Surau.co. Zakat dalam Fathul Qorib bukan sekadar kewajiban ibadah, tetapi jalan kesadaran sosial yang menautkan manusia dengan sesamanya. Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, melalui karya monumentalnya Fathul Qorib al-Mujib, menjelaskan zakat sebagai ibadah yang membersihkan jiwa, menyucikan harta, serta menegakkan keadilan sosial. Penjelasan ini langsung terasa sejak paragraf awal pembahasannya tentang zakat, ketika beliau menegaskan:
الزَّكَاةُ فَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مَالِكٍ لِلنِّصَابِ، مُضَى عَلَيْهِ الْحَوْلُ، فِي مَالٍ يُوجِبُ فِيهِ الشَّرْعُ الزَّكَاةَ
“Zakat wajib bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab, telah berlalu satu tahun, pada harta yang ditetapkan syariat wajib dizakati.”
Dua Dimensi Zakat: Spiritual dan Sosial
Menurut Fathul Qorib, zakat menyentuh dua sisi sekaligus: sisi spiritual dan sisi sosial. Di satu sisi, zakat menyucikan hati dari cinta dunia; di sisi lain, ia menyalurkan keberkahan agar harta tidak menumpuk hanya pada segelintir orang. Dengan demikian, zakat menghadirkan keseimbangan antara ketundukan kepada Allah dan tanggung jawab terhadap manusia.
Dari Harta Menjadi Cahaya: Makna Penyucian Zakat
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang menganggap harta sebagai simbol keberhasilan. Namun, Islam memandang harta sebagai amanah yang menuntut tanggung jawab moral. Karena itu, zakat hadir sebagai pengingat bahwa keberlimpahan tidak boleh dinikmati sendirian.
Syekh al-Ghazi menegaskan:
وَتُسَمَّى الزَّكَاةُ لِأَنَّهَا تُزَكِّي النَّفْسَ وَالْمَالَ، أَيْ تُطَهِّرُهُمَا
“Ia dinamakan zakat karena dapat menyucikan jiwa dan harta.”
Makna penyucian ini bersifat ganda. Zakat menyembuhkan jiwa dari sifat kikir dan membersihkan harta dari hak orang lain. Karena itu, harta yang dikeluarkan zakatnya terasa lebih ringan dan bercahaya. Bahkan, zakat menjadi cara terbaik untuk menumbuhkan rasa cukup, sebab melepaskan sebagian membuat seseorang mampu merasakan keberkahan secara lebih luas.
Keadilan Sosial yang Tumbuh dari Ibadah
Ketimpangan sosial masih menjadi persoalan besar di banyak masyarakat. Dalam konteks inilah zakat berfungsi bukan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai sistem sosial yang menjaga keseimbangan kehidupan.
Syekh al-Ghazi mengutip prinsip penting:
فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Pada harta mereka terdapat hak bagi orang yang meminta dan orang yang tidak punya.” (QS. Adz-Dzariyat: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar belas kasihan, tetapi hak sosial yang harus disalurkan. Karenanya, setiap kali seseorang menunaikan zakat, ia sedang memperbaiki hubungan kemanusiaan. Tidak hanya mengurangi beban orang lain, tetapi juga menegakkan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Makna Spiritual: Antara Kepemilikan dan Pengabdian
Sebagian orang merasa kehilangan ketika mengeluarkan zakat. Namun sebenarnya, mereka menerima lebih banyak: ketenangan, keberkahan, serta kedekatan dengan Allah. Fathul Qorib menekankan hal ini melalui pernyataan:
الزَّكَاةُ قُرْبَةٌ، يُقْصَدُ بِهَا وَجْهُ اللهِ وَرِضَاهُ
“Zakat adalah bentuk pendekatan diri (qurbah) kepada Allah, dengan maksud mencari wajah-Nya dan keridaan-Nya.”
Zakat akhirnya tidak hanya menjadi tindakan sosial, tetapi juga ungkapan cinta. Ketika seseorang memberi dengan ikhlas, hidupnya terlatih untuk memprioritaskan yang hak. Dengan begitu, harta bukan lagi pusat kehidupan, melainkan sarana pengabdian.
Zakat dan Ketenangan Jiwa
Zakat mendatangkan dampak psikologis yang signifikan. Orang yang rutin menunaikannya merasa lebih lapang dan tenang, meskipun secara materi tidak selalu bertambah. Syekh al-Ghazi memberikan penjelasan penting:
إِنَّ الْمَالَ الَّذِي تُؤَدَّى زَكَاتُهُ يَبْقَى مُبَارَكًا، وَالَّذِي يُمْنَعُ زَكَاتُهُ يُمْحَقُ بَرَكَتُهُ
“Harta yang dizakati akan diberkahi, sedangkan harta yang ditahan zakatnya akan hilang keberkahannya.”
Penjelasan ini sejalan dengan QS. At-Taubah: 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.”
Karena itu, zakat memberi lebih dari sekadar kebaikan sosial. Ia menguatkan jiwa, menumbuhkan ketenangan, dan memupuk rasa cukup di tengah kehidupan yang semakin materialistis.
Kesimpulan: Menyambung Keadilan dengan Cinta
Zakat dalam Fathul Qorib adalah ajaran yang hidup. Ia mengalir dari hati menuju tindakan. Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi menempatkan zakat sebagai jalan menuju kesucian jiwa dan keseimbangan sosial.
Setiap orang yang memberi tidak sedang kehilangan. Ia justru menemukan dirinya: manusia yang peka, adil, dan tulus mencintai sesama karena Allah.
Pada akhirnya, zakat bukan hanya ibadah angka, tetapi ibadah rasa. Ia menyambungkan manusia dengan Tuhannya sekaligus mengikat manusia dengan manusia lainnya dalam simpul kasih dan keadilan. Dari setiap tangan yang memberi, lahir doa; dan dari setiap tangan yang menerima, mengalir ridha.
Zakat, dengan demikian, adalah jembatan cinta yang menegakkan keadilan sosial dengan cara paling lembut: memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa batas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
