Surau.co. Keadilan dan akhlak sosial adalah dua pilar yang menentukan arah peradaban manusia. Tanpa keduanya, kehidupan kehilangan keseimbangan dan kemuliaannya. Dalam Tafsir al-Jalalain karya dua ulama besar, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, nilai-nilai keadilan dan akhlak sosial tidak hanya dijelaskan secara hukum, tetapi juga secara spiritual—bagaimana ia menumbuhkan kemanusiaan yang utuh, adil, dan beradab.
Surah Al-Anbiya dan Al-Hajj menjadi ladang hikmah bagi pembaca yang ingin memahami bagaimana Allah menata masyarakat melalui wahyu-Nya. Kedua surah ini berbicara tentang keseimbangan antara penghambaan kepada Tuhan dan tanggung jawab terhadap sesama manusia. Tafsir Jalalain menyoroti hal tersebut dengan cara yang lugas namun sarat makna: keadilan tidak mungkin hidup tanpa akhlak, dan akhlak tidak akan kokoh tanpa keimanan.
Makna Keadilan dalam Perspektif Ilahi
Dalam Surah Al-Anbiya ayat 47, Allah berfirman:
« وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا »
“Kami akan memasang timbangan-timbangan keadilan pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun akan dirugikan sedikit pun.”
Dalam Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan bahwa al-mawāzīn al-qisth bermakna “timbangan-timbangan yang adil tanpa sedikit pun kesalahan.” Ayat ini menegaskan bahwa keadilan Allah sempurna, melampaui batas-batas keadilan manusia.
Keadilan Allah, menurut penafsiran Jalalain, menjadi dasar bagi manusia dalam menegakkan keadilan sosial. Jika Tuhan menimbang amal dengan adil tanpa memihak, maka manusia pun wajib menegakkan keadilan tanpa pandang bulu — baik kepada yang dekat maupun yang jauh.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat bagaimana keadilan manusia mudah goyah karena kepentingan. Namun Jalalain mengingatkan bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, kelak akan “ditimbang” kembali.
Fenomena ini relevan dalam konteks modern — mulai dari keadilan dalam dunia kerja, keluarga, hingga media sosial. Ketika seseorang menulis komentar yang menyakiti, menipu dalam jual beli, atau menilai orang lain tanpa bukti, ia sesungguhnya sedang menggeser neraca keadilan yang kelak akan dikembalikan oleh Allah.
Akhlak Sosial Sebagai Cermin Iman
Dalam Surah Al-Hajj, Allah menggambarkan hubungan antara ibadah dan sosial dengan sangat indah:
« الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ »
“(Yaitu) orang-orang yang apabila Kami beri kekuasaan di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (Al-Hajj: 41)
Imam as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan pemimpin sejati dalam pandangan Islam. Kekuasaan bukan untuk menindas, tetapi untuk menegakkan ibadah dan memperbaiki masyarakat.
Amar ma’ruf nahi munkar bukan sekadar konsep dakwah, melainkan prinsip sosial yang menumbuhkan kepedulian dan kesetaraan. Akhlak sosial adalah ibadah kolektif — bukan ritual semata, melainkan tindakan nyata dalam menjaga keadilan, menolong yang lemah, dan meluruskan yang menyimpang.
Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini seolah mengingatkan kita: jabatan, pengaruh, atau bahkan media sosial yang kita miliki adalah amanah untuk menebarkan kebaikan. Akhlak sosial bukan sekadar sopan santun, tetapi sikap aktif menjaga harmoni sosial dengan adil dan empati.
Keadilan Sebagai Jalan Menuju Kedamaian
Dalam Surah Al-Hajj ayat 25, Allah mengingatkan tentang pelanggaran terhadap tempat suci:
« إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ … نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ »
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram … Kami akan rasakan kepada mereka azab yang pedih.”
Menurut Jalalain, ayat ini memperlihatkan bentuk kezaliman sosial: menghalangi orang lain dari ibadah atau kebenaran. Keadilan sosial dalam Islam bukan hanya tentang distribusi materi, tetapi juga kebebasan spiritual. Menyebarkan kebencian, hoaks, atau fitnah di masyarakat juga termasuk menghalangi jalan Allah, karena menutup hati manusia dari kebenaran.
Keadilan sosial adalah pondasi kedamaian. Tidak akan ada masyarakat yang damai tanpa keadilan, sebagaimana tidak akan ada keadilan tanpa akhlak. Tafsir Jalalain menekankan bahwa “keadilan adalah cermin iman, dan kezaliman adalah tanda kemunafikan.”
Keseimbangan antara Hak Tuhan dan Hak Sesama
Dalam Surah Al-Anbiya ayat 107, Allah berfirman tentang Nabi Muhammad ﷺ:
« وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ »
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Imam al-Mahalli menafsirkan bahwa “rahmat” dalam ayat ini mencakup dua hal: rahmat dunia dan rahmat akhirat. Rahmat dunia berupa keadilan dan akhlak yang ditegakkan oleh risalah Nabi, sedangkan rahmat akhirat berupa ampunan bagi orang yang mengikuti jalan beliau.
Dari ayat ini, Jalalain menarik kesimpulan yang luar biasa: misi kerasulan bukan hanya mengajak manusia menyembah Allah, tetapi juga menumbuhkan rahmat sosial — kasih sayang yang mengikat antar-manusia tanpa batas agama atau suku.
Akhlak sosial, dengan demikian, adalah ekspresi dari rahmat kenabian. Seseorang yang beriman sejati tidak hanya mengingat Allah dalam salatnya, tetapi juga menghadirkan kasih dalam interaksinya. Ketika seseorang menolong, menasihati dengan lembut, atau memaafkan, ia sedang meneladani Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi alam.
Meneladani Keadilan dan Akhlak Sosial Nabi
Keadilan dan akhlak sosial tidak hanya dipelajari, tetapi juga diteladani. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
« خِيَارُكُمْ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا »
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam penjelasan Jalalain, akhlak yang baik mencakup tiga hal: kejujuran dalam ucapan, kelembutan dalam tindakan, dan keadilan dalam keputusan. Ketika ketiga hal ini menyatu, lahirlah masyarakat yang berkeadilan dan penuh kasih.
Fenomena hari ini memperlihatkan krisis moral yang sering kali lebih berbahaya dari krisis ekonomi. Maka pesan tafsir Jalalain terasa begitu aktual: memperbaiki akhlak sosial sama pentingnya dengan memperbaiki iman. Karena tanpa akhlak, iman hanya tinggal nama, dan tanpa keadilan, ibadah kehilangan maknanya.
Penutup: Membangun Dunia dengan Keadilan dan Kasih
Melalui tafsir Jalalain atas Surah Al-Anbiya dan Al-Hajj, kita belajar bahwa keadilan dan akhlak sosial adalah dua nafas kehidupan umat yang beriman. Keadilan menegakkan struktur, sedangkan akhlak sosial menghidupkan ruhnya.
Masyarakat yang adil tapi kehilangan kasih akan kering; sementara masyarakat yang penuh kasih tapi tanpa keadilan akan rapuh. Islam mengajarkan keseimbangan — menjadi kuat tanpa keras, lembut tanpa lemah.
Jika kita menegakkan keadilan di hati, rumah tangga, dan pekerjaan, serta memperindahnya dengan akhlak sosial, maka kita sedang meneladani sifat Allah yang ‘Adl (Maha Adil) dan Rahim (Maha Penyayang).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
