Surau.co. Bagi sebagian santri baru, kata nahwu sering dianggap menakutkan. Huruf-huruf Arab gundul di kitab kuning seolah menari tanpa suara, meninggalkan para pemula dalam kebingungan. Padahal, di balik kerumitan itu tersimpan kunci memahami bahasa Al-Qur’an — bahasa wahyu, ilmu, dan keindahan.
Di banyak pesantren, kitab Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi menjadi pegangan awal dalam memahami ilmu tata bahasa Arab. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama Nusantara yang sangat berpengaruh, Syaikh Abu Fadhol bin ‘Abdus Syakur Senori, seorang alim besar dari Senori, Tuban, Jawa Timur. Beliau hidup di masa keemasan pesantren tradisional, dikenal luas karena kepakarannya dalam ilmu alat dan kedalaman spiritualnya.
Belajar nahwu sebenarnya bukan tentang menghafal rumus, tetapi tentang memahami keteraturan ciptaan Allah dalam bahasa-Nya. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12]: 2)
Bahasa Arab adalah kendaraan makna. Maka siapa yang ingin memahami wahyu, tak mungkin mengabaikan ilmu nahwu. Ia bukan sekadar pelajaran, tetapi bagian dari perjalanan spiritual memahami kalam Allah.
Syaikh Abu Fadhol Senori dan Kifayatul Thullab: Cahaya Ilmu dari Tanah Jawa
Syaikh Abu Fadhol bin ‘Abdus Syakur Senori dikenal luas di kalangan ulama pesantren. Beliau lahir di Senori, Tuban, dan dikenal sebagai ulama ahli nahwu, sharaf, dan tafsir. Karya beliau Kifayatul Thullab fi ‘Ilmi an-Nahwi menjadi bukti betapa dalamnya tradisi intelektual pesantren Nusantara dalam melestarikan khazanah Arab klasik.
Dalam muqaddimah kitabnya, beliau berkata dengan rendah hati:
قَدْ جَمَعْتُ فِي هَذِهِ الْكِفَايَةِ مَا يَكْفِي الطَّالِبَ فِي بَابِ النَّحْوِ مِنَ الْقَوَاعِدِ وَالأَمْثِلَةِ
“Aku kumpulkan dalam kitab Kifayah ini hal-hal yang mencukupi bagi pelajar dalam bidang nahwu, berupa kaidah dan contoh-contoh.”
Pesan itu sederhana namun mendalam. Abu Fadhol Senori menulis bukan untuk mempersulit pelajar, tetapi untuk memudahkan jalan memahami bahasa Arab tanpa kehilangan kedalaman makna. Kitab ini menjadi simbol keseimbangan antara akal dan adab, antara ilmu dan amal.
Melalui Kifayatul Thullab, kita melihat bagaimana pesantren di Jawa mampu menyerap keilmuan Arab dengan tetap mempertahankan akar budaya lokal: disiplin, tawadhu’, dan semangat menuntut ilmu.
Mengapa Nahwu Dirasakan Sulit oleh Santri Zaman Sekarang
Banyak santri merasa nahwu sulit karena mereka memandangnya semata sebagai rumus. Padahal, nahwu adalah jiwa bahasa. Ia menuntun kita memahami hubungan kata dalam kalimat sebagaimana hubungan makhluk dengan Penciptanya — teratur, indah, dan penuh makna.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan memberinya pemahaman dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pemahaman agama yang benar lahir dari kesungguhan memahami makna teks. Nahwu membantu kita agar tidak salah paham terhadap makna ayat atau hadits.
Namun, di era digital ini, cara belajar santri telah berubah. Mereka tumbuh dengan visual, audio, dan tempo cepat. Karena itu, guru perlu menghadirkan metode belajar yang lebih menarik — menghidupkan nahwu dengan kisah, contoh kehidupan, dan analogi yang membumi.
Belajar dari Guru: Sanad Ilmu yang Tak Tergantikan
Dalam tradisi pesantren, ilmu bukan sekadar teks. Ia adalah cahaya yang ditransfer dari dada ke dada. Nahwu tidak akan hidup hanya lewat buku, tetapi harus melalui talaqqi — belajar langsung dengan guru yang bersanad.
Imam Malik رحمه الله berkata:
لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ صَحَفِيٍّ وَلَا مِنْ صَاحِبِ هَوًى
“Ilmu tidak diambil dari orang yang hanya membaca lembaran (tanpa guru), dan tidak dari pengikut hawa nafsu.”
Begitu pula dalam mempelajari Kifayatul Thullab. Guru bukan hanya menjelaskan makna, tetapi menanamkan adab dan rasa hormat terhadap ilmu. Dengan bimbingan guru, santri belajar bahwa fa’il dan maf’ul bukan sekadar istilah, melainkan simbol keteraturan yang mencerminkan sunnatullah dalam bahasa manusia.
Santri yang belajar kepada guru dengan hati akan merasakan bahwa nahwu bukan beban, melainkan keindahan yang menata pikiran dan lisan.
Nahwu sebagai Jalan Memahami Al-Qur’an dan Doa
Setiap struktur dalam bahasa Arab menyimpan makna yang dalam. Nahwu membuka pintu itu.
Misalnya, dalam ayat:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur [24]: 35)
Kata اللَّهُ sebagai mubtada’ (subjek) dan نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ sebagai khabar (predikat) menunjukkan kesempurnaan keberadaan Allah sebagai sumber cahaya bagi seluruh alam. Memahami susunan ini dengan ilmu nahwu membuat pembaca bukan hanya tahu artinya, tapi juga merasakan kedalaman maknanya.
Begitu pula dalam doa رَبِّ اغْفِرْ لِي, huruf li menunjukkan kedekatan dan kepemilikan — bahwa ampunan itu dimohon langsung kepada Rabb yang dekat. Dengan nahwu, doa menjadi lebih hidup; setiap kata terasa berdetak.
Metode Belajar Nahwu yang Menyenangkan di Era Digital
Salah satu keunggulan pesantren Nusantara adalah kemampuannya beradaptasi tanpa kehilangan ruh. Kini, banyak guru yang mulai mengajarkan Kifayatul Thullab dengan cara yang lebih interaktif.
Beberapa pesantren membuat kelas nahwu kreatif: santri diajak membuat peta konsep, bermain peran, bahkan membuat lagu dari rumus i’rab. Misalnya, untuk menjelaskan perubahan akhir kata (i’rab), guru berkata, “Kalau kata itu marfu’, ia sedang tegak penuh semangat; jika manshub, ia sedang tunduk rendah hati; jika majrur, ia sedang bersandar kepada sahabatnya.”
Pendekatan seperti ini membuat santri tertawa, namun juga paham.
Ayat Al-Qur’an pun bisa dijadikan contoh langsung:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 5)
Kata إِيَّاكَ menjadi contoh maf’ul bih yang didahulukan untuk menunjukkan penekanan makna. Dengan cara seperti ini, santri belajar bahwa nahwu bukan hanya ilmu logika kalimat, tapi juga ilmu rasa.
Kifayatul Thullab: Jembatan Antara Tradisi dan Modernitas
Kitab karya Abu Fadhol Senori ini adalah bukti bahwa ulama Nusantara tidak hanya belajar dari Timur Tengah, tapi juga mencipta karya ilmiah sendiri. Ia menjadi jembatan antara ilmu klasik Arab dan konteks pendidikan pesantren Indonesia.
Santri zaman sekarang perlu menyadari bahwa mempelajari Kifayatul Thullab berarti juga menghargai warisan keilmuan ulama lokal. Di tengah derasnya arus globalisasi, kitab ini mengingatkan bahwa ilmu yang berkah adalah ilmu yang ditulis dengan niat tulus dan adab tinggi.
Dengan semangat itu, belajar nahwu tidak lagi terasa kering. Ia menjadi bagian dari ngaji hati — menata pikiran agar tertib, menata lidah agar santun, dan menata jiwa agar tenang.
Penutup: Nahwu sebagai Cermin Ketertiban Jiwa
Belajar nahwu, pada hakikatnya, adalah belajar tentang keteraturan. Ketika kita memahami mengapa sebuah kata marfu’, manshub, atau majrur, kita sedang belajar tentang hukum keseimbangan yang Allah tanamkan dalam bahasa.
Syaikh Abu Fadhol Senori menulis Kifayatul Thullab bukan sekadar untuk santri Jawa, tetapi untuk seluruh pencinta ilmu yang ingin memahami makna Al-Qur’an dengan benar. Kitab ini hidup kembali setiap kali dibaca dengan hati.
Sebagaimana pepatah Arab:
مَنْ تَعَلَّمَ النَّحْوَ صَحَّ لِسَانُهُ وَصَفَا عَقْلُهُ
“Barang siapa mempelajari nahwu, lisannya akan fasih dan akalnya akan jernih.”
Maka, jangan takut belajar nahwu. Jadikan ia teman perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam. Karena sesungguhnya, setiap huruf adalah cahaya, dan setiap kaidah adalah jalan menuju keindahan bahasa wahyu.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
