Khazanah
Beranda » Berita » Kunci Ketenangan Menurut Al-Hikam: Mengistirahatkan Diri dari Mengurus Rezeki

Kunci Ketenangan Menurut Al-Hikam: Mengistirahatkan Diri dari Mengurus Rezeki

Ilustrasi permenungan manusia.
Ilustrasi permenungan manusia.

SURAU.COSyekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, melalui Kitab Al-Hikam yang agung, mengajak kita merenungkan kembali esensi usaha dan hubungannya dengan takdir Ilahi. Beliau menegaskan sebuah prinsip fundamental yang menenangkan jiwa:

“Semangat yang menggebu-gebu tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir.”

Kita sering menyaksikan, dan bahkan mungkin melakukannya sendiri, semangat yang berlebihan dalam bekerja dan berusaha, sampai melampaui batas kewajaran dan kesehatan. Namun, Syekh memperingatkan bahwa intensitas usaha yang melampaui batas kewajaran ini sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mengubah satu pun ketetapan takdir yang telah Allah SWT gariskan. Tugas asasi kita sebagai manusia hanyalah menunaikan usaha secara maksimal sesuai kemampuan. Setelah itu, hasil, ketetapan, dan keberhasilan mutlak berada dalam wewenang Allah semata.

Perlunya Pengenalan Akan Takdir

Pengenalan akan takdir ini menghadirkan kedamaian karena kita memahami bahwa semua ketetapan Allah SWT adalah yang terbaik, bahkan ketika akal dan nafsu kita tidak menyukainya. Secara naluriah, kita cenderung menilai sesuatu sebagai baik hanya karena ia sesuai dengan harapan dan keinginan kita. Sebaliknya, kita menolak atau membenci sesuatu yang menghadirkan kesulitan atau kegagalan.

Inilah batas keterbatasan pengetahuan manusia, yang dengan tegas terdapat dalam firman Allah SWT:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“… Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan, boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu,- Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216).

Oleh sebab itu, sikap yang paling bijak adalah menghilangkan kepastian dalam penilaian diri dan mengangkat doa, memohon pilihan terbaik yang mendatangkan kebaikan hakiki di dunia dan akhirat.

Prinsip ini tidak boleh disalahpahami sebagai pembenaran untuk berpangku tangan atau meninggalkan ikhtiar. Intinya terletak pada fase mental setelah usaha. Ketika kita telah mengerahkan segenap upaya dan energi, kita harus segera memasuki fase tawakal yang utuh. Allah SWT, sebagai Pemilik Ilmu yang tak terbatas, memahami mana yang paling maslahat bagi hamba-Nya. Sikap memberontak, protes, atau membantah ketentuan-Nya dianggap tidak layak bagi seorang hamba yang mengakui ketuhanan-Nya.

Kepasrahan Diri dari Mengurus Urusan Yang Telah Allah Atur

Gagasan ini mendapat penguatan dari hikmah kedua Syekh Ibnu Atha’illah:

“Istirahatkan dirimu untuk mengurus (urusanmu sendiri). Sesuatu yang telah diurus oleh selain untuk dirimu, maka engkau tidak perlu lagi melakukannya.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Syekh mendorong kita untuk mengistirahatkan diri—yang kita cintai dan hargai—dari kelelahan mengurus hal-hal yang sudah dijamin dan diatur secara final oleh Penguasa Alam. Urusan-urusan besar seperti rezeki, jodoh, dan kematian adalah misteri dan masalah takdir mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh intervensi manusia, bahkan oleh malaikat terdekat sekalipun. Allah SWT telah menetapkan segala kadarnya di Lauh Mahfuzh sejak zaman Azali. Upaya keras kita untuk mengendalikan sepenuhnya aspek-aspek takdir ini hanya akan melahirkan kecemasan dan kelelahan sia-sia.

Dalam konteks ini, beliau memfokuskan perhatian pada masalah rezeki. Ada kecenderungan di kalangan umat yang mengkhawatirkan bahwa rezeki akan terputus atau hilang jika mereka menggunakan sebagian waktu kerja mereka untuk menunaikan kewajiban beribadah kepada Allah SWT. Padahal, pada kenyataannya, Islam memungkinkan kita untuk menjalankan ibadah dan usaha secara berdampingan.

Dengan demikian, jika Allah SWT telah menentukan kadar rezeki bagi setiap hamba, dan menjamin bahwa tidak ada seorang pun yang akan meninggal sebelum rezekinya tercukupi, maka tidak ada alasan rasional bagi kita untuk merasa takut atau cemas berlebihan.

Tugas praktis kita terbatas pada dua hal: bekerja dan berusaha, kemudian berlanjut dengan bertawakal yang tulus kepada-Nya. Jika rezeki yang kita dapatkan adalah nominal tertentu, maka itulah bagian kita yang telah Allah tetapkan. Sikap protes dan mengeluh ini Syekh  anggap sebagai manifestasi ketidakpercayaan terhadap Qada dan Qadar Allah SWT. Sesungguhnya, kepasrahan total dan kerelaan menerima ketetapan-Nya adalah puncak dari iman yang benar.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement