SURAU.CO–Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, melalui Kitab Al-Hikam, mengajarkan sebuah prinsip fundamental dalam tauhid dan makrifat:
“Jangan sampai tidak terwujudnya suatu janji membuat Anda meragukan janji Allah Swt., walaupun waktunya telah jelas. Agar hal itu tidak merusak pandangan mata hati Anda dan memadamkan cahaya jiwa Anda.”
Inti dari hikmah ini adalah larangan keras bagi kita sebagai hamba untuk membiarkan keraguan menguasai hati kita. Kita tidak boleh meragukan janji Allah Swt., meskipun kita merasa janji-Nya tidak kunjung terwujud sesuai harapan atau jadwal yang kita bayangkan.
Ujian Kemenangan dan Janji Ilahi
Contoh klasik yang Syekh Ibnu Atha’illah angkat adalah janji kemenangan dan kekuasaan bagi kaum mukmin atas kaum kafir atau musyrikin. Ketika kita melihat kondisi umat Islam justru menelan kekalahan, hidup dalam kemelaratan, atau terperosok di jurang kehancuran, maka timbul pertanyaan tajam di dalam hati:
“Di mana janji Allah Swt.? Bukankah ini adalah masa yang tepat untuk pertarungan dan kemenangan?”
Pertanyaan-pertanyaan serupa menyerang keimanan, padahal Allah Swt. tidak pernah mengingkari janji-Nya. Janji itu pasti terpenuhi, namun waktunya belum tepat menurut kebijaksanaan-Nya, walaupun menurut perhitungan kita waktu itu sudah mendesak.
Kemudian Syekh Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa keterlambatan ini sering terjadi karena elemen-elemen yang dibutuhkan untuk menghadapi kemenangan yang abadi belum disiapkan sepenuhnya pada umat Islam. Andaikata Allah memberikan kemenangan saat itu juga, maka umat Islam akan hancur dengan mudah karena belum memiliki kematangan mental, spiritual, dan struktural. Akhirnya, kemenangan yang terburu-buru itu hanya menyisakan penyesalan belaka.
Allah Swt. lebih mengetahui sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya, serta waktu yang paling tepat untuk diberikan. Oleh karena itu, Syekh Ibnu Atha’illah melarang kita untuk memprotes, mengkritik, atau berburuk sangka kepada-Nya.
Dampak Fatal Munculnya Keraguan
Sebab menurut Syekh Ibnu Atha’illah, protes dan prasangka buruk justru akan memadamkan pandangan batin kita, yang kita kenal sebagai bashirah atau mata hati. Ketika cahaya batin padam, kita akan sulit mendapatkan hidayah dan makrifat-Nya. Akibatnya, kita akan hidup dalam kegelapan spiritual dan terus larut dalam kemaksiatan, jauh dari kebenaran.
Meragukan janji-Nya merupakan bukti kelemahan iman. Jika iman kita lemah, maka keislaman kita pun patut dipertanyakan. Yakinilah bahwa jika Allah Swt. sudah menjanjikan sesuatu, Dia akan memenuhinya tepat pada waktunya—yaitu waktu yang dikehendaki-Nya, bukan waktu yang kita inginkan. Allah Swt. menegaskan prinsip ini dalam firman-Nya:
“… Sesungguhnya, Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran [3]: 9).
Jalan Mendapatkan Taufiq
Syekh Ibnu Atha’illah memberikan solusi dan harapan yang tinggi: Jikalau Anda mendapatkan taufiq-Nya, maka janji-Nya akan Allah tunaikan sesuai dengan waktu yang Anda inginkan. Taufiq adalah anugerah Allah berupa kesesuaian antara usaha kita dengan kehendak-Nya. Jika kita berhasil menyelaraskan hati dan usaha kita dengan kehendak Ilahi melalui taufiq, maka keinginan kita dapat terwujud pada waktu yang kita harapkan.
Oleh karena itu, janganlah pernah bosan untuk memohon taufiq-Nya. Dengan memohon taufiq secara konsisten dan tulus, kita memohon agar Allah membimbing kita untuk menginginkan apa yang Dia inginkan pada waktu yang Dia kehendaki, sehingga kita merasa berhasil mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, tepat pada waktu yang kita inginkan. Ini adalah puncak tawakal, di mana kehendak hamba menyatu dengan tadbir (pengaturan) Allah, menghadirkan kedamaian spiritual sejati.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
