Fiqih Khazanah
Beranda » Berita » Mengelola Pertambangan Dalam Etika Islam

Mengelola Pertambangan Dalam Etika Islam

Mengelola Tambang Dalam Etika Islam
Mengelola Pertambangan Dalam Etika Islam. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO-Pengelolaan tambang merupakan salah satu isu penting dalam diskursus pembangunan modern. Sumber daya alam yang terkandung dalam bumi—seperti emas, perak, minyak, batu bara, nikel, dan berbagai mineral lainnya—merupakan amanah besar yang Allah titipkan kepada manusia. Dalam perspektif Islam, tambang bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari ciptaan Allah yang harus menanganinya dengan adab, tanggung jawab, serta kesadaran moral bahwa setiap tindakan manusia kelak akan dipertanggungjawabkan. Karena itu, membahas pengelolaan tambang melalui etika Islam menjadi sangat relevan untuk memastikan keberlanjutan, keadilan, serta kemaslahatan bagi umat manusia.

Tambang sebagai Amanah dari Allah

Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh bumi dan kekayaan yang ada di dalamnya merupakan milik Allah, dan manusia menerima amanah sebagai khalifah untuk memakmurkan, bukan merusak. Allah berfirman:

“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di muka bumi…” (QS. Fathir: 39)

Ayat ini memberi fondasi bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk pertambangan, tidak boleh lepas dari konsep kekhalifahan—yaitu menjalankan tugas dengan tanggung jawab, keadilan, dan kepedulian terhadap makhluk lain.

Tambang, dalam pandangan Islam, bukan sekadar harta yang boleh dieksploitasi sesuka hati. Ia adalah amanah yang harus terkelola secara bijak. Rasulullah juga menegaskan bahwa bumi dan kekayaannya tergolong harta publik. Pemilikannya tidak boleh ada monopoli atau penyalahgunaan oleh segelintir orang. Dalam hadis iwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”

Sebagian ulama kontemporer menyamakan “api” dengan sumber energi dan mineral yang menjadi kebutuhan umum. Artinya, kekayaan tambang memiliki dimensi sosial yang luas dan tidak boleh berakhir pada eksploitasi yang merugikan masyarakat.

Tidak Merusak Lingkungan (Larangan Fasād)

Salah satu prinsip terpenting dalam etika Islam adalah larangan membuat kerusakan di muka bumi. Allah berfirman:

“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)

Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari tambang ilegal, penebangan hutan tanpa kendali, pembuangan limbah sembarangan, atau pengelolaan yang tidak sesuai standar merupakan bentuk fasād yang dilarang. Kerusakan tanah, air, udara, bahkan hilangnya habitat makhluk hidup adalah bentuk kemaksiatan yang berdampak luas, tidak hanya untuk manusia saat ini tetapi juga generasi mendatang.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Etika Islam menuntut agar setiap proses tambang memperhatikan kelestarian alam: mencegah polusi, melakukan reklamasi, menjaga keanekaragaman hayati, dan memulihkan kondisi tanah setelah masa tambang berakhir.

Keadilan bagi Masyarakat Lokal

Tambang sering berada di wilayah yang dihuni masyarakat adat atau komunitas minoritas. Dalam banyak kasus, eksploitasi tambang menimbulkan konflik sosial, kesenjangan ekonomi, dan ketidakadilan distribusi manfaat.

Dalam Islam, kezaliman sekecil apa pun adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Allah berfirman:

“Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 57)

Maka, perusahaan dan pemerintah yang mengelola tambang wajib memastikan bahwa masyarakat lokal mendapatkan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

  • hak konsultasi dan persetujuan (free, prior and informed consent),
  • lapangan pekerjaan yang layak,
  • pembagian keuntungan yang adil,
  • tidak tergusur dari tanah mereka,
  • dan tidak dirugikan secara kesehatan maupun sosial.

Keadilan sosial merupakan inti dari etika Islam. Dalam pengelolaan tambang, keadilan berarti tidak menindas, tidak mengeksploitasi, dan tidak mengambil keuntungan dengan merugikan pihak lain.

Transparansi dan Akuntabilitas

Islam menekankan kejujuran dan keterbukaan dalam setiap bentuk muamalah. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119)

Industri tambang rawan terjadi korupsi, manipulasi laporan, atau penyalahgunaan izin. Dalam etika Islam, segala bentuk korupsi—baik suap, gratifikasi, atau kebohongan—adalah haram. Pengelolaan tambang harus dilakukan secara transparan: mulai dari proses perizinan, laporan produksi, hingga penggunaan dana hasil tambang. Hal ini tidak hanya tuntutan moral, tetapi juga bentuk pengabdian kepada Allah melalui kejujuran dan amanah.

Menjaga Kemaslahatan Umum

Kaedah fikih menyatakan:

“Tindakan imam (pemerintah) terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.”

Tambang harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk segelintir elite atau korporasi. Kemaslahatan dapat berupa pembangunan fasilitas umum, pembiayaan pendidikan, layanan kesehatan, perbaikan infrastruktur, hingga penciptaan lapangan kerja.

Namun kemaslahatan tidak boleh mengorbankan keselamatan. Proyek tambang yang membahayakan masyarakat atau mengancam sumber air, misalnya, tidak sesuai dengan kaidah maslahah mursalah.

Mencegah Kemudaratan (Prinsip La Darara wa La Dirar)

Rasulullah bersabda:

“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.” (HR. Ibn Majah)

Prinsip ini sangat relevan dalam industri tambang. Aktivitas tambang yang membahayakan pekerja, masyarakat sekitar, atau ekosistem jelas bertentangan dengan ajaran syariat.

Beberapa contoh pelanggaran prinsip ini adalah:

  • penggunaan bahan kimia berbahaya tanpa standar keselamatan,
  • longsor akibat penggalian tidak terencana,
  • pencemaran sungai,
  • hilangnya mata pencaharian petani dan nelayan,
  • meningkatnya penyakit karena polusi udara atau air.

Dalam Islam, mencegah bahaya lebih penting daripada mengambil keuntungan.

Tambang dan Pemerataan Kekayaan

Salah satu bahaya terbesar dalam industri tambang adalah konsentrasi kekayaan pada kelompok tertentu. Islam memiliki mekanisme yang sangat kuat dalam mencegah ketimpangan ekstrem, seperti:

  • zakat,
  • larangan riba,
  • larangan monopoli (ihtikar),
  • dan kewajiban distribusi kekayaan yang adil.

Hasil tambang idealnya tidak hanya memperkaya investor, tetapi juga memperkuat struktur sosial dan ekonomi negara. Keuntungan tambang harus kembali kepada rakyat dalam bentuk pembangunan, bukan kepada kepentingan pribadi atau asing.

Tambang dalam Perspektif Maqasid Syariah

Maqasid Syariah—tujuan-tujuan besar syariat Islam—mencakup perlindungan atas:

  1. agama,
  2. jiwa,
  3. akal,
  4. keturunan,
  5. harta,
  6. dan menurut sebagian ulama modern: lingkungan.

Pengelolaan tambang yang etis semestinya mendukung semua tujuan tersebut. Misalnya:

  • Dengan tidak merusak lingkungan, kita melindungi jiwa dan keturunan.
  • Dengan mencegah korupsi, kita melindungi harta publik.
  • Dengan memperhatikan dampak sosial, kita menjaga akal dan stabilitas masyarakat.

Artinya, tambang bukan hanya urusan ekonomi, tetapi terkait langsung dengan tujuan moral dan spiritual manusia.

Menimbang Keberlanjutan dalam Islam

Islam mengajarkan prinsip keberlanjutan jauh sebelum istilah tersebut populer dalam wacana modern. Rasulullah melarang penebangan pohon secara berlebihan dan memerintahkan penghijauan, bahkan di saat peperangan. Ini menegaskan bahwa peradaban Islam berdiri pada keseimbangan ekologis.

Tambang yang tidak berkelanjutan adalah bentuk ketamakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena itu perlu perencanaan jangka panjang, penggunaan teknologi bersih, evaluasi dampak lingkungan secara berkala, dan reklamasi setelah tambang tutup. Generasi mendatang memiliki hak atas bumi yang sama seperti kita saat ini.

Penutup

Mengelola tambang dalam etika Islam bukan hanya soal meningkatkan produktivitas atau keuntungan ekonomi, tetapi tentang menjalankan amanah Allah dengan penuh tanggung jawab. Islam menegaskan bahwa bumi dan segala isinya adalah titipan Allah. Kita wajib menjaga, mengatur dengan adil, dan memanfaatkan untuk kemaslahatan bersama.

Mengelola pertambangan dengan nilai-nilai Islam akan menghasilkan:

  • keadilan sosial,
  • keseimbangan lingkungan,
  • kemakmuran masyarakat,
  • serta keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Dengan demikian, etika Islam bukan hambatan bagi pembangunan, tetapi justru fondasi kokoh untuk memastikan pembangunan berjalan secara adil, beradab, dan penuh berkah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement