Surau.co. Bagi banyak santri, pelajaran nahwu dan sharaf sering dianggap sulit. Mereka sering bergumam, “Fi’il, isim, huruf… apa bedanya?” Namun, di balik tiga istilah dasar itu, tersembunyi rahasia indah bagaimana bahasa Arab menggambarkan kehidupan manusia: gerak, benda, dan hubungan.
Dalam kitab klasik Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi, pembahasan tentang fi’il (kata kerja) dan isim (kata benda) menjadi pintu utama untuk memahami seluruh struktur bahasa Arab. Tanpa mengenal keduanya, santri akan tersesat dalam lautan kalimat tanpa arah.
Allah ﷻ berfirman:
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 5)
Belajar bahasa Arab—termasuk membedakan fi’il dan isim—adalah bagian dari bentuk syukur atas ilmu yang Allah ajarkan kepada manusia. Maka, memahami nahwu bukan sekadar hafalan, tetapi juga latihan berpikir teratur dan menata hati.
Kifayatul Thullab dan Jalan Memahami Bahasa Wahyu
Kitab Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi karya Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi termasuk kitab pegangan dasar di pesantren. Gaya bahasanya singkat, padat, dan terstruktur, sehingga mudah dicerna oleh pelajar awal.
Dalam mukadimahnya, beliau berkata:
هَذِهِ كِفَايَةٌ لِلطُّلَّابِ فِي بَيَانِ أُصُولِ النَّحْوِ
“Kitab ini adalah bekal yang mencukupi bagi para pelajar dalam memahami dasar-dasar ilmu nahwu.”
Pesan ini sederhana tapi bermakna dalam. Kifayatul Thullab tidak ingin menakut-nakuti pelajar dengan istilah rumit, melainkan memberi pegangan praktis agar mereka mampu membaca dan memahami teks Arab—terutama ayat Al-Qur’an dan hadits—secara benar.
Di dalamnya, fi’il dan isim dijelaskan bukan hanya secara gramatikal, tetapi juga filosofis. Sebab dalam pandangan ulama nahwu, memahami struktur bahasa berarti memahami cara berpikir.
Fi’il: Bahasa Gerak dan Aksi Kehidupan
Dalam nahwu, fi’il berarti kata yang menunjukkan perbuatan atau kejadian yang terkait waktu. Tiga jenis fi’il dikenal: fi’il madhi (lampau), fi’il mudhari’ (sekarang atau akan datang), dan fi’il amr (perintah).
Dalam Kifayatul Thullab, dijelaskan:
الفِعْلُ مَا دَلَّ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهِ وَاقْتَرَنَ بِزَمَانٍ
“Fi’il adalah kata yang menunjukkan makna tersendiri dan berkaitan dengan waktu.”
Fi’il bukan sekadar kata kerja. Ia adalah cermin dinamika kehidupan. Dalam setiap fi’il, ada semangat bergerak dan berbuat. Ketika seorang santri membaca فَعَلَ (dia telah berbuat), ia sedang menghidupkan konsep amal dan tanggung jawab.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ
“Dan katakanlah: beramallah kamu, maka Allah akan melihat amalmu.” (QS. At-Taubah [9]: 105)
Dalam ayat ini, kata اعملوا berasal dari fi’il amr (kata kerja perintah). Bahasa Arab menjadikan perintah bukan sekadar kata, tetapi dorongan spiritual. Maka, belajar fi’il bukan hanya soal tata bahasa, melainkan latihan memahami hakikat amal saleh.
Isim: Keheningan yang Penuh Makna
Berbeda dengan fi’il yang menunjukkan gerak, isim menggambarkan ketenangan dan eksistensi. Ia menunjuk pada sesuatu yang ada—baik nyata maupun maknawi. Dalam Kifayatul Thullab dijelaskan:
الِاسْمُ مَا دَلَّ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ
“Isim adalah kata yang menunjukkan makna pada dirinya tanpa terkait waktu.”
Contohnya seperti kitabun (buku), ilm (ilmu), rahmah (kasih sayang). Semua isim ini menggambarkan kehadiran sesuatu yang tetap, bukan perbuatan sementara.
Isim dalam bahasa Arab bisa menjadi subjek (fa’il), objek (maf’ul), atau penunjuk tempat dan waktu. Ia stabil, seperti pondasi bangunan kalimat. Karena itu, memahami isim membantu santri mengenali struktur makna yang kokoh.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Kata العلم (ilmu) di sini adalah isim. Ia bukan gerak, tetapi nilai. Dari sinilah kita belajar bahwa dalam bahasa Arab, kata benda pun bisa memancarkan cahaya spiritual. Isim menandai sesuatu yang berharga untuk diingat, bukan sekadar dilakukan.
Antara Fi’il dan Isim: Dua Sayap Pemahaman Bahasa
Bila fi’il menggambarkan gerak, dan isim menggambarkan keberadaan, maka keduanya saling melengkapi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memerlukan keduanya—bergerak dan berdiam, berbuat dan merenung.
Ulama bahasa sering mengatakan:
الكلمة ثلاثة: اسم وفعل وحرف، والاسم أصل والفعل فرع
“Kata dalam bahasa Arab ada tiga: isim, fi’il, dan huruf. Isim adalah pokok, dan fi’il cabangnya.”
Ungkapan ini bukan tanpa makna. Isim dianggap asal karena semua fi’il dan huruf pada akhirnya kembali padanya. Manusia beramal (fi’il) karena adanya manusia itu sendiri (isim).
Maka dalam pembelajaran nahwu, santri diajak menyeimbangkan antara semangat berbuat dan ketenangan memahami makna. Ketika seseorang memahami hubungan fi’il dan isim, ia juga memahami keseimbangan antara amal dan ilmu, antara gerak dan makna.
Kesalahan Umum Santri dalam Membedakan Fi’il dan Isim
Banyak santri baru terjebak pada tanda-tanda luar. Mereka mengira semua kata yang diakhiri tanwin adalah isim, padahal tidak selalu. Begitu pula, mereka menganggap semua kata yang memakai awalan ya- pasti fi’il mudhari’.
Dalam Kifayatul Thullab, Syaikh al-Fayyumi memberi petunjuk praktis:
يُعْرَفُ الِاسْمُ بِالْخَفْضِ وَالتَّنْوِينِ وَالدُّخُولِ أَلِفِ وَاللَّامِ
“Isim dikenali dengan tanda jar, tanwin, dan kemasukannya alif-lam.”Sementara fi’il dikenali dengan adanya tanda waktu dan pelaku. Misalnya كَتَبَ (telah menulis), يَكْتُبُ (sedang menulis), اُكْتُبْ (menulislah!).
Guru yang sabar biasanya akan memberi contoh dengan kalimat sederhana. Seperti:
كَتَبَ الطَّالِبُ دَرْسَهُ — “Santri menulis pelajarannya.”
Kata kataba di sini fi’il, sedangkan at-thalibu isim. Dengan memahami struktur ini, santri tidak hanya hafal rumus, tapi juga paham makna hubungan subjek dan perbuatan.
Belajar Fi’il dan Isim dengan Cara Menyenangkan
Metode lama yang hanya mengandalkan hafalan terkadang membuat santri cepat jenuh. Zaman sekarang, banyak pesantren mulai mengajarkan nahwu dengan cara yang lebih kreatif—melalui lagu, dialog, bahkan permainan interaktif.
Misalnya, untuk menghafal perubahan fi’il, santri bisa bernyanyi:
Fa’ala – Yaf’alu – If‘al…
Mereka menirukan irama sambil memahami bahwa setiap perubahan menunjukkan waktu dan suasana berbeda.
Dalam kelas lain, guru bisa membuat permainan: menebak apakah kata tertentu termasuk fi’il atau isim. Suasana belajar menjadi hangat dan santri tak lagi takut mendengar kata “nahwu”.
Lebih dari itu, metode kontekstual seperti membaca ayat Al-Qur’an sambil menandai fi’il dan isim membuat pelajaran terasa hidup. Santri akan sadar bahwa setiap kata dalam wahyu Allah punya fungsi yang penuh makna.
Nahwu sebagai Jalan Spiritual dan Intelektual
Fi’il dan isim bukan hanya urusan gramatika, tapi juga simbol perjalanan spiritual manusia. Fi’il mengajarkan pentingnya amal, sedangkan isim mengajarkan pentingnya makna dan keberadaan.
Setiap kali santri membaca kalimat seperti:
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmuku.” (QS. Taha [20]: 114)
Kata زِدْنِي (tambahkanlah padaku) adalah fi’il amr, menandakan gerak permohonan. Sedangkan عِلْمًا (ilmu) adalah isim, menggambarkan sesuatu yang bernilai dan abadi. Dalam satu doa saja, fi’il dan isim sudah berdampingan, seperti amal dan ilmu dalam kehidupan.
Penutup
Bahasa Arab tidak hanya tentang struktur, tetapi tentang jiwa. Fi’il mengajak kita bergerak; isim mengajak kita memahami makna keberadaan. Keduanya berpelukan dalam keindahan bahasa wahyu.
Belajar fi’il dan isim lewat Kifayatul Thullab bukan hanya belajar gramatika, tetapi juga menata akal dan hati. Setiap kali kita mengenali kata kerja dan kata benda dalam ayat suci, kita sedang membaca keindahan penciptaan yang tersusun rapi.
Maka teruslah mengaji fi’il dan isim, bukan untuk pamer ilmu, tapi untuk mengenali makna diri. Sebab dalam setiap kalimat yang kita baca, selalu ada jejak cinta Sang Pencipta.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
