Surau.co. Kehidupan sering kali membawa manusia pada pertanyaan mendalam: mengapa sesuatu terjadi dengan cara tertentu? Mengapa doa yang dipanjatkan lama belum berbuah jawaban? Dalam Tafsir al-Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, tersimpan jawaban lembut sekaligus mendalam: di balik setiap kejadian, baik pahit maupun manis, selalu tersembunyi kebijaksanaan Allah yang jauh melampaui nalar manusia.
Sejak awal, Surah Maryam dan Surah Taha tampil saling berkelindan, menggambarkan kasih sayang, ujian, dan hikmah ilahi. Melalui gaya padat dan indah, kedua imam itu menegaskan bahwa Allah menata kehidupan manusia bukan hanya dengan keadilan, tetapi juga dengan rahmat yang menenangkan hati.
Doa yang Terlambat Bukan Berarti Diabaikan
Dalam Surah Maryam, kisah Nabi Zakariya menjadi awal refleksi tentang kebijaksanaan ilahi. Allah berfirman:
« ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا »
“(Inilah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya Zakariya.” (Maryam: 2)
Imam al-Mahalli menjelaskan bahwa rahmat tersebut adalah pengabulan doa Zakariya setelah sekian lama memohon keturunan. Walau usia telah lanjut dan istrinya mandul, ia tetap berdoa dengan hati penuh keyakinan. Pada akhirnya, doa itu dikabulkan karena ketulusan yang tidak pernah surut.
« إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا »
“Ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (Maryam: 3)
Kata khafiyyān (dengan lembut) menandakan kerendahan hati dan keyakinan penuh, bukan sekadar luapan emosi.
Fenomena ini terasa begitu dekat dengan kehidupan modern. Banyak orang berdoa dengan sungguh-sungguh, lalu berhenti karena merasa tak didengar. Padahal, sebagaimana Zakariya, doa yang tampak terlambat sering kali hanyalah proses penyempurnaan jiwa. Allah tidak menolak doa, Ia hanya menundanya hingga waktu terbaik.
Kasih Sayang dalam Pengaturan yang Tak Terpahami
Keindahan tafsir Jalalain tampak jelas ketika menyoroti kisah Maryam yang melahirkan Nabi Isa. Allah berfirman:
« فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَىٰ جِذْعِ النَّخْلَةِ »
“Maka rasa sakit melahirkan itu memaksanya (Maryam) bersandar pada pangkal pohon kurma.” (Maryam: 23)
Menurut Imam as-Suyuthi, di tengah kesendirian dan ketakutan, Allah menyiapkan kurma dan air sebagai pertolongan. Kasih sayang-Nya hadir bahkan di tengah kesunyian paling sepi.
« وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا »
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Maryam: 25)
Imam Jalaluddin al-Mahalli menafsirkan bahwa perintah itu adalah pelajaran penting: meskipun Allah Mahakuasa, manusia tetap harus berusaha. Maryam sebenarnya bisa langsung diberi makanan tanpa bergerak, tetapi Allah mengajarkan keseimbangan antara doa dan ikhtiar.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun mengalami hal serupa. Saat bekerja keras sambil berharap pertolongan, sebenarnya kita sedang menegakkan sunnatullah — hukum sebab-akibat yang penuh kasih.
Kebijaksanaan Allah dalam Menata Takdir
Selanjutnya, Surah Taha menampilkan kisah Nabi Musa sebagai simbol perjuangan dan keajaiban takdir. Allah berfirman:
« وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ »
“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?” (Taha: 17)
Pertanyaan itu bukan untuk mencari tahu, melainkan untuk menenangkan Musa sebelum mukjizat besar terjadi. Ia tengah memegang tongkat biasa, namun sebentar lagi tongkat itu berubah menjadi tanda kebesaran ilahi.
Sering kali, kebijaksanaan Allah muncul melalui hal-hal sederhana. Sebuah pertemuan kecil, pekerjaan sepele, atau nasihat ringan bisa menjadi jalan takdir yang mengubah hidup seseorang.
Ketika Allah memerintahkan Musa menghadapi Firaun, Jalalain mencatat ayat sarat makna:
« اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ »
“Pergilah kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (Taha: 24)
Namun Musa menjawab dengan doa yang lembut:
« قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي »
“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.” (Taha: 25)
Menurut Jalalain, Musa sadar bahwa perjuangan besar menuntut ketenangan hati. Kebijaksanaan Allah bukan hanya memberi tugas, tetapi juga menumbuhkan kesiapan jiwa untuk menunaikannya.
Menemukan Ketenangan di Tengah Takdir
Kedua surah ini, menurut Jalalain, bukan sekadar kisah sejarah para nabi, melainkan cermin dinamika batin manusia: doa, ujian, usaha, dan penerimaan.
Allah berfirman dalam Surah Taha ayat 46:
« إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ »
“Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua; Aku mendengar dan melihat.”
Imam as-Suyuthi menegaskan bahwa ayat ini adalah bentuk penguatan jiwa. Allah tidak hanya memerintah, tetapi juga menemani. Saat manusia merasa sendiri, setiap langkahnya tetap disaksikan oleh Sang Pencipta.
Begitu pula dalam kehidupan kita. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan, gagal dalam cinta, atau merasa perjuangannya sia-sia, ayat ini datang sebagai pelipur: Allah melihat apa yang tidak dilihat dunia.
Pelajaran Kebijaksanaan dari Tafsir Jalalain
Dari dua surah agung ini, beberapa pelajaran penting mengalir dengan jelas:
-
Doa adalah wujud kesetiaan jiwa. Bahkan sebelum terkabul, doa sudah menguatkan hubungan manusia dengan Tuhannya.
-
Ikhtiar dan tawakal harus berjalan beriringan. Allah memberi rezeki, tetapi manusia wajib menggoyangkan “pohon kurma” kehidupannya.
-
Kesabaran lahir dari pemahaman. Tidak semua yang tertunda berarti penolakan; kadang, itu cara Tuhan mendidik hati.
-
Setiap ujian membawa kasih, bukan murka. Maryam diuji dengan kesendirian, Musa dengan ketakutan—namun keduanya dipeluk dengan cinta.
Penutup: Kebijaksanaan yang Menyentuh Hati
Melalui tafsir Jalalain atas Surah Maryam dan Taha, kita belajar bahwa kebijaksanaan Allah hadir dalam setiap lapisan hidup. Ia tidak hanya menetapkan takdir, tetapi juga menuntun langkah dengan lembut.
Dalam dunia yang serba cepat, tafsir ini mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan merenung:
Mungkin yang kita anggap keterlambatan, sejatinya adalah penataan. Mungkin yang kita kira ujian, sesungguhnya adalah pelukan tersembunyi dari Tuhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
