Khazanah
Beranda » Berita » Shalat dalam Pandangan Fathul Qorib: Ibadah yang Menegakkan Kehidupan

Shalat dalam Pandangan Fathul Qorib: Ibadah yang Menegakkan Kehidupan

Santri shalat berjamaah di serambi pesantren dengan cahaya sore yang lembut.
Lukisan realis menggambarkan santri sedang shalat berjamaah dengan suasana khusyuk, menandakan kekuatan spiritual dan kedamaian.

Surau.co. Dalam kehidupan seorang Muslim, shalat menjadi napas spiritual yang menyambungkan bumi dengan langit. Dalam Fathul Qorib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, shalat bukan sekadar rangkaian gerakan ibadah; ia tampil sebagai bentuk kesadaran diri yang menegakkan hidup.

Kitab ini — yang terus diajarkan di pesantren selama berabad-abad — memandang shalat sebagai jantung agama, penopang moral, serta sumber ketenangan. Ibnu Qasim menuturkannya dengan lembut, seperti seorang guru yang ingin muridnya bukan hanya mengetahui tata cara shalat, namun juga menghayati makna hidup di balik setiap sujud.

Makna Shalat: Tiang Agama dan Penopang Jiwa

Syekh Ibnu Qasim membuka penjelasan tentang shalat dengan ungkapan sarat hikmah:

“الصلاة عماد الدين، من أقامها فقد أقام الدين، ومن تركها فقد هدم الدين.”
“Shalat adalah tiang agama. Siapa yang menegakkannya, menegakkan agama; siapa yang meninggalkannya, meruntuhkan agama.”

Kata “عماد” berarti tiang penyangga. Tanpa tiang, rumah runtuh; demikian pula manusia. Ketika seseorang meninggalkan shalat, kehidupan rohaninya mudah goyah.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Namun, menurut Ibnu Qasim, menegakkan shalat tidak cukup dengan gerakan fisik saja. Ia menekankan kehadiran hati. Karena itu, shalat memperoleh maknanya ketika hati benar-benar menyatu dengan doa yang terucap. Dengan demikian, shalat tampil sebagai manifestasi kesadaran spiritual yang membangun seseorang dari dalam.

Menegakkan Shalat di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Di era modern, banyak orang kehilangan ruang tenang untuk beribadah. Kita sering merasa dikejar waktu sehingga lima kali shalat sehari tampak seperti beban. Namun, Fathul Qorib menghadirkan pandangan yang berbeda: shalat justru menjadi ruang istirahat batin.

Ibnu Qasim menulis:

“النية شرط في الصلاة، وهي القصد إلى الفعل مع العلم به.”
“Niat adalah syarat shalat, yaitu maksud untuk melakukannya disertai kesadaran terhadap apa yang dilakukan.”

Frasa “مع العلم به” menegaskan pentingnya kesadaran. Karena itu, shalat bukan aktivitas tanpa arah, melainkan tindakan sadar untuk memulihkan keseimbangan jiwa.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Sebagaimana Allah berfirman:

“إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ” (QS. Al-‘Ankabut: 45)

Ayat ini menunjukkan bahwa shalat yang benar membentuk karakter, memperhalus akhlak, dan mengubah perilaku seseorang.

Rukun dan Gerak: Simbol Kehidupan yang Seimbang

Fathul Qorib menjelaskan bahwa setiap gerakan shalat memuat simbol spiritual yang sangat dalam. Ketika menjelaskan rukun, Ibnu Qasim berkata:

“القيام مع القدرة فرض في الفرض دون النفل.”
“Berdiri bagi yang mampu adalah kewajiban dalam shalat wajib, tidak dalam shalat sunnah.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Rukun berdiri bukan sekadar posisi tubuh, tetapi simbol keteguhan batin. Selanjutnya, rukuk menggambarkan kerendahan diri, sementara sujud menunjukkan puncak kepasrahan. Melalui susunan gerakan itu, seseorang belajar tunduk, ikhlas, dan kembali bangkit.

Dengan demikian, setiap rangkaian shalat berubah menjadi pendidikan karakter yang terus membentuk manusia.

Shalat sebagai Cermin Kedisiplinan dan Ketenangan

Salah satu nilai penting dalam Fathul Qorib adalah disiplin waktu. Ibnu Qasim menulis:

“وَفِي الْوَقْتِ أَدَاءٌ وَفِي غَيْرِهِ قَضَاءٌ.”
“Shalat pada waktunya disebut pelaksanaan, dan di luar waktunya disebut qadha’.”

Kalimat ini sangat sederhana, namun pesannya tegas. Ketepatan waktu melatih seseorang untuk menghargai hidup dan menyusun prioritas. Ketika waktu shalat terjaga, pola hidup pun ikut teratur.

Selain itu, dalam konteks sosial, disiplin shalat menumbuhkan harmoni karena masyarakat bergerak dalam denyut waktu spiritual yang sama.

Dimensi Sosial dan Spiritualitas Shalat

Fathul Qorib juga menyinggung sisi sosial shalat berjamaah. Dalam jamaah, semua berdiri sejajar; tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Imam memimpin dengan kepercayaan, sementara makmum mengikuti dengan kesadaran.

Oleh karena itu, shalat jamaah menggambarkan masyarakat ideal: setara, saling terhubung, dan dipimpin oleh arahan yang adil. Dengan kata lain, shalat berjamaah menjadi cermin peradaban yang damai.

Shalat sebagai Terapi Jiwa

Selain menjelaskan hukum, Fathul Qorib menghidupkan rasa. Ibnu Qasim menunjukkan bahwa shalat hadir sebagai terapi jiwa.

Ketika sujud, seseorang seolah menumpahkan seluruh beban. Dan ketika mengucap salam, ia melepaskan amarah. Ketika membaca Al-Fatihah, ia memohon petunjuk agar tidak tersesat.

Oleh karena itu, shalat tampil sebagai latihan untuk menyembuhkan diri melalui kedekatan dengan Allah. Dari sinilah lahir makna “menegakkan kehidupan”: hidup yang tumbuh dari jiwa yang tenteram.

Penutup: Menegakkan Agama, Menegakkan Kehidupan

Fathul Qorib mengajarkan bahwa shalat adalah pondasi keberagamaan sekaligus fondasi kemanusiaan. Ia bukan beban; sebaliknya, ia menjadi anugerah yang menenangkan.

Ketika seseorang menjaga shalat, ia sebenarnya sedang menjaga dirinya sendiri. Hatinya lembut, pikirannya jernih, dan langkahnya semakin terarah.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“اجعلوا من صلاتكم راحة، فإن فيها راحة القلوب.”
“Jadikanlah shalat sebagai tempat istirahat kalian, karena di dalamnya terdapat ketenangan hati.”

Pada akhirnya, shalat yang ditegakkan dengan kesadaran akan melahirkan kehidupan yang lebih bermakna — kehidupan yang ditopang oleh kedisiplinan, ketenangan, dan cinta kepada Allah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement