Surau.co. Rahasia penciptaan dan takdir – Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering bertanya: mengapa sesuatu terjadi seperti ini dan bukan sebaliknya? Mengapa ada yang lahir dalam kelimpahan, sementara yang lain tumbuh dalam kesederhanaan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membawa kita pada inti tema besar: penciptaan dan takdir.
Dalam Tafsir al-Jalalain, karya dua ulama besar, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Surah An-Nahl (surah ke-16) menggambarkan kebesaran Allah yang mencipta, mengatur, dan menata takdir dengan penuh hikmah.
Surah ini juga dikenal sebagai Surat an-Ni‘am—“surah kenikmatan”—karena memuat penjelasan tentang berbagai nikmat Allah yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Namun, Jalalain mengungkap lapisan makna lain: di balik setiap penciptaan tersimpan ketentuan ilahi yang tak terelakkan, penuh makna, dan sarat kasih sayang.
Keteraturan Alam sebagai Tanda Takdir Ilahi
Allah berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 3:
« خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ تَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ »
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar; Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Imam al-Mahalli menafsirkan kata bil-ḥaqq (“dengan tujuan yang benar”) sebagai tanda bahwa segala penciptaan memiliki maksud. Alam semesta berdiri dalam keseimbangan yang menjadi bukti kebijaksanaan Allah. Tidak satu pun ciptaan muncul tanpa fungsi dan arah.
Fenomena ini nyata dalam kehidupan. Detak jantung, turunnya hujan di musimnya, atau bunga yang tumbuh di sela batu, semuanya memperlihatkan keteraturan ilahi. Saat manusia menyadari bahwa setiap ciptaan punya maksud, ia akan melihat hidupnya bukan sebagai kebetulan, melainkan bagian dari rencana besar Allah.
Takdir, dalam konteks ini, bukan sekadar garis nasib. Ia mencerminkan keteraturan spiritual bahwa segala sesuatu memiliki tempat dan waktunya sendiri.
Nikmat yang Mengajarkan Kesadaran
Dalam ayat 5–7, Allah menyinggung penciptaan hewan ternak:
« وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ »
“Dan Dia menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagian darinya kamu makan.”
Menurut Jalalain, ayat ini memperlihatkan betapa mendetailnya kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Hewan ternak tidak hanya menyediakan pangan, tetapi juga pakaian dan alat transportasi.
Lebih dari sekadar penjelasan biologis, ayat ini mengandung pesan etis dan spiritual. Manusia hadir bukan untuk menaklukkan alam, melainkan untuk bersyukur dan menjaga keseimbangannya. Imam as-Suyuthi menekankan bahwa kata “untukmu” menandakan tanggung jawab, bukan kepemilikan mutlak.
Dalam kehidupan modern, pesan ini terwujud dalam gaya hidup berkelanjutan: tidak berlebihan, tidak merusak lingkungan, dan sadar bahwa setiap nikmat membawa amanah.
Takdir dan Pilihan: Ruang Usaha dalam Ketentuan Allah
Perdebatan klasik dalam teologi Islam sering muncul pada hubungan antara takdir dan ikhtiar (usaha). Allah berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 93:
« وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـٰكِن يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ »
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”
Tafsir Jalalain menegaskan keseimbangan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia. Allah berkuasa penuh atas petunjuk dan kesesatan, namun manusia tetap memiliki kemampuan untuk memilih jalan hidupnya.
Dalam keseharian, dinamika ini tampak jelas. Seseorang berusaha memperbaiki diri, lalu menemukan kemudahan yang tak terduga — di situlah takdir dan ikhtiar bertemu. Sebaliknya, ketika lalai dan terjerumus, manusia tidak bisa menyalahkan takdir, sebab Allah telah membekalinya dengan akal dan hati untuk menimbang kebenaran.
Etika memahami takdir, menurut Jalalain, ialah menerima ketentuan Allah tanpa kehilangan semangat berbuat baik. Takdir tidak menuntun pada kepasrahan, melainkan pada kedewasaan spiritual.
Penciptaan Manusia dan Kehidupan yang Berproses
Allah berfirman dalam ayat 70:
« وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا »
“Allah menciptakan kamu, lalu mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dipanjangkan umurnya hingga pikun, supaya ia tidak mengetahui lagi sesuatu pun setelah mengetahui.”
Tafsir Jalalain menggambarkan bahwa hidup manusia bergerak dalam siklus: dari kuat menuju lemah, dari tahu menuju lupa. Perjalanan ini mengingatkan bahwa manusia tidak berkuasa penuh atas dirinya.
Kehidupan, dengan segala prosesnya, mengembalikan manusia pada kesadaran awal: bahwa segala kekuatan bersumber dari Allah, dan setiap kehilangan pun kembali kepada-Nya.
Dalam realitas modern, manusia sering mengejar kesempurnaan fisik dan karier, hingga lupa bahwa waktu tetap mengikis tubuh dan ambisi. Kesadaran akan kefanaan justru menumbuhkan kebijaksanaan: nilai hidup bukan di lamanya usia, melainkan di makna yang tercipta.
Mensyukuri Takdir sebagai Jalan Kedewasaan Iman
Surah An-Nahl ditutup dengan penegasan tentang ketakwaan dan kebaikan:
« إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ »
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 128)
Jalalain menafsirkan ayat ini sebagai puncak pesan Surah An-Nahl: takdir tidak untuk ditakuti, tetapi dijalani dengan takwa dan ihsan. Ketika seseorang menyadari bahwa Allah bersama orang bertakwa, ia tak lagi melihat takdir sebagai batas, melainkan sebagai tanda kasih sayang yang menuntun pada kebaikan.
Kepasrahan sejati berarti percaya penuh sambil tetap berusaha. Dengan cara itu, makna penciptaan dan takdir berubah dari “mengapa ini terjadi padaku” menjadi “untuk apa Allah menakdirkanku di sini.”
Penutup
Tafsir Jalalain atas Surah An-Nahl menyingkap hubungan indah antara penciptaan, nikmat, dan takdir. Setiap ciptaan memiliki tujuan, dan setiap takdir membawa pelajaran. Hidup menjadi bermakna ketika manusia melihat di balik keteraturan alam — ada kasih, hikmah, dan cinta yang tak bertepi.
Dalam dunia modern yang sering kehilangan arah, pesan ini tetap abadi: rahasia penciptaan dan takdir bukan untuk ditebak, melainkan untuk direnungkan, dihayati, dan disyukuri.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
