Kisah
Beranda » Berita » Kisah Uwais Al-Qoroni; Tabi’in Terbaik

Kisah Uwais Al-Qoroni; Tabi’in Terbaik

Kisah Uwais Al-Qoroni; Tabi’in Terbaik
Kisah Uwais Al-Qoroni; Tabi’in Terbaik. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Dalam sejarah Islam, terdapat banyak sosok luar biasa yang terkenal bukan karena jabatan, harta, atau ketenaran, tetapi karena ketulusan hati, pengorbanan, dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Salah satu dari mereka adalah Uwais Al-Qoroni, seorang laki-laki sederhana dari negeri Yaman yang mendapat pujian langsung dari Rasulullah meskipun beliau tidak pernah bertemu dengannya. Uwais terkenal sebagai tabi’in terbaik, seorang yang tidak pernah melihat Rasulullah , tetapi beriman dan mencintainya sepenuh hati. Kisah hidupnya penuh pelajaran tentang bakti kepada orang tua, keikhlasan, dan ketawadhuan.

Asal Usul dan Kehidupan Awal

Uwais Al-Qoroni, atau yang orang juga mengenalnya sebagai Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni, berasal dari kabilah Qoron yang berada pada wilayah Yaman. Ia hidup dalam kesederhanaan, bekerja sebagai penggembala unta untuk menghidupi ibunya yang sudah tua dan lumpuh. Meskipun hidupnya penuh keterbatasan, hatinya kaya dengan keimanan dan kecintaan kepada Allah.

Uwais tumbuh dalam masyarakat yang masih terbelenggu tradisi jahiliyah. Namun, fitrahnya yang bersih membuatnya mencari kebenaran. Ketika kabar tentang datangnya Nabi Muhammad sampai ke Yaman, Uwais segera mempercayainya. Ia beriman kepada Rasulullah meskipun belum pernah melihat beliau secara langsung. Ia menjadi contoh nyata seseorang yang beriman tanpa melihat—iman yang lahir dari keyakinan dan cinta yang tulus.

Cinta yang Tak Terbalas Secara Duniawi

Uwais sangat merindukan untuk bertemu dengan Rasulullah . Ia mendengar berita tentang akhlak beliau yang mulia, ajarannya yang lurus, dan cahaya Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Setiap hari, Uwais memendam keinginan untuk pergi ke Madinah dan menatap wajah Rasulullah secara langsung.

Namun, Uwais memiliki tanggung jawab besar di rumah—ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Kecintaannya kepada Nabi tak mengalahkan rasa baktinya kepada ibunda. Ia berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu betapa aku mencintai Rasul-Mu, tetapi Engkau juga tahu bahwa ibuku membutuhkan diriku.”

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Suatu hari, ibunya mengetahui kerinduan anaknya itu. Dengan penuh kasih, sang ibu berkata, “Pergilah, wahai anakku. Temuilah Rasulullah, sampaikan salamku kepadanya, dan mintalah agar beliau memohonkan ampun untukku kepada Allah.” Mendengar izin itu, Uwais sangat gembira. Ia pun bersiap melakukan perjalanan jauh ke Madinah.

Perjalanan yang Tertunda

Uwais menempuh perjalanan panjang dari Yaman menuju Madinah, melewati padang pasir dan teriknya matahari. Namun ketika tiba di Madinah, ternyata Rasulullah sedang tidak berada di rumah—beliau sedang keluar dalam suatu keperluan. Uwais dihadapkan pada pilihan sulit: menunggu Rasulullah kembali atau segera pulang karena khawatir ibunya di rumah membutuhkan dirinya.

Setelah berfikir dengan hati yang tulus, Uwais memilih pulang. Ia berkata kepada tetangga Rasulullah, “Sampaikan salamku kepada beliau, dan katakan bahwa aku telah datang untuk menemuinya, tetapi aku harus kembali karena ibuku menunggu.”
Dengan berat hati, ia meninggalkan Madinah tanpa sempat melihat wajah Rasulullah
. Ia tidak tahu bahwa keputusan itu kelak akan membuatnya dikenal di seluruh penjuru dunia sebagai sosok yang dimuliakan Allah karena baktinya kepada ibunda.

Rasulullah Memuji Uwais

Beberapa waktu kemudian, Rasulullah bersabda kepada para sahabat:

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

“Akan datang kepada kalian seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Uwais bin ‘Amir dari Qoron. Ia pernah terkena penyakit kulit, lalu Allah menyembuhkannya kecuali tinggal sedikit bekas di tubuhnya. Ia memiliki ibu yang sangat ia berbakti kepadanya. Jika ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mengabulkannya. Jika kalian bertemu dengannya, mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampun kepada Allah untuk kalian.”
(HR. Muslim)

Bayangkan, Rasulullah memuji seseorang yang tidak pernah hadir di hadapan beliau. Seorang tabi’in yang tidak memiliki ketenaran, tidak dikenal banyak orang, bahkan hidup miskin—namun disebut langsung oleh Nabi di hadapan para sahabat besar seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.

Pertemuan dengan Umar dan Ali

Setelah Rasulullah wafat, berita tentang Uwais terus diingat oleh para sahabat. Setiap kali kafilah dari Yaman datang ke Madinah, Umar bin Khattab—yang saat itu menjadi khalifah—selalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada seseorang bernama Uwais bin ‘Amir?” Tahun demi tahun berlalu hingga akhirnya Umar bertemu dengan seseorang yang memenuhi ciri-ciri yang disebutkan Rasulullah .

Umar bertanya, “Apakah engkau Uwais bin ‘Amir dari Qoron?”
Ia menjawab, “Ya, aku Uwais.”
>Umar melanjutkan, “Engkau dulu pernah terkena penyakit kulit dan telah sembuh kecuali sedikit bekasnya?”
Uwais menjawab, “Benar.”
>Umar berkata lagi, “Engkau memiliki ibu yang engkau sangat berbakti kepadanya?”
Uwais menjawab, “Benar.”

Mendengar itu, Umar menangis dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda tentangmu. Beliau memerintahkan agar kami memintamu untuk memohonkan ampunan bagi kami.”
Uwais pun terkejut dan menolak dengan rendah hati, “Engkau lebih mulia dariku, wahai Amirul Mukminin. Engkaulah yang seharusnya mendoakan aku.”
Namun Umar bersikeras, hingga akhirnya Uwais mengangkat tangannya dan memohonkan ampun kepada Allah untuk Umar bin Khattab.

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

Ketawadhuan yang Luar Biasa

Setelah peristiwa itu, banyak orang mulai mengenal nama Uwais. Namun ia justru menjauh dari keramaian. Ia tidak ingin terkenal, tidak ingin dipuji, dan tidak ingin amalnya diketahui manusia. Ia berkata, “Aku lebih suka tidak dikenal di bumi, tetapi dikenal di langit.”

Suatu waktu, setelah banyak orang mencarinya, Uwais berpindah ke Kufah dan hidup dalam kesederhanaan. Ia bekerja sebagai buruh kasar, memikul barang, dan hidup dengan penghasilan yang sedikit. Namun dari sedikit itu, ia selalu bersedekah. Ia berkata, “Orang yang paling beruntung adalah yang meninggalkan dunia tanpa meninggalkan dosa kepada sesama.”

Uwais tidak memiliki rumah mewah, tidak pula pakaian indah. Tapi ia memiliki hati yang bersih dan jiwa yang mulia. Dalam doanya, ia sering menangis dan berbisik, “Ya Allah, jangan Engkau jadikan aku terkenal di dunia, karena aku khawatir Engkau tidak memberiku tempat di akhirat.”

Pelajaran dari Kisah Uwais Al-Qoroni

Kisah Uwais bukan sekadar cerita sejarah, tetapi cermin bagi setiap Muslim tentang makna keikhlasan dan bakti sejati. Ada beberapa pelajaran besar yang bisa kita ambil dari kehidupannya:

  1. Berbakti kepada orang tua adalah jalan menuju ridha Allah.
    Uwais memilih untuk tidak bertemu Rasulullah
    demi menjaga ibunya yang sakit. Itulah bentuk bakti tertinggi—mengutamakan ridha ibu di atas keinginan pribadi, bahkan keinginan untuk bertemu Nabi sekalipun.
  2. Keikhlasan lebih tinggi daripada ketenaran.
    Uwais tidak mencari pengakuan manusia. Ia beramal hanya untuk Allah, bahkan menyembunyikan amalnya agar tetap murni. Itulah yang membuat namanya harum hingga akhir zaman.
  3. Iman tidak selalu harus terlihat.
    Meskipun tidak pernah melihat Rasulullah
    , Uwais memiliki iman yang kuat. Ia membuktikan bahwa cinta sejati kepada Nabi bukan sekadar melalui pertemuan fisik, tetapi dengan mengikuti sunnah dan mencintai beliau karena Allah.
  4. Kesederhanaan tidak menghalangi kemuliaan.
    Dalam pandangan dunia, Uwais hanyalah penggembala miskin. Namun dalam pandangan Allah, ia adalah hamba yang mulia—bahkan Nabi
    menyebut namanya secara khusus.

Penutup

Uwais Al-Qoroni adalah simbol dari keikhlasan dan bakti tanpa pamrih. Ia bukan sahabat Nabi dalam arti lahiriah, namun dalam hal cinta dan iman, ia sejajar dengan para sahabat mulia. Ia membuktikan bahwa kemuliaan di sisi Allah tidak ditentukan oleh status, kekayaan, atau popularitas, melainkan oleh ketulusan hati dan ketaatan kepada Allah serta bakti kepada orang tua.

Rasulullah telah wafat, para sahabat pun telah tiada, namun kisah Uwais tetap hidup dan menjadi teladan bagi setiap generasi. Semoga kita mampu meneladani ketulusannya, menelusuri jejak baktinya, dan menanamkan dalam diri bahwa kemuliaan sejati bukan di mata manusia, melainkan di sisi Allah.

“Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement