Surau.co. Pernahkah kamu membaca kalimat Arab yang begitu indah dan padu, seolah setiap katanya “menempel” sempurna dengan yang lain? Itulah hasil dari memahami kaidah na’at dan man’ut — dua pasangan serasi dalam ilmu nahwu yang mengatur bagaimana kata sifat dan kata benda saling melengkapi.
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar orang berkata, “Bahasa Arab itu sulit.” Padahal, banyak kesulitan itu lahir karena kita belum mengenal keindahan di balik struktur kalimatnya. Na’at dan man’ut adalah salah satu rahasia kecil agar kalimat terasa hidup, tertata, dan bermakna dalam.
Kitab klasik Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi menjelaskan bahwa hubungan antara na’at dan man’ut ibarat cermin dan bayangan. Keduanya saling merefleksikan: satu menunjukkan, yang lain menegaskan.
النعتُ تابعٌ يُوضِّحُ متبوعَهُ، فيتَّبِعُهُ في إعرابِهِ وتعريفِهِ وتنكيرِهِ وجنسِهِ وعددِهِ.
Na’at adalah kata yang mengikuti untuk menjelaskan yang diikutinya (man’ut), maka ia mengikuti dalam i‘rab, ma‘rifat, nakirah, jenis, dan bilangan.
Artinya, sifat (na’at) selalu menempel pada benda yang diterangkan (man’ut) — keduanya seperti guru dan murid, yang tak bisa dipisahkan tanpa kehilangan makna.
Menyelami Arti Na’at dan Man’ut
Secara sederhana, na’at berarti sifat, sedangkan man’ut berarti kata yang disifati. Dalam bahasa Arab, hubungan ini penting untuk menjelaskan sesuatu secara spesifik. Misalnya, dalam kalimat:
جَاءَ الرَّجُلُ الصَّالِحُ
(Datanglah lelaki yang saleh)
Kata الصَّالِحُ (yang saleh) berfungsi sebagai na’at, sedangkan الرَّجُلُ (lelaki) adalah man’ut. Sifat saleh di sini menjelaskan siapa lelaki yang dimaksud. Jika kata sifat ini dihapus, maknanya menjadi lebih umum dan kabur.
Kitab Kifayatul Thullab menegaskan pentingnya kesesuaian antara keduanya. Bila man’ut berharakat rafa‘, maka na’at pun harus rafa‘; bila man’ut ma‘rifah, maka na’at juga ma‘rifah. Kaidah ini menjaga keseimbangan makna, agar kalimat tetap rapi dan tidak rancu.
Menariknya, konsep ini tidak hanya soal struktur kalimat. Ia juga menyiratkan prinsip keseimbangan dalam kehidupan. Bahwa setiap hal memiliki pasangan yang menyempurnakan. Dalam ilmu, dalam ibadah, bahkan dalam relasi antarmanusia.
Na’at dan Man’ut dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sendiri penuh dengan contoh hubungan na’at dan man’ut yang indah. Salah satunya dalam surah Al-Baqarah [2]:3:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
(Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka)
Kata الَّذِينَ adalah man’ut, sedangkan seluruh sifat setelahnya — يُؤْمِنُونَ، يُقِيمُونَ، يُنفِقُونَ — berfungsi sebagai penjelas atau na’at yang menegaskan siapa mereka. Dalam ayat ini, na’at memperkaya makna dan menghadirkan kedalaman spiritual.
Tanpa memahami struktur seperti ini, pembaca mungkin sekadar tahu artinya secara global, tapi kehilangan keindahan gramatikal yang meneguhkan pesan.
Ulama tafsir klasik, Imam al-Baghawi, mengatakan:
النعتُ في كلامِ العربِ يُظهِرُ تمامَ المعنى ويُوضِحُ المرادَ.
Na’at dalam bahasa Arab memperjelas makna yang sempurna dan menerangkan maksud sebenarnya.
Dengan kata lain, memahami na’at bukan sekadar soal bahasa, tetapi juga soal rasa. Rasa memahami pesan wahyu secara utuh.
Kaidah Dasar: Kapan Na’at Menempel, Kapan Tidak
Menurut Kifayatul Thullab, ada empat hal utama yang harus “nempel” antara na’at dan man’ut:
- I‘rab (Harakat Akhir): Bila man’ut berharakat rafa‘, na’at pun harus rafa‘. Contoh:
الولدُ المجتهدُ محبوبٌ
Anak yang rajin itu disukai.
- Ta‘rif dan Tankir (Dikenal atau Tidaknya Kata): Bila man’ut ma‘rifah (spesifik), maka na’at juga ma‘rifah. Bila man’ut nakirah (umum), maka na’at pun nakirah.
جاءَ رجلٌ صالحٌ
Telah datang seorang lelaki yang saleh.
- Jins (Jenis): Bila man’ut mudzakkar (maskulin), maka na’at juga harus mudzakkar.
الطالبُ المجتهدُ (murid laki-laki rajin)
Tapi bila perempuan:
الطالبةُ المجتهدةُ (murid perempuan rajin)
- ‘Adad (Bilangan): Jika man’ut tunggal, maka na’at tunggal; jika jamak, maka na’at jamak.
Empat hal ini adalah pondasi agar “kalimatmu nempel” — dalam arti, kalimatmu menjadi utuh dan harmonis. Tidak timpang antara sifat dan yang disifati.
Na’at Sebagai Cermin Kecermatan
Salah satu hikmah belajar na’at dan man’ut adalah melatih ketelitian. Setiap kata harus selaras, setiap tanda baca punya peran. Dalam kehidupan, ini mengajarkan bahwa kesempurnaan lahir dari perhatian pada detail.
Kiai di pesantren sering berkata, “Barang siapa teliti dalam nahwu, maka ia akan teliti dalam amal.” Karena orang yang hati-hati mengatur harakat kata, akan terbiasa hati-hati pula dalam langkah hidupnya.
Kata na’at secara maknawi juga mengandung pesan moral. Ia berasal dari akar kata na‘ata, yang berarti “memuji” atau “menyebut dengan kebaikan.” Maka ketika kita menggunakan na’at dalam kalimat, sejatinya kita sedang belajar menyebut kebaikan, menempelkan sifat baik pada sesuatu. Dalam hal ini, bahasa menjadi jalan menuju akhlak.
Kesalahan Umum dalam Na’at dan Man’ut
Banyak pelajar bahasa Arab terkadang keliru menempatkan na’at. Misalnya, menjadikan kata sifat tidak sesuai i‘rab-nya atau mengabaikan kesesuaian jenis kelamin. Kesalahan kecil ini bisa mengubah makna kalimat.
Contoh:
❌ رأيتُ الرجلَ الصالحُ
✔️ رأيتُ الرجلَ الصالحَ
Kesalahan satu harakat di akhir kata الصالحُ menjadikan kalimat rancu. Dalam nahwu, ini disebut khathā’ i‘rabi (kesalahan dalam i‘rab).
Imam Sibawaih pernah menegaskan:
من أخطأ في الإعراب، فقد لحن في الفهم.
Barang siapa keliru dalam i‘rab, maka ia salah dalam memahami.
Karena itu, belajar kaidah na’at bukan hanya soal hafalan, tapi latihan mengasah ketepatan berpikir.
Na’at dan Etika Berbahasa
Selain fungsi linguistik, na’at mengandung pelajaran etika. Dalam setiap kata sifat yang kita pilih, ada nilai moral yang kita tanamkan. Bahasa mencerminkan hati. Maka, jika na’at berarti “menempelkan sifat,” tidakkah kita perlu menempelkan sifat baik dalam setiap kalimat dan sikap?
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
الكلمةُ الطيبةُ صدقةٌ
Ucapan yang baik adalah sedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, setiap kata yang kita ucapkan bisa bernilai ibadah jika disusun dengan niat dan makna yang baik. Dalam konteks nahwu, ini mengingatkan kita bahwa setiap “na’at” yang baik akan menambah kebaikan “man’ut”-nya — seperti sifat jujur yang menambah kemuliaan pada seorang mukmin.
Menghidupkan Kaidah dalam Pembelajaran Modern
Di era sekarang, mengajarkan na’at dan man’ut bisa dikemas lebih menarik. Misalnya, dengan visualisasi warna: man’ut ditulis biru, na’at merah, lalu siswa diminta menyesuaikan harakatnya. Atau menggunakan aplikasi digital yang menunjukkan perubahan otomatis saat kata berubah i‘rab.
Pesantren modern bisa memadukan metode klasik dengan teknologi. Sebab, seperti kata Imam al-Jurjani:
اللفظُ صُورةُ المعنى، والمعنى روحُ اللفظِ.
Lafaz adalah bentuk dari makna, dan makna adalah ruh dari lafaz.
Jadi, belajar nahwu bukan sekadar belajar bunyi dan tanda, tetapi menghidupkan ruh bahasa agar lebih bermakna.
Penutup: Sifat yang Menempel, Kalimat yang Menghidupkan
Belajar na’at dan man’ut mengajarkan kita bahwa keindahan lahir dari keseimbangan. Seperti sifat menempel pada benda yang disifati, demikian pula kebaikan harus menempel pada ucapan dan tindakan kita.
Jangan biarkan kata-kata kita kosong dari makna. Seperti kalimat tanpa na’at — datar, hampa, dan kehilangan rasa. Jadikan setiap kalimatmu penuh makna, rapi, dan “nempel.” Sebab, sebagaimana kata para ahli nahwu, “Man fasada i‘rabuhu, fasada ma‘nahu.” — siapa rusak i‘rabnya, rusak pula maknanya. Maka, jagalah kata sebagaimana kita menjaga makna hidup.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
