Surau.co. Puasa menurut Fathul Qorib adalah latihan spiritual yang melampaui sekadar menahan lapar dan haus. Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, penulis Fathul Qorib al-Mujib, menafsirkan puasa sebagai upaya menyucikan diri, menenangkan batin, dan mendekatkan diri kepada Allah melalui kesadaran penuh akan makna penahanan diri.
Dalam kitabnya beliau menjelaskan:
وَالصَّوْمُ فِي اللُّغَةِ: الإِمْسَاكُ، وَفِي الشَّرْعِ: إِمْسَاكٌ مَخْصُوصٌ فِي وَقْتٍ مَخْصُوصٍ مِنْ شَخْصٍ مَخْصُوصٍ
“Puasa dalam bahasa berarti menahan diri, dan dalam syariat berarti menahan diri yang khusus, pada waktu yang khusus, dari orang yang khusus.”
Makna “menahan diri” di sini tidak berhenti pada fisik semata, tetapi menyentuh ruang batin. Seseorang berlatih menahan bukan hanya keinginan mulut, tetapi juga amarah, pandangan, bahkan keinginan untuk selalu berbicara. Dalam latihan itu, manusia belajar berdamai dengan kesunyian.
Menemukan Nilai Kesunyian di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Hidup modern seringkali penuh kebisingan—baik dari pekerjaan, media sosial, atau pikiran sendiri. Di tengah arus deras itu, puasa menjadi semacam “rem” yang menuntun manusia kembali pada hening. Kesunyian dalam Fathul Qorib bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan menata ulang arah hati agar selaras dengan kehendak Ilahi.
Syekh al-Ghazi menulis:
وَإِنَّمَا يُقْصَدُ بِالصَّوْمِ تَهْذِيبُ النَّفْسِ وَتَطْهِيرُهَا مِنَ الدَّنَسِ وَالْمَعَاصِي
“Sesungguhnya tujuan puasa adalah mendidik jiwa dan mensucikannya dari kotoran dan maksiat.”
Dari kutipan itu jelas bahwa puasa adalah proses pendidikan jiwa (tahdzīb an-nafs). Kesunyian menjadi media refleksi—tempat seseorang menimbang kembali kebersihan niat dan ketulusan amalnya. Saat kesunyian mulai dicintai, hati akan merasakan kelapangan yang tidak bisa diberikan oleh kebisingan dunia.
Puasa dan Empati Sosial: Dari Lapar ke Kepekaan
Puasa juga mengajarkan empati. Ketika perut lapar, manusia diingatkan akan penderitaan orang yang tidak memiliki cukup makanan. Dari sinilah tumbuh rasa iba dan keinginan membantu. Dalam Fathul Qorib, Syekh al-Ghazi menekankan nilai sosial ini:
وَفِي الصَّوْمِ تَذْكِيرٌ لِلْعَبْدِ بِحَالِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لِيَرْقَّ قَلْبُهُ وَيَتَعَوَّدَ عَلَى الْإِحْسَانِ
“Dalam puasa terdapat pengingat bagi seorang hamba tentang keadaan fakir miskin, agar hatinya lembut dan terbiasa berbuat baik.”
Dengan demikian, puasa bukan hanya latihan spiritual individual, tetapi juga sosial. Ia mengajarkan bahwa lapar bukan musuh, melainkan jembatan untuk memahami penderitaan orang lain. Dari situ, tumbuh kasih dan empati—dua hal yang semakin langka dalam masyarakat modern yang serba cepat.
Niat Sebagai Inti Spiritualitas Puasa
Setiap amal ibadah memiliki ruh, dan bagi puasa, ruh itu adalah niat. Dalam Fathul Qorib, Syekh al-Ghazi menjelaskan:
النِّيَّةُ هِيَ الْقَصْدُ، وَلا يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلَّا بِهَا
“Niat adalah maksud (tujuan), dan puasa tidak sah kecuali dengannya.”
Niat bukan sekadar lafaz yang diucapkan sebelum fajar. Ia adalah arah batin, kesadaran tentang mengapa seseorang berpuasa. Niat menjadi pembeda antara ibadah yang bernilai dan sekadar rutinitas. Jika niatnya untuk Allah, maka setiap detik lapar akan bernilai pahala. Tetapi jika tanpa kesadaran, puasa hanya menjadi diet tanpa makna spiritual.
Niat yang jernih menjadikan kesunyian terasa penuh. Dalam diam, seseorang merasa ditemani oleh kasih Allah. Kesunyian seperti ini bukan kesepian, melainkan kedekatan.
Kesunyian Sebagai Jalan Menuju Takwa
Tujuan akhir puasa, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, adalah takwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Kesunyian menjadi pintu menuju takwa karena di dalamnya manusia benar-benar “melihat” dirinya tanpa topeng. Dalam diam, hawa nafsu terlihat jelas, dan dari kesadaran itulah muncul kendali.
Syekh al-Ghazi menulis kalimat yang menyentuh:
وَمَنْ صَامَ صَوْمًا حَقِيقِيًّا نَالَ رِضَا رَبِّهِ وَحَظِيَ بِالْقُرْبِ مِنْهُ
“Barang siapa berpuasa dengan sebenar-benarnya puasa, ia akan meraih ridha Tuhannya dan memperoleh kedekatan dengan-Nya.”
Kedekatan dengan Allah tidak selalu hadir melalui suara, zikir, atau doa yang lantang. Kadang ia datang dalam keheningan yang lembut, ketika seseorang berani memeluk sunyi dan mendengarkan bisikan hatinya yang paling jernih.
Kesimpulan: Mencintai Kesunyian, Menemukan Diri
Fathul Qorib mengajarkan bahwa puasa bukan hanya kewajiban, melainkan kesempatan untuk menemukan kembali hakikat diri. Dalam kesunyian, seseorang belajar mendengar suara hatinya, memperbaiki niat, dan membuka jalan menuju takwa.
Kesunyian bukan tempat melarikan diri, melainkan ruang untuk bertemu kembali—dengan diri, dengan sesama, dan dengan Allah. Maka, mencintai kesunyian melalui puasa berarti mencintai kehidupan dalam bentuknya yang paling tenang dan murni.
Puasa menurut Fathul Qorib adalah perjalanan menuju kedalaman, di mana manusia belajar menahan, memahami, dan akhirnya melepaskan. Dalam setiap detik sunyi, ada cinta Ilahi yang menyapa lembut, menenangkan hati yang lelah oleh hiruk pikuk dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
