Khazanah
Beranda » Berita » Dari Mubtada’ sampai Khabar: Pondasi Nahwu Menurut Kifayatul Thullab

Dari Mubtada’ sampai Khabar: Pondasi Nahwu Menurut Kifayatul Thullab

Santri belajar mubtada’ dan khabar bersama guru di surau
Guru menjelaskan konsep mubtada’ dan khabar kepada santri di surau sore hari dengan suasana hangat dan penuh cahaya ilmu.

Surau.co. Bagi santri, belajar bahasa Arab sering kali dimulai dari mengenal dua istilah dasar: mubtada’ dan khabar. Dua kata ini mungkin terdengar sederhana, tapi keduanya adalah fondasi dari seluruh bangunan kalimat dalam bahasa Arab. Tanpa memahami hubungan antara mubtada’ dan khabar, seseorang bisa kesulitan menafsirkan makna ayat atau hadits dengan benar.

Dalam kitab klasik Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi, pembahasan mengenai mubtada’ dan khabar menjadi titik awal yang sangat penting. Ia bukan hanya sekadar teori tata bahasa, melainkan juga cara berpikir. Sebab bahasa Arab tidak hanya menyusun kata, tapi menyusun makna kehidupan.

Allah ﷻ berfirman:

الرَّحْمَٰنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ، خَلَقَ الْإِنسَانَ، عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“(Allah) Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, dan mengajarkannya pandai berbicara.” (QS. Ar-Rahman [55]: 1–4)

Ayat ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa adalah karunia Ilahi. Maka ketika kita belajar mubtada’ dan khabar, sejatinya kita sedang menyelami cara Allah mengajarkan manusia menyusun makna.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kifayatul Thullab: Menata Dasar dengan Bahasa yang Mudah

Kitab Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi karya Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi termasuk salah satu pegangan utama di banyak pesantren. Kitab ini disusun agar pelajar pemula bisa memahami struktur dasar bahasa Arab tanpa merasa terbebani oleh istilah rumit.

Dalam salah satu bagiannya, Syaikh al-Fayyumi menerangkan:

الكلامُ ما تَأَلَّفَ مِنْ كَلِمَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ يُفِيدُ فَائِدَةً
“Kalimat adalah susunan dari dua kata atau lebih yang memberikan makna yang sempurna.”

Di sini, beliau menegaskan bahwa inti dari kalimat adalah makna yang utuh. Nahwu tidak berhenti pada rumus, tetapi pada tafaahum—saling memahami. Dari sinilah pembahasan tentang mubtada’ dan khabar dimulai, karena keduanya merupakan jantung dari kalimat sempurna (jumlah ismiyyah).

Bagi santri, Kifayatul Thullab menjadi jembatan antara teori dan praktik. Setiap babnya mengajarkan keteraturan berpikir, sebagaimana bahasa Arab mengajarkan keteraturan makna.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Mubtada’: Awal Sebuah Makna

Secara sederhana, mubtada’ berarti “yang dimulai”. Dalam gramatika Arab, ia adalah kata benda (isim) yang menjadi subjek dalam kalimat nominal. Dalam Kifayatul Thullab disebutkan:

المبتدأُ هو الاسمُ المرفوعُ العاري عن العواملِ اللفظيَّةِ، والخبرُ هو الذي يتمُّ به معنى الجملة
“Mubtada’ adalah kata benda berharakat rafa’ yang tidak didahului oleh faktor lafaz tertentu, dan khabar adalah bagian yang menyempurnakan makna kalimat.”

Mubtada’ adalah awal kalimat, tempat makna dimulai. Ia menggambarkan siapa atau apa yang sedang dibicarakan. Misalnya dalam kalimat:

اللهُ غفورٌ — “Allah Maha Pengampun.”

Kata اللهُ adalah mubtada’, penunjuk subjek utama. Ia menjadi pusat perhatian dalam kalimat, tempat semua makna bermula.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Menariknya, mubtada’ dalam bahasa Arab sering digunakan untuk menyatakan keyakinan. Kalimat seperti اللهُ واحدٌ (Allah itu Esa) adalah contoh bagaimana bahasa menjadi sarana peneguhan akidah.

Maka, memahami mubtada’ bukan hanya memahami posisi kata, tetapi juga memahami siapa pusat makna dalam kehidupan. Dalam konteks spiritual, Allah adalah “mubtada’” segala sesuatu—tempat semua cerita dimulai.

Khabar: Penyempurna Makna dan Penjelas Keadaan

Setelah ada mubtada’, kalimat tidak akan bermakna lengkap tanpa khabar. Ia adalah keterangan yang menyempurnakan pengertian mubtada’. Dalam bahasa sederhana, khabar adalah “berita” atau “informasi” yang menjelaskan keadaan subjek.

Kifayatul Thullab menjelaskan dengan ringkas:

والخبرُ ما يُكمِّلُ فائدةَ المبتدأ
“Khabar adalah bagian yang menyempurnakan faedah mubtada’.”

Contoh:

الطالبُ مجتهدٌ — “Santri itu rajin.”

Kata al-thaallibu adalah mubtada’, sementara mujtahidun adalah khabar. Tanpa khabar, kalimat tersebut hanya berupa subjek tanpa makna. Tapi begitu khabar hadir, kalimat hidup dan bermakna.

Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang menggunakan struktur mubtada’-khabar. Misalnya:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur [24]: 35)

Kata اللَّهُ adalah mubtada’, sedangkan نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ adalah khabar. Struktur ini memperlihatkan hubungan antara Dzat dan sifat-Nya. Di sinilah keindahan nahwu terasa: ia membantu kita menelusuri makna spiritual dari struktur kalimat wahyu.

Hubungan Mubtada’ dan Khabar: Seimbang seperti Amal dan Ilmu

Mubtada’ dan khabar tidak dapat berdiri sendiri. Seperti dua sayap burung, keduanya saling melengkapi. Tanpa mubtada’, kalimat kehilangan arah; tanpa khabar, ia kehilangan makna.

Para ulama bahasa sering menafsirkan hubungan ini secara filosofis. Imam al-Zamakhsyari, seorang ahli nahwu dan tafsir, pernah mengatakan:

المبتدأُ أصلٌ والخبرُ فرعٌ، ولا يتمُّ المعنى إلا باجتماعهما
“Mubtada’ adalah pokok dan khabar adalah cabangnya. Makna tidak akan sempurna kecuali keduanya bersatu.”

Keterhubungan itu menggambarkan keseimbangan antara ilmu dan amal, antara pengetahuan dan perbuatan. Mubtada’ adalah pengetahuan tentang “siapa” atau “apa”, sedangkan khabar adalah pengamalan, yakni “bagaimana”.

Ketika seseorang berkata المؤمنُ صادقٌ (seorang mukmin itu jujur), maka ia sedang menyatukan pengetahuan (iman) dan perbuatan (kejujuran). Bahasa Arab mengajarkan bahwa makna sejati selalu lahir dari kesatuan antara keyakinan dan tindakan.

Variasi Khabar dan Kedalaman Makna

Dalam Kifayatul Thullab, khabar dijelaskan memiliki banyak bentuk: bisa berupa satu kata, frasa, bahkan kalimat utuh. Misalnya:

  • الوقتُ ذهبٌ — “Waktu adalah emas.” (khabar berupa kata)
  • الطالبُ في المسجدِ — “Santri itu di masjid.” (khabar berupa frasa preposisional)
  • السماءُ تمطرُ — “Langit sedang menurunkan hujan.” (khabar berupa kalimat)

Variasi ini memperlihatkan betapa fleksibelnya bahasa Arab dalam mengekspresikan makna.

Dalam kehidupan, khabar bisa diibaratkan sebagai bentuk refleksi dari kenyataan. Ia menggambarkan keadaan, menjelaskan situasi, dan menyempurnakan identitas subjek. Dalam konteks spiritual, khabar mengajarkan kita untuk tidak berhenti pada identitas (mubtada’) semata, tetapi melengkapinya dengan keadaan yang baik.

Kesalahan Umum dalam Memahami Mubtada’ dan Khabar

Banyak santri pemula sering salah menempatkan mana mubtada’, mana khabar. Kesalahan ini biasanya terjadi karena fokus hanya pada urutan kata, bukan pada fungsi maknanya. Padahal, dalam bahasa Arab, posisi tidak selalu menentukan peran.

Misalnya, kalimat في المسجدِ الطالبُ tetap bisa bermakna “santri itu berada di masjid”, meskipun khabar (في المسجد) mendahului mubtada’ (الطالب). Dalam kasus seperti ini, Kifayatul Thullab mengajarkan agar santri tidak terpaku pada posisi, tapi pada makna dan tanda harakat.

Syaikh al-Fayyumi menerangkan:

قد يتقدَّمُ الخبرُ على المبتدأ إذا أُمِنَ اللبسُ
“Khabar boleh mendahului mubtada’ selama tidak menimbulkan kerancuan makna.”

Pelajaran ini menunjukkan kelenturan bahasa Arab. Ia logis tapi juga kontekstual. Maka, belajar nahwu tidak cukup dengan hafalan; ia butuh kepekaan makna.

Belajar dari Bahasa Wahyu: Mubtada’ dan Khabar dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an, struktur mubtada’-khabar sering digunakan untuk menegaskan kebenaran akidah. Misalnya:

اللَّهُ أَكْبَرُ
“Allah Maha Besar.”

Kata Allah sebagai mubtada’ menunjukkan Dzat, sementara akbar (Maha Besar) sebagai khabar menunjukkan sifat keagungan-Nya. Struktur ini sederhana, tapi penuh kekuatan makna.

Begitu pula ayat:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Kalimat ini secara gramatikal memiliki mubtada’ tersembunyi (المحمودُ) dan khabar berupa للهِ. Namun maknanya sangat dalam: segala pujian hanya pantas untuk Allah. Nahwu membantu kita menangkap ketelitian struktur yang menyampaikan makna tauhid.

Penutup

Mubtada’ dan khabar bukan hanya konsep gramatika, tapi simbol kehidupan. Mubtada’ mengajarkan kita untuk tahu dari mana memulai; khabar mengajarkan ke mana arah makna harus menuju.

Seperti dalam kalimat kehidupan, kita semua adalah mubtada’ — makhluk yang diciptakan Allah — dan seluruh amal, akhlak, serta ilmu kita adalah khabar yang melengkapi kisah diri.

Syaikh Abu al-Hasan al-Sirjani pernah berkata:

مَن ضَبَطَ لِسَانَهُ بِالنَّحْوِ، ضَبَطَ فِكْرَهُ بِالعَقْلِ
“Siapa yang menata lisannya dengan nahwu, maka ia juga menata pikirannya dengan akal.”

Belajar nahwu, termasuk mubtada’ dan khabar, pada akhirnya adalah latihan menata pikiran dan hati. Dari susunan kata, kita belajar menyusun makna hidup yang lebih tertib dan bermakna.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement