Khazanah
Beranda » Berita » Makna Sosial dan Etika Kepemimpinan dalam Surah Ar-Ra’d dan Ibrahim Menurut Tafsir Jalalain

Makna Sosial dan Etika Kepemimpinan dalam Surah Ar-Ra’d dan Ibrahim Menurut Tafsir Jalalain

Surau.co. Kepemimpinan adalah anugerah sekaligus amanah. Ia menuntut bukan hanya kemampuan mengatur, tetapi juga kebijaksanaan dalam membimbing manusia menuju kebaikan. Dalam Tafsir al-Jalalain karya dua ulama besar — Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi — konsep sosial dan etika kepemimpinan dijelaskan secara mendalam. Jalalain menafsirkan kepemimpinan bukan sekadar urusan politik atau kekuasaan, melainkan tanggung jawab moral yang berakar pada iman, ilmu, dan keadilan.

Melalui Surah Ar-Ra’d dan Surah Ibrahim, Tafsir Jalalain menyingkap bahwa kepemimpinan sejati tumbuh dari keteguhan hati, kejujuran dalam tindakan, dan kesadaran bahwa segala otoritas hakikatnya milik Allah semata.

Kepemimpinan yang Berakar pada Keteguhan Iman

Dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:

« إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ »
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Menurut Tafsir Jalalain, perubahan sejati selalu dimulai dari dalam diri. Seorang pemimpin tidak bisa menuntut rakyatnya berubah tanpa memberi teladan lebih dulu. Jalalain menegaskan bahwa perubahan moral jauh lebih penting daripada perubahan struktural, sebab niat dan amal menjadi fondasi keimanan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam kehidupan modern, pesan ini terasa semakin relevan. Banyak orang menuntut perubahan di pemerintahan, di tempat kerja, bahkan di masyarakat, tetapi lupa bahwa setiap perubahan besar berawal dari diri sendiri. Pemimpin sejati justru mengubah dirinya terlebih dahulu, lalu menularkan semangat itu kepada lingkungannya.

Dengan demikian, etika kepemimpinan tidak hanya berbicara tentang kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab spiritual. Setiap pemimpin — baik seorang ayah, guru, maupun pejabat — memegang peran moral yang menentukan arah kehidupan sosial.

Kekuatan Moral dalam Menghadapi Tantangan

Selanjutnya, Surah Ar-Ra’d ayat 28 memberi fondasi batin bagi setiap pemimpin:

« أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ »
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ketenangan hati menjadi sumber kekuatan moral. Pemimpin yang terus berzikir akan lebih mampu menahan diri dari ambisi pribadi dan rasa takut terhadap tekanan manusia. Ia menegakkan keputusan dengan kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dalam kehidupan sosial, ketenangan seorang pemimpin memengaruhi ketenangan orang banyak. Di rumah, orang tua yang sabar menularkan damai kepada anak-anak. Di tempat kerja, pemimpin yang tenang menghindarkan tim dari konflik yang tidak perlu. Sedangkan dalam pemerintahan, ketenangan melahirkan kebijakan yang jernih dan adil.

Oleh karena itu, Jalalain menekankan pentingnya keseimbangan dalam kepemimpinan: antara iman dan akal, antara ketegasan dan kelembutan, antara kuasa dan amanah. Tanpa iman, kekuasaan akan menjerumuskan; tanpa ilmu, kebijakan kehilangan arah.

Menegakkan Amanah Melalui Keadilan dan Ilmu

Surah Ibrahim ayat 52 menutup dengan pesan universal yang meneguhkan hati:

« هَٰذَا بَلَاغٌ لِّلنَّاسِ وَلِيُنذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُوا الْأَلْبَابِ »
“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, dan agar mereka mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, serta agar orang-orang berakal mengambil pelajaran.”

Menurut Tafsir Jalalain, ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati selalu berpijak pada ilmu dan tauhid. Pemimpin yang benar tunduk kepada hukum Allah, bukan kepada ambisi pribadi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam as-Suyuthi menambahkan bahwa ulul albab — orang berakal — memimpin dengan hati dan pikiran. Mereka tidak mengejar kekuasaan, tetapi menuntun manusia menuju kebenaran dan keadilan.

Di era modern, nilai ini hadir dalam sosok pemimpin yang berani berkata benar meski tidak populer, atau dalam pemimpin perusahaan yang mengutamakan kesejahteraan karyawan daripada keuntungan semata. Ilmu tanpa iman hanya melahirkan kesombongan, sedangkan iman tanpa ilmu menimbulkan keputusan yang keliru.

Kepemimpinan sebagai Tanggung Jawab Sosial

Tafsir Jalalain juga menjelaskan bahwa kepemimpinan tidak berhenti pada individu, melainkan mengalir ke kehidupan sosial. Setiap orang memiliki peran kepemimpinan sesuai lingkupnya: orang tua di rumah, guru di sekolah, pejabat di pemerintahan, atau pedagang di pasar yang jujur dalam timbangan.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ:

« كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, kepemimpinan sosial menuntut setiap individu untuk menegakkan keadilan, amanah, dan kasih sayang. Bila satu nilai rusak, seluruh sistem sosial akan goyah.

Dalam Surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman:

« لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ »
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Menurut Jalalain, ayat ini menggambarkan hukum sosial yang tegas. Pemimpin yang bersyukur — yaitu yang menegakkan amanah dan keadilan — akan memperoleh tambahan kekuatan. Sebaliknya, pemimpin yang kufur dan mengkhianati kepercayaan rakyat akan kehilangan keberkahan, bahkan dihancurkan oleh ambisinya sendiri.

Kepemimpinan yang Menyentuh Nurani

Etika kepemimpinan dalam Tafsir Jalalain tidak berhenti pada teori. Ia menjadi cermin bagi kehidupan batin. Jalalain mengajak manusia agar memimpin dengan berpikir, berzikir, dan bersyukur.

Dalam masyarakat yang haus keteladanan, pesan dari Ar-Ra’d dan Ibrahim terasa seperti embun penyejuk. Kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling mampu menjaga hati dan menegakkan keadilan.

Pemimpin sejati bukan yang dikelilingi sanjungan, tetapi yang berani berdiri sendiri demi kebenaran. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah ujian, bukan kebanggaan. Sebagaimana tafsir Ar-Ra’d menegaskan, “Allah meninggikan siapa yang rendah hati karena iman, dan merendahkan siapa yang sombong karena kuasa.”

Penutup

Makna sosial dan etika kepemimpinan dalam Surah Ar-Ra’d dan Surah Ibrahim menurut Tafsir Jalalain mengajarkan bahwa kepemimpinan merupakan amanah spiritual yang mencakup seluruh dimensi kehidupan. Ia menuntut kejujuran, kesabaran, ilmu, dan kesadaran bahwa setiap keputusan adalah bentuk ibadah.

Di tengah dunia yang haus pemimpin bijak, pesan Jalalain tetap abadi: ubah dirimu, maka dunia akan ikut berubah. Karena sejatinya, kepemimpinan tidak dimulai dari podium, melainkan dari hati yang tunduk dalam sujud.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement