Surau.co. Setiap hati manusia pernah mengenal luka, rindu, dan penantian. Karena itu, kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam selalu memikat dari masa ke masa. Ia bukan sekadar kisah cinta yang indah, melainkan perjalanan tentang iman, kesetiaan, dan keteguhan jiwa di tengah godaan serta kesendirian. Dalam Tafsir al-Jalalain karya dua ulama besar — Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi — Surah Yusuf tampil lugas, padat, dan penuh hikmah. Gaya bahasanya menyingkap keindahan spiritual di balik perjalanan hidup seorang nabi yang teguh dan lembut.
Oleh karena itu, artikel ini mengajak kita menyelami makna Tafsir Jalalain tentang kisah Yusuf — bukan sekadar sebagai cerita masa lampau, tetapi sebagai cermin bagi siapa pun yang berjuang menjaga hati di tengah godaan zaman yang serba cepat ini.
Keindahan yang Terlahir dari Ujian
Setiap manusia tentu mendamba kehidupan yang tenang dan mudah. Namun, Surah Yusuf justru mengajarkan hal sebaliknya: keindahan sejati lahir dari ujian. Dalam Tafsir Jalalain, peristiwa ketika Yusuf dijatuhkan ke dalam sumur menjadi awal dari jalan panjang yang mengubah segalanya. Saat dunia menutup pintu, Allah justru membuka jalan lain yang lebih mulia.
Allah berfirman:
« نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ »
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling indah.” (Yusuf: 3)
Menurut Imam Jalaluddin al-Mahalli, kisah ini disebut ahsan al-qashash karena mencakup seluruh sisi kehidupan manusia: kasih, pengkhianatan, godaan, keadilan, dan ampunan. Dengan kata lain, kisah Yusuf menggambarkan perjalanan batin manusia menuju kematangan jiwa.
Bila kita cermati, hal ini juga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Berapa banyak orang yang justru menemukan jati dirinya setelah gagal? Seorang karyawan yang kehilangan pekerjaan lalu bangkit dengan usaha baru, atau seorang mahasiswa yang gagal tetapi akhirnya menemukan panggilan sejatinya. Maka, ahsan al-qashash bukan sekadar kisah, tetapi prinsip hidup: dari keterpurukan lahir keindahan yang sejati.
Keteguhan Jiwa di Tengah Godaan
Di antara banyak kisah dalam Surah Yusuf, adegan saat Yusuf digoda oleh Zulaikha menjadi salah satu yang paling mengguncang. Tafsir Jalalain menyoroti bagian ini dengan penuh kedalaman:
« وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ … قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ »
“Dan wanita yang tinggal di rumahnya menggoda dirinya, namun Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah.’” (Yusuf: 23)
Menurut Jalalain, ucapan ma‘ādzallāh menandakan puncak kesadaran iman. Yusuf menolak bukan karena takut semata, tetapi karena keyakinannya bahwa kehormatan adalah amanah dari Allah. Ia menjaga diri bukan untuk citra, melainkan demi kemurnian hati.
Kini, nilai ini terasa semakin relevan. Di tengah derasnya arus media sosial, godaan datang bukan dari satu arah, melainkan dari segala sisi. Godaan untuk memamerkan diri, berbohong demi pengakuan, atau curang demi keuntungan terasa begitu nyata. Namun, Yusuf menunjukkan bahwa kemenangan sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, melainkan pada apa yang kita tolak demi menjaga kehormatan.
Cinta yang Tidak Mencari Balasan
Cinta dalam kisah Yusuf melampaui batas antara dua insan. Ia berubah menjadi cinta yang memuliakan dan menumbuhkan ampunan. Saat Yusuf memaafkan saudara-saudaranya yang dulu mencelakakannya, ia menunjukkan puncak keagungan hati.
Tafsir Jalalain mengutip firman Allah dengan penjelasan yang lembut:
« لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ »
“Pada hari ini tidak ada celaan atas kalian.” (Yusuf: 92)
Menurut Imam as-Suyuthi, Yusuf menghapus luka masa lalu dengan ampunan yang tulus. Itulah cinta sejati — cinta yang tidak menuntut balasan, tidak menagih pengakuan, dan tidak menyimpan dendam.
Sesungguhnya, cinta seperti ini masih hidup dalam keseharian kita. Seorang ibu yang tetap mendoakan anaknya meski disakiti, sahabat yang tetap setia mendengarkan keluh, atau pasangan yang memilih sabar ketika disalahpahami — semuanya mencerminkan cinta Yusuf yang tidak pamrih. Cinta sejati, pada akhirnya, selalu mengembalikan segalanya kepada Allah.
Dari Gelap Sumur ke Terang Istana
Setiap bab dalam kisah Yusuf memiliki makna simbolis. Sumur menggambarkan keterasingan, penjara melukiskan ujian iman, dan istana melambangkan kemenangan spiritual. Dalam Tafsir Jalalain, Allah meninggikan derajat Yusuf karena kesabaran dan zikirnya yang tak pernah putus.
Menjelang akhir surah, Yusuf berdoa dengan penuh kerendahan hati:
« رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِن تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ … تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ »
“Ya Tuhanku, Engkau telah menganugerahkan kepadaku kekuasaan dan ilmu menafsirkan mimpi. Wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan gabungkanlah aku bersama orang-orang saleh.” (Yusuf: 101)
Menurut Jalalain, doa ini menggambarkan kerendahan hati seorang nabi yang tetap merasa hamba di hadapan Tuhannya. Ia telah mencapai puncak kejayaan, tetapi yang ia rindukan hanyalah akhir yang baik.
Melalui doa ini, kita belajar bahwa keteguhan sejati tidak berhenti pada kesuksesan dunia. Justru, orang yang benar-benar teguh adalah mereka yang tetap rendah hati saat berjaya dan tetap tenang saat diuji.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
