Surau.co. Dari sekian banyak kitab kuning warisan ulama, Fathul Qorib selalu menempati posisi istimewa. Lembarnya memang tipis, tetapi setiap barisnya memancarkan sinar ilmu yang tidak pernah redup.
Di serambi pesantren, di bawah lampu minyak atau cahaya neon remang, para santri membaca kalimat demi kalimat karya ulama Gaza lima abad silam: Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili, pengarang Fathul Qorib al-Mujib fi Syarhi Alfaz at-Taqrib.
Jejak dari Gaza ke Kairo: Gerbang Ilmu Terbuka
Ibnu Qasim al-Ghazi lahir di Gaza, Palestina, sekitar tahun 859 H (1455 M). Sejak kecil, ia tumbuh di tengah masyarakat yang menghormati ilmu. Ia menghafal Al-Qur’an dan mempelajari dasar-dasar agama dengan penuh semangat. Setelah dewasa, ia berangkat ke Mesir dan belajar di Masjid Al-Azhar — pusat ilmu Islam terbesar di dunia kala itu.
Di Kairo, ia menimba ilmu dari para ulama besar madzhab Syafi‘i. Ketekunannya membuat banyak guru menaruh hormat. Dari perjalanan itu, lahirlah Fathul Qorib — kitab fiqih ringkas yang ia tulis untuk para penuntut ilmu tingkat awal.
Dalam mukadimahnya, ia berkata lembut:
“Aku melihat banyak pelajar mempelajari ringkasan fiqih karya Syaikh Abu Syuja‘, maka aku ingin menjelaskan maknanya agar mudah mereka pahami.”
Nama Fathul Qorib — Pembuka Jalan yang Dekat — mencerminkan niat tulusnya: menjadikan ilmu fiqih mudah dijangkau oleh siapa saja.
Syarah yang Hidup dan Penuh Kasih
Kitab ini menjelaskan Matan At-Taqrib karya Abu Syuja‘ al-Ashfahani, sebuah ringkasan hukum fiqih madzhab Syafi‘i yang padat dan sering sulit dipahami pemula.
Ibnu Qasim menghadirkan penjelasan yang jernih, lembut, dan logis agar santri dapat memahaminya dengan mudah.
Susunan Fathul Qorib berawal dari thaharah, lalu berlanjut ke shalat, zakat, puasa, haji, hingga muamalah, nikah, waris, dan jinayah. Setiap bab mengalir tenang. Meskipun ia menulis tanpa harakat, tulisannya terasa hidup — seolah berbicara langsung dengan pembacanya, menuntun tanpa menggurui.
“Air itu suci mensucikan, tidak ternajisi oleh apa pun kecuali jika berubah bau, rasa, atau warnanya.”
Setiap penjelasan mengajarkan hukum sekaligus menanamkan adab dan kesadaran tentang kebersihan lahir dan batin.
Perjalanan Ilmu dari Al-Azhar ke Nusantara
Para ulama yang kembali dari Makkah dan Kairo membawa Fathul Qorib ke Indonesia pada abad ke-18. Di berbagai pesantren, para kiai mengajarkan kitab ini di serambi masjid dan pondok-pondok kecil.
Di Tremas, Lirboyo, Sidogiri, Buntet, dan Sarang, santri mempelajarinya sebagai kitab wajib tingkat menengah. Mereka menjadikannya jembatan antara dasar syariat dan kitab fiqih tingkat lanjut seperti Fathul Mu‘in dan I’anatut Thalibin.
Di ruang belajar pesantren, suara guru masih menggema:
“Qāla al-mu’allif rahimahullāh ta‘ālā…”
Para santri menyalin makna di pinggir kitab dengan tinta biru di atas kertas kekuningan — sebuah tradisi ilmu yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Hikmah Spiritual di Balik Setiap Hukum
Walau berisi hukum syariat, Fathul Qorib memancarkan napas spiritual yang halus. Setiap bab mengingatkan bahwa syariat lahir dari cinta dan kasih Allah kepada manusia, bukan sekadar perintah dan larangan.
“Puasa menjadi perisai dari neraka dan latihan bagi jiwa.”
“Zakat menyucikan harta dan menambah keberkahan.”
Melalui kalimat sederhana itu, Ibnu Qasim menyatukan hukum dan hikmah, aturan dan kesadaran, akal dan rasa.
Mengapa Ia Tetap Bertahan
Banyak kitab fiqih lahir lalu terlupakan, tetapi Fathul Qorib tetap hidup. Kesederhanaannya membuat ilmu terasa dekat dengan hati manusia. Ia tidak menakutkan dan tidak rumit. Justru, ia mengajarkan bahwa agama dapat dipahami dengan cinta.
Bagi kiai, Fathul Qorib menjadi sarana mendidik.
>Bagi santri, ia teman pertama dalam memahami hukum Allah.
>Bagi umat, ia pengingat bahwa kesungguhan dan niat baik sudah cukup untuk menapaki jalan ilmu.
Karena itulah kitab ini tetap menempati rak pesantren. Ia bukan sekadar teks hukum, tetapi cermin adab menuntut ilmu.
Dari Gaza ke Tulungagung: Cahaya yang Tak Pernah Padam
Hingga hari ini, pesantren di Tulungagung dan seluruh Jawa Timur masih mengajarkan Fathul Qorib. Majelis kecil, surau, hingga ruang digital terus menghidupkan semangatnya. Banyak penerjemahan baru hadir, tetapi ruhnya tidak berubah: menjadikan ilmu fiqih mudah dijangkau siapa saja.
Sejarah Fathul Qorib sejatinya adalah sejarah kesetiaan — kesetiaan ulama menjaga ilmu, kesetiaan santri menuntutnya, dan kesetiaan umat menjaga cahayanya agar tidak padam.
Penutup: Ilmu yang Menjadi Cahaya
Dari Gaza menuju Kairo, lalu ke Nusantara, Fathul Qorib menunjukkan bahwa ilmu tidak mengenal batas ruang dan waktu. Ia lahir dari pena seorang alim yang tulus, dan terus hidup di tangan pencinta ilmu di berbagai zaman.
Menuntut ilmu bukan sekadar perjalanan akal, melainkan perjalanan jiwa.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari)
Mungkin, salah satu pintu pemahaman itu bernama Fathul Qorib — kitab kecil yang membuka jalan besar menuju cahaya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
