Surau.co. Keadilan dalam hukum waris Islam selalu menjadi topik hangat dan relevan. Waris dan hukum keadilan tidak hanya membahas pembagian harta, tetapi juga menyinggung nilai moral, tanggung jawab, serta harmoni sosial. Dalam Fathul Qorib, karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, konsep waris hadir bukan sebagai hitungan matematis semata, melainkan sebagai jalan menuju keseimbangan antara hak individu dan keadilan sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan konflik muncul bukan karena sedikitnya harta, tetapi karena rasa keadilan yang terasa diabaikan. Pada titik ini, Fathul Qorib menawarkan pandangan yang menenangkan. Hukum waris Islam bertujuan menyatukan keluarga melalui prinsip keadilan yang utuh dan berkelanjutan.
Makna Keadilan dalam Hukum Waris Islam
Keadilan menjadi fondasi utama dalam pembagian waris. Syekh Muhammad bin Qasim, melalui Fathul Qorib, menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hak setiap ahli waris dengan proporsi yang jelas, sehingga manusia tidak berhak menambah atau mengurangi bagian tersebut. Beliau menulis:
“وَيُقَسَّمُ الْمِيرَاثُ عَلَى مَنْ بَقِيَ مِنَ الْوَرَثَةِ بِحَسَبِ نَصِيبِهِمْ الَّذِي شَرَعَهُ اللَّهُ”
“Waris dibagikan kepada ahli waris yang tersisa sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan oleh Allah.”
(Fathul Qorib, Bab al-Farāidh)
Kutipan ini menunjukkan bahwa keadilan dalam waris bersumber dari ketentuan ilahi. Karena itu, pembagian harta tidak boleh bergantung pada kompromi manusia, melainkan pada sistem keadilan Tuhan yang melampaui waktu.
Waris Sebagai Jalan Keseimbangan Sosial
Dalam masyarakat modern, pembagian waris sering berubah menjadi pemicu perpecahan. Namun, Fathul Qorib menjelaskan bahwa sistem waris Islam justru hadir untuk menjaga keseimbangan sosial. Harta tidak boleh menumpuk pada satu orang, sebab setiap anggota keluarga memegang kontribusi moral dalam kehidupan bersama.
Syekh al-Ghazi menuliskan:
“وَإِنَّمَا شُرِعَتِ الْمِيرَاثُ لِحِفْظِ الْأَنْسَابِ وَالْمَوَدَّةِ بَيْنَ الْأَقَارِبِ”
“Disyariatkannya warisan bertujuan menjaga hubungan nasab dan kasih sayang di antara kerabat.”
(Fathul Qorib, Bab al-Farāidh)
Pandangan ini sangat relevan dengan kondisi keluarga modern di Indonesia. Banyak keluarga kehilangan rasa kebersamaan karena harta diwariskan tanpa pemahaman nilai. Karena itu, Syekh al-Ghazi mengingatkan bahwa hukum waris hadir untuk menjaga rasa kemanusiaan, bukan sekadar membagi benda.
Perempuan dan Hak Waris dalam Fathul Qorib
Perbedaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan sering memicu perdebatan. Namun, Fathul Qorib menegaskan bahwa perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan tanggung jawab sosial. Syekh al-Ghazi menulis:
“وَتَرِثُ الْمَرْأَةُ نِصْفَ مَا يَرِثُ الرَّجُلُ لِأَنَّ النَّفَقَةَ عَلَى الرَّجُلِ دُونَهَا”
“Perempuan mewarisi setengah dari bagian laki-laki karena laki-laki memikul kewajiban nafkah, sedangkan perempuan tidak.”
(Fathul Qorib, Bab al-Farāidh)
Melalui penjelasan ini, Syekh al-Ghazi menegaskan bahwa keadilan tidak identik dengan kesamaan angka. Keadilan justru lahir dari keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam konteks modern, pandangan ini membantu kita memahami bahwa pembagian waris bertujuan menciptakan keadilan proporsional.
Hikmah Pembagian Waris
Banyak orang menganggap warisan hanya sebagai urusan setelah kematian. Meski demikian, Fathul Qorib menunjukkan bahwa mempelajari hukum waris merupakan bagian dari ibadah sekaligus perencanaan hidup. Syekh al-Ghazi menuliskan:
“يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَتَعَلَّمَ أَحْكَامَ الْمِيرَاثِ قَبْلَ أَنْ يَحْضُرَهُ الْمَوْتُ لِيُقَسِّمَ مَالَهُ بِالْحَقِّ”
“Seorang Muslim sebaiknya mempelajari hukum waris sebelum kematian datang kepadanya agar ia dapat membagi hartanya dengan benar.”
(Fathul Qorib, Bab al-Farāidh)
Nasihat ini terasa sangat manusiawi. Banyak keluarga berselisih karena pewaris tidak menyiapkan wasiat atau pengetahuan yang memadai. Dengan memahami hukum waris, seseorang dapat menciptakan ketenangan bagi keluarganya bahkan setelah ia tiada.
Refleksi Modern: Keadilan yang Hidup
Keadilan dalam waris bukan hanya persoalan angka. Ia juga memuat nilai, pengetahuan, serta cinta. Dalam dunia yang semakin materialistis, Fathul Qorib mengingatkan bahwa pembagian waris yang adil mampu menjaga silaturahmi lintas generasi.
Makna filosofisnya sangat dalam: keadilan hadir ketika hak, kasih, dan tanggung jawab berjalan seimbang. Karena itu, hukum waris Islam tetap relevan hingga hari ini. Ia mengikat keluarga, menguatkan nilai kemanusiaan, serta memancarkan keindahan hukum ilahi.
Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. An-Nisa: 58)
Hukum waris merupakan amanat suci. Karena itu, memahami ajaran Fathul Qorib berarti belajar berlaku adil dalam niat, tindakan, dan cinta.
Kesimpulan
Fathul Qorib menempatkan waris dan keadilan sebagai dua nilai yang saling melengkapi. Hukum waris Islam tidak hanya menjawab siapa mendapatkan apa, tetapi juga menghadirkan keseimbangan dalam kehidupan keluarga. Dengan memahami pesan Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, umat Islam dapat menata harta sekaligus menata hati secara seimbang, adil, dan penuh kasih.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
