan, warisan, jinayah). Susunan ini jelas bukan kebetulan. Sebaliknya, ia menampilkan strategi ilmiah yang mengajak seseorang membina dirinya terlebih dahulu sebelum memasuki ranah sosial.
Syekh al-Ghazi menulis:
“بدأت بالعبادات لأنها حق الله تعالى، ثم بالمعاملات لأنها حق العباد”
“Aku memulai dengan pembahasan ibadah karena ia adalah hak Allah, kemudian dengan muamalah karena ia adalah hak sesama manusia.”
Dari sinilah tampak bahwa perjalanan spiritual tidak berhenti di masjid. Ia berlanjut di pasar, keluarga, hingga masyarakat luas. Setiap tindakan manusia dapat bernilai ibadah bila dipandu oleh niat dan ilmu.
Dalam konteks modern, susunan ini bahkan semakin relevan. Banyak orang fokus pada pekerjaan dan prestasi duniawi, namun mereka sering lupa bahwa muamalah yang jujur, transaksi yang bersih, serta adab sosial yang baik juga termasuk fiqih yang harus dijalankan.
Hikmah di Balik Detail Hukum
Salah satu keistimewaan Fathul Qorib ialah kemampuannya menjelaskan detail hukum dengan bahasa ringkas namun padat. Karena itu, ilmu fiqih tidak terasa sebagai beban. Justru, ia hadir sebagai petunjuk hidup yang indah dan logis.
Syekh al-Ghazi, misalnya, menulis dalam bab zakat:
“الزكاة تطهر المال وتنميه، وتطهر النفس من الشح والبخل”
“Zakat menyucikan harta dan menumbuhkannya, serta menyucikan jiwa dari sifat kikir dan bakhil.”
Keterangan ini menunjukkan adanya perpaduan antara dimensi sosial dan spiritual. Harta yang dikeluarkan tidak berarti berkurang. Sebaliknya, ia justru menjadi bentuk investasi moral. Seperti air yang mengalir, harta yang dibagikan akan menghadirkan keberkahan baru.
Menemukan Keseimbangan antara Akal dan Wahyu
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar alasan seperti “Yang penting hatinya baik.” Ungkapan itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi seringkali kurang lengkap. Sebab, syariat tidak hanya mengatur soal hati, melainkan juga tindakan nyata.
Fathul Qorib berfungsi sebagai jembatan antara akal dan wahyu. Ia mengajak umat berpikir sistematis dalam memahami hukum, namun tetap tunduk kepada nilai-nilai ilahi. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Tidak pantas bagi laki-laki dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, untuk memilih (kehendak lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Ayat ini menguatkan bahwa keteraturan hukum Islam merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Dengan demikian, syariat bukanlah aturan kaku, tetapi harmoni antara ilmu dan penghambaan.
Refleksi Akhir: Fiqih sebagai Cahaya Kehidupan
Membaca Fathul Qorib ibarat menapaki peta kehidupan yang lengkap—mulai dari wudhu hingga muamalah, dari niat hingga amal. Struktur kitabnya mencerminkan kedisiplinan berpikir sekaligus kematangan spiritual.
Dalam kehidupan modern, ajaran-ajaran tersebut sangat relevan untuk membangun masyarakat yang beretika dan adil. Melalui keteraturan fiqih, kita belajar tentang disiplin, kejujuran, serta tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini sangat dibutuhkan dalam dunia yang semakin cepat dan serba instan.
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili melalui karyanya menunjukkan bahwa fiqih bukan beban. Sebaliknya, ia adalah seni hidup—perpaduan antara ilmu, hikmah, dan syariat dalam satu harmoni yang menenteramkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
