Surau.co.Biografi Ibnu Qasim al-Ghazi – Di antara deretan ulama besar madzhab Syafi‘i, nama Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili selalu mendapat penghormatan khusus di pesantren-pesantren Indonesia. Beliau dikenal sebagai Ibnu Qasim al-Ghazi, penulis kitab legendaris Fathul Qorib al-Mujib fi Syarhi Alfaz at-Taqrib.
Namanya mungkin tidak setenar Imam Syafi‘i atau Imam Nawawi, tetapi jutaan santri di Nusantara menjadikan karyanya sebagai bacaan harian. Kitab kecil yang akrab disebut Fathul Qorib itu membuka pintu pemahaman fiqih bagi banyak pelajar pemula. Untuk merasakan keindahan kitab ini, kita perlu menengok sosok yang menulisnya—seorang alim Gaza yang hidup dengan ketulusan dan pengabdian total pada ilmu.
Lahir di Gaza: Awal Kehidupan Sang Pencinta Ilmu
Syekh Ibnu Qasim lahir di Gaza, Palestina, sekitar tahun 859 H (1455 M). Ia tumbuh dalam keluarga religius dan sederhana, keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Gaza pada masa itu hidup sebagai kota perdagangan dan ilmu, tempat para ulama dari berbagai negeri berkumpul dan berdiskusi.
Sejak kecil, Ibnu Qasim menunjukkan kecerdasan tajam dan semangat belajar yang tidak pernah padam. Ia menghafal Al-Qur’an sejak usia dini dan mempelajari dasar-dasar nahwu, sharaf, fiqih, serta qira’at di berbagai madrasah Gaza.
Para gurunya mengenal ketekunan dan keuletannya. Namun kota Gaza tidak mampu memenuhi dahaga ilmunya. Karena itu, ia memutuskan merantau ke Mesir—ke pusat ilmu terbesar saat itu, Universitas Al-Azhar.
Menuntut Ilmu di Kairo: Perjalanan Spiritual dan Intelektual
Di Kairo, Ibnu Qasim berguru pada para ulama besar madzhab Syafi‘i seperti Syekh Zainuddin al-Malibari dan Syekh Jalaluddin al-Mahalli. Ia tinggal di sekitar Masjid Al-Azhar, tempat ribuan pelajar dari berbagai penjuru dunia menimba ilmu.
Hari-harinya selalu terisi dengan belajar, menulis, dan mengajar. Kesungguhannya membuat banyak orang menaruh hormat padanya. Ia cerdas, rendah hati, dan zuhud. Ia jarang memperpanjang perdebatan, tetapi pandangannya selalu menyejukkan.
Gaya berpikirnya sederhana namun mendalam. Ia lebih mengutamakan kejelasan daripada permainan retorika. Dari kejernihan pemikirannya lahirlah karya besar yang menjadi teman abadi para santri di Nusantara—Fathul Qorib.
Karya Monumental: Fathul Qorib al-Mujib
Karya terbesarnya adalah Fathul Qorib al-Mujib, syarah dari Matan at-Taqrib karya Abu Syuja‘ Ahmad bin al-Husain al-Ashfahani.
Dalam mukadimahnya, ia menulis:
“فإني لما رأيت كثيراً من الطلبة قد اشتغلوا بمختصر الشيخ أبي شجاع في الفقه، أحببت أن أشرح لهم ألفاظه شرحاً يقرب عليهم معانيه”
“Aku melihat banyak pelajar mempelajari ringkasan fiqih karya Syaikh Abu Syuja‘, maka aku ingin menjelaskan maknanya agar mudah mereka pahami.”
Niat itu lahir dari empatinya sebagai guru. Fathul Qorib bukan karya yang memamerkan kemampuan, tetapi karya yang memeluk para pelajar dengan kelembutan dan pengertian.
Ciri dan Karakter Keilmuan Ibnu Qasim
Keistimewaannya terletak pada kemampuannya menyederhanakan perkara yang rumit. Fathul Qorib menunjukkan keluasan ilmunya sekaligus cintanya pada para penuntut ilmu. Ia tetap menjaga warisan ulama terdahulu, tetapi menyajikannya dengan kejelasan yang memudahkan pemula.
Dalam setiap penjelasan, ia selalu mengaitkan fiqih dengan akhlak.
Seperti dalam bab zakat:
“الزكاة طهرة للأموال، وزيادة في البركة”
“Zakat menyucikan harta sekaligus menambah keberkahan.”
Atau dalam bab puasa:
“الصوم جنة من النار، ورياضة للنفس”
“Puasa menjadi perisai dari neraka dan latihan bagi jiwa.”
Bahasa itu sederhana, namun sarat nilai spiritual. Bagi Ibnu Qasim, fiqih bukan sekadar hukum, melainkan jalan penyucian hati.
Wafat dan Warisan Abadi
Ibnu Qasim wafat di Kairo pada tahun 918 H (1512 M) dalam usia sekitar 58 tahun. Para murid dan ulama Mesir mengantarkannya ke peristirahatan terakhir di kawasan yang kini termasuk lingkungan ulama Al-Azhar.
Catatan hidupnya tidak banyak, namun karyanya terus hidup. Lima abad berlalu, tetapi namanya tetap mengalir dari lisan para santri. Setiap kali seorang kiai membuka pengajian dengan “Qāla al-mu’allif rahimahullāh…”, seakan ruh Ibnu Qasim hadir dan ikut duduk dalam lingkaran itu.
Jejaknya di Pesantren Indonesia
Di Indonesia, Fathul Qorib menjadi bagian penting tradisi pesantren salaf. Hampir seluruh pondok klasik—Tremas, Lirboyo, Sidogiri, hingga Buntet—menjadikan kitab ini sebagai materi wajib fiqih dasar.
Santri belajar huruf Arab gundul dalam kitab ini dengan penuh kesabaran. Di sana mereka berlatih ketelitian, keuletan, serta kemampuan memahami makna secara mendalam. Fathul Qorib bukan hanya buku pelajaran; ia menjadi madrasah kesabaran.
Penutup: Ulama yang Mengajar Tanpa Kehadiran Fisik
Ibnu Qasim al-Ghazi mengajar tanpa batas waktu. Ia telah wafat berabad-abad lalu, tetapi jutaan santri terus belajar darinya. Namanya disebut dengan hormat dalam setiap halaqah fiqih dasar. Itulah keabadian seorang ulama—keabadian yang lahir dari ilmu yang terus menyalakan hati manusia.
Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi menjadi bukti nyata janji itu—ulama sederhana dari Gaza yang cahayanya menyinari dunia Islam hingga hari ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
