SURAU.CO–Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, penulis agung kitab Al-Hikam, memulai karyanya dengan lantunan Basmalah (Bismillahir rahmanir rahim), mengikuti tuntunan fundamental Rasulullah SAW:
“Setiap perkara penting yang tidak bermula dengan bismillahirrahmanirrahim maka ia terputus” (HR. Abu Dawud).
Makna “terputus” dalam hadis ini menurut Syekh Ibnu Atha’illah tidak merujuk pada ketidakabsahan atau penolakan amal kebaikan secara mutlak, melainkan pada hilangnya keberkahan. Keberkahan adalah unsur esensial yang sangat kita butuhkan dalam setiap tindakan spiritual maupun duniawi. Tanpa keberkahan, segala upaya dan jerih payah kita dalam beramal akan terasa sia-sia belaka, seperti wadah bocor yang tidak pernah menampung air.
Namun, muncul pertanyaan dari hadis lain yang berasal dari riwayat Ibnu Hibban:
“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan memuji Allah maka ia terputus.” Sekilas, kedua hadis ini tampak saling berlawanan; satu memerintahkan Basmalah, yang lain memerintahkan Tahmid (pujian kepada Allah).
Para ulama menjelaskan bahwa tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Keduanya adalah perintah ilahi untuk memulai segala urusan dengan pengagungan kepada Allah SWT. Basmalah sendiri, dengan frasa Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), sejatinya telah mengandung substansi pujian. Dengan mengucapkan Basmalah, kita mengakui secara eksplisit bahwa Allah SWT adalah sumber segala kasih sayang dan rahmat—Dia Maha Pengasih kepada seluruh ciptaan-Nya dan Maha Penyayang secara khusus kepada kaum Mukminin. Oleh karena itu, pekerjaan yang dibuka dengan Basmalah atau Tahmid sama-sama mewujudkan pengagungan kepada Dzat Yang Maha Mulia.
Kekeliruan Menggantungkan Diri pada Amalan
Syekh Ibnu Atha’illah kemudian beranjak pada hikmah spiritual mendalam, menyatakan:
“Di antara tanda bergantung pada pekerjaan yang salih adalah kurangnya keinginan untuk melakukan kemaksiatan.”
Pernyataan ini bukan pujian, melainkan peringatan keras. Terkadang, seorang muslim yang rajin beramal saleh—berpuasa, shalat malam, bersedekah—secara tidak sadar merasa cukup dengan akumulasi kebaikannya. Ia membangun keyakinan bahwa amalan-amalan ini saja sudah memadai untuk menjamin keselamatan dari api neraka dan memastikan tempatnya di surga. Sikap batin ini Syekh Ibnu Atha’illah sebut bersandar pada amal.
Ketika ia jatuh dalam kemaksiatan, ia bersikap santai atau “cuek,” yakin bahwa timbangan kebaikan yang telah ia kumpulkan akan dengan mudah menggantikan dosa yang baru saja ia perbuat. Dengan kata lain, ia menggantungkan harapan keselamatannya pada perbuatannya sendiri, alih-alih pada anugerah dan rahmat Allah SWT. Ia secara halus telah mengurangi ketergantungan mutlaknya kepada Sang Pencipta.
Ini adalah kekeliruan teologis dan spiritual yang serius. Seorang mukmin tidak akan pernah memasuki surga hanya berdasarkan kualitas atau kuantitas amal salehnya. Surga adalah milik mutlak Allah, dan kunci masuknya adalah rahmat-Nya. Selain itu, bersandar pada amal dan mengurangi berharap pada Allah dapat mengarah pada bentuk kesyirikan tersembunyi (syirk khafi), karena ia menempatkan amal sebagai sebab utama keselamatan, setara atau bahkan di atas kehendak Ilahi. Ironisnya, dalam setiap shalat, kita berikrar:
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan.”
Amalan dan Rahmat Ilahi sebagai Penentu
Syekh Ibnu Atha’illah memberikan ilustrasi yang menggugah. Diceritakan, seorang ahli ibadah yang yakin dengan amalannya ditanya di dekat Mizan, apakah ia memilih masuk surga dengan amalnya atau dengan Rahmat-Nya. Ia memilih amalan. Namun, setelah ditimbang, seluruh amalnya tidak cukup untuk memasukkannya ke surga, sehingga ia terancam dilemparkan ke Neraka.
Kontrasnya, riwayat lain menunjukkan bahwa rahmat Allah jauh melampaui perhitungan amal manusia: Pertama, seorang pembunuh yang telah merenggut 99 jiwa dimasukkan ke surga Allah, padahal ia belum sempat melakukan amal saleh sedikit pun. Dan seorang pelacur berhak memasuki surga hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Semua kejadian ini menegaskan bahwa keputusan akhir di tangan Allah semata-mata berdasarkan pada rahmat-Nya, bukan pada negosiasi amal. Seorang mukmin sejati yang memiliki pemahaman yang benar (ma’rifah) tentang Tuhannya selalu menyadari keterbatasannya, bersungguh-sungguh dalam beramal, namun selalu menggantungkan harapannya dan keyakinannya hanya pada Allah SWT, bukan pada performa amalannya sendiri.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
