Fiqih Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Menunda Bayar Hutang Adalah Tindakan Zalim

Menunda Bayar Hutang Adalah Tindakan Zalim

Menunda Bayar Hutang Adalah Tindakan Zalim
Menunda Bayar Hutang Adalah Tindakan Zalim. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Dalam kehidupan sehari-hari, utang-piutang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari interaksi sosial dan ekonomi manusia. Banyak orang berutang bukan karena ingin berbuat zalim, tetapi karena kebutuhan yang mendesak. Dalam Islam, tidak melarang hutang, asalkan dengan niat yang baik, cara yang benar, dan dengan tekad kuat untuk melunasinya. Namun, ketika seseorang sengaja menunda-nunda pembayaran utangnya padahal ia mampu membayar, maka perbuatan itu termasuk kezaliman yang  Allah dan Rasul-Nya sangat benci.

Makna Zalim dalam Menunda Membayar Hutang

Kata zalim berasal dari bahasa Arab zulm (ظلم) yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam konteks hutang, seseorang terkategori zalim apabila ia memiliki kemampuan untuk membayar tetapi menunda dengan sengaja, atau bahkan mengabaikan kewajibannya terhadap orang yang telah menolongnya dengan memberikan pinjaman.

Rasulullah menegaskan dengan sangat jelas:

“Menunda-nunda pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam menilai tindakan menunda membayar utang bukanlah hal kecil, melainkan dosa besar yang berkaitan dengan hak sesama manusia (huquq al-‘ibad). Jika seseorang menzalimi orang lain dalam urusan harta, maka ia harus mempertanggungjawabkan kepada Allah pada hari kiamat kelak.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hutang dalam Pandangan Islam

Islam memperbolehkan umatnya untuk berutang dalam kondisi darurat atau kebutuhan yang mendesak, seperti memenuhi kebutuhan pokok, berobat, atau modal usaha yang halal. Namun, Islam juga memberikan rambu-rambu yang ketat agar utang tidak menjadi beban dunia dan akhirat.

Rasulullah sangat berhati-hati terhadap perkara hutang. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

“Jiwa seorang mukmin tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi.”
(HR. Tirmidzi)

Makna hadis ini sangat dalam. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih berhutang, akan tertahan ruhnya untuk mendapatkan kenikmatan sempurna alam barzakh sampai hutangnya terlunasi, baik oleh ahli warisnya atau oleh pihak lain. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya tanggungan hutang dalam pandangan Islam.

Bahkan Rasulullah pernah enggan menshalatkan jenazah seseorang yang masih memiliki hutang dan belum jelas siapa yang akan melunasinya, sampai akhirnya ada sahabat yang menanggung hutang tersebut. Ini menjadi pelajaran besar bagi umat Islam agar berhati-hati dalam berhutang dan segera melunasinya ketika mampu.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Zalim yang Terlupakan

Banyak orang mengira bahwa zalim hanya sebatas menindas orang lain secara fisik, mengambil hak orang lain, atau bersikap tidak adil. Padahal, menunda pembayaran hutang juga merupakan bentuk kezaliman yang nyata. Mengapa disebut zalim? Karena orang yang berpiutang telah memberikan kepercayaan dan kebaikan dengan meminjamkan hartanya. Ketika si peminjam mampu tetapi menunda membayar, berarti ia menahan hak orang lain, dan ini adalah bentuk ketidakadilan.

Bayangkan jika uang itu sebenarnya dibutuhkan oleh si pemberi pinjaman untuk kebutuhan penting, namun ia tidak bisa menggunakannya karena ditunda pembayarannya. Maka dosa si peminjam bertambah bukan hanya karena tidak menunaikan kewajiban, tetapi juga karena menyebabkan kesulitan bagi orang lain.

Rasulullah bersabda:

“Barang siapa yang mengambil harta manusia dengan niat untuk mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya (untuk melunasi). Tetapi barang siapa yang mengambilnya dengan niat untuk merusaknya (tidak mengembalikan), maka Allah akan menghancurkannya.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan bahwa niat sangat berperan dalam perkara hutang. Orang yang berniat baik akan mendapatkan pertolongan Allah, sedangkan orang yang berniat jahat atau sengaja menunda-nunda tanpa alasan syar’i akan mendapatkan murka-Nya.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Dampak Buruk Menunda Hutang

Menunda pembayaran hutang tidak hanya berdampak pada dosa di sisi Allah, tetapi juga menimbulkan berbagai kerugian dalam kehidupan sosial dan spiritual.

1. Hilangnya Kepercayaan

Kepercayaan adalah modal utama dalam hubungan sosial dan bisnis. Sekali seseorang diketahui tidak menepati janji dalam membayar hutang, maka kepercayaan itu sulit untuk dikembalikan. Ia akan dipandang sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan sulit dipercaya.

2. Menimbulkan Permusuhan

Keterlambatan membayar hutang dapat menimbulkan kekecewaan bahkan kebencian dari pihak yang memberi pinjaman. Hubungan persaudaraan bisa retak hanya karena masalah hutang yang ditunda. Padahal, Islam sangat menekankan pentingnya menjaga ukhuwah dan menghindari perselisihan.

3. Mendapat Doa Buruk dari Orang yang Dianiaya

Orang yang dizalimi memiliki kekuatan doa yang luar biasa. Rasulullah bersabda:

“Takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena tidak ada penghalang antara doa itu dengan Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang menunda-nunda membayar hutang dan membuat orang lain menderita, maka doa orang yang dizalimi bisa menjadi sebab turunnya musibah dalam hidupnya.

4. Mengundang Laknat dan Azab Allah

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Siapa yang mati dan masih mempunyai hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutangnya akan dibayar dengan kebaikan-kebaikannya pada hari kiamat. Jika tidak ada kebaikannya, maka dosa orang yang berpiutang akan dibebankan kepadanya.”
(HR. Ahmad)

Bayangkan betapa berat konsekuensi di akhirat hanya karena lalai dalam melunasi hutang di dunia.

Tanggung Jawab Moral dan Spiritual

Menunaikan hutang bukan hanya tanggung jawab ekonomi, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Orang yang beriman tahu bahwa setiap janji akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra’: 34)

Ayat ini menegaskan bahwa melunasi hutang adalah bentuk pemenuhan janji. Jika seseorang berjanji akan mengembalikan uang pada waktu tertentu, maka wajib baginya untuk menepati janji itu. Tidak boleh mencari-cari alasan atau sengaja menunda dengan dalih ingin menunggu waktu yang lebih “nyaman”.

Orang beriman tahu bahwa rezeki datang dari Allah, dan menunaikan hutang justru membuka pintu rezeki yang lebih luas. Sebaliknya, menunda atau ingkar janji bisa menjadi penghalang datangnya keberkahan.

Adab dan Etika dalam Berutang

Agar terhindar dari kezaliman, seorang Muslim perlu memahami adab-adab berutang sebagaimana diajarkan dalam Islam.

  1. Berutang hanya karena kebutuhan mendesak.
    Jangan berutang untuk hal-hal yang bersifat mewah atau sekadar gaya hidup.
  2. Buatlah catatan atau perjanjian tertulis.
    Al-Qur’an menegaskan pentingnya mencatat setiap transaksi hutang agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari:
    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
    (QS. Al-Baqarah: 282)
  3. Berjanji untuk melunasi tepat waktu.
    Seorang Muslim sejati akan menepati janji karena menepati janji adalah tanda keimanan.
  4. Jika benar-benar tidak mampu, mintalah penundaan dengan cara yang baik.
    Allah berfirman:
    “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan menyedekahkan (sebagian atau seluruh hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
    (QS. Al-Baqarah: 280)

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat adil — menunda pembayaran hutang dibolehkan hanya jika benar-benar dalam kesulitan, bukan karena malas atau enggan.

Sikap Terpuji Bagi yang Memberi Hutang

Islam mengajurkan orang yang memberi pinjaman untuk bersikap lembut dan penuh kasih. Rasulullah bersabda:

“Barang siapa memberi tangguh kepada orang yang kesulitan atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya.”
(HR. Muslim)

Artinya, ketika seseorang benar-benar kesulitan dan belum mampu membayar, memberi kelonggaran bahkan menghapus sebagian hutang merupakan amal yang sangat mulia pada sisi Allah.

Namun, peminjam tidak boleh menyalahgunakan kebaikan orang yang memberi pinjaman. Jangan menjadikan kebaikan itu sebagai alasan untuk lalai. Orang yang menunda dengan sengaja justru mengkhianati kepercayaan dan menginjak kebaikan tersebut.

Hutang Adalah Amanah, Jangan Zalim

Hutang bukan sekadar urusan uang, tetapi juga amanah dan tanggung jawab di hadapan Allah. Seseorang yang beriman akan merasa takut jika menunda membayar hutang tanpa alasan yang benar, karena ia sadar bahwa kezaliman terhadap sesama manusia tidak akan mendapat ampunan sampai orang yang terzalimi memaafkannya.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Menunda membayar hutang padahal mampu adalah bentuk kegelapan yang dapat menutupi cahaya keimanan seseorang. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya menjaga amanah ini dengan sungguh-sungguh. Jika kita berutang, niatkan dengan tulus untuk melunasi. Jika mampu membayar, jangan tunda. Karena setiap detik keterlambatan bisa menjadi beban dosa di sisi Allah.

Mari kita renungkan: harta yang kita pinjam bukan milik kita, melainkan titipan orang lain. Maka, jangan sampai kita zalim dengan menahan hak orang lain.

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”
(HR. Abu Dawud)

Semoga kita termasuk hamba yang jujur, amanah, dan senantiasa menjaga diri dari perbuatan zalim — termasuk dalam urusan hutang-piutang. Karena sesungguhnya, menunda membayar hutang padahal mampu adalah tindakan zalim, dan kezaliman sekecil apa pun Allah akan perhitungkan pada hari kiamat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement