Khazanah
Beranda » Berita » Cahaya Ilahi dalam Surah An-Nur: Penafsiran Jalalain tentang Kesucian dan Moralitas

Cahaya Ilahi dalam Surah An-Nur: Penafsiran Jalalain tentang Kesucian dan Moralitas

Seseorang diterangi cahaya keemasan yang turun dari langit, simbol cahaya iman dan kesuc
Ilustrasi simbolik pencarian cahaya batin di tengah kegelapan dunia.

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kian gelap oleh kebingungan moral, manusia semakin membutuhkan cahaya yang menuntun langkah. Bukan sekadar cahaya fisik, melainkan Cahaya Ilahi yang menembus hati serta menuntun akal menuju kebenaran. Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan dalam Tafsir al-Jalalain bahwa Surah An-Nur, memadukan keindahan spiritual dengan tuntunan moral yang nyata. Surah ini mengajarkan manusia agar menjaga kesucian jiwa, menata etika sosial, dan menyalakan cahaya iman di tengah kegelapan zaman.

Makna Cahaya Ilahi dalam Kehidupan

Surah An-Nur dikenal memiliki kedalaman simbolik yang luar biasa. Allah menggambarkan Diri-Nya sebagai sumber cahaya bagi seluruh makhluk. Ayat 35 Surah An-Nur, yang disebut Ayat an-Nur, menjadi pusat spiritual surah ini:

«اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ»
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35)

Menurut Imam al-Mahalli, cahaya tersebut bukan sekadar sinar yang tampak oleh mata, melainkan petunjuk (hidayah) yang menuntun hati orang beriman. Ia menulis, “nurullah huwa hudāhu fi qulūbi al-mu’minīn” — Cahaya Allah adalah petunjuk-Nya yang bersemayam di hati orang-orang beriman.

Dari sini tampak bahwa spiritualitas sejati selalu berhubungan dengan moralitas. Ketika cahaya Ilahi memenuhi hati, seseorang akan menampilkan perilaku bersih, tutur kata lembut, dan pandangan hidup yang penuh hikmah. Oleh karena itu, dalam keseharian, cahaya itu bisa hadir melalui tindakan kecil: menahan amarah, menjaga pandangan, atau menolak godaan yang dapat merusak jiwa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kesucian sebagai Pondasi Moralitas

Selain bicara tentang cahaya, Surah An-Nur juga menegaskan pentingnya kesucian pribadi dan sosial. Allah memerintahkan umat Islam untuk menjaga kehormatan diri serta keluarganya, sebab kesucian bukan hanya perkara fisik, melainkan juga moral dan batin. Imam as-Suyuthi dalam tafsirnya menjelaskan ayat 30–31:

«قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَـٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ»
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30)

Tafsir al-Jalalain menekankan bahwa menjaga pandangan berarti juga menjaga hati dari niat buruk. Karena itu, kesucian moral sesungguhnya berawal dari mata yang terkendali. Dari mata turun ke hati, dan dari hati lahirlah tindakan yang menentukan arah hidup.

Selain itu, ayat 31 yang ditujukan kepada perempuan beriman menjelaskan bahwa Islam hadir bukan untuk membatasi perempuan, tetapi justru untuk melindungi martabatnya. Imam Jalalain menafsirkan ayat tersebut dengan kelembutan dan keadilan. Maka, ketika dunia digital saat ini kerap memamerkan tubuh dan memancing pandangan, ajaran Surah An-Nur menjadi tameng spiritual yang menegaskan bahwa kemuliaan sejati bersumber dari kesucian batin, bukan dari tampilan luar.

Cahaya dalam Hati dan Akhlak

Lebih lanjut, Allah menggambarkan cahaya-Nya melalui perumpamaan yang memesona:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

«مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَوٰةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ، ٱلْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ»
“Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang tempat pelita; pelita itu berada di dalam kaca.” (QS. An-Nur: 35)

Imam as-Suyuthi menafsirkan bahwa mishkāt (lubang) menggambarkan hati, zujājah (kaca) melambangkan akal, dan mishbāh (pelita) adalah cahaya iman yang bersinar dari dalam diri manusia. Dengan demikian, iman yang tulus dan akal yang jernih bekerja saling melengkapi, seperti cahaya yang berkilau di balik kaca bening.

Orang yang jujur, rendah hati, dan penuh kasih sejatinya sedang memantulkan Cahaya Ilahi. Sebaliknya, mereka yang menyimpan iri, sombong, dan dengki akan menutupi cahaya itu dengan kabut gelap dalam batin. Karena itu, hati yang bersih akan menenangkan lingkungan sekitarnya. Mereka tidak mudah menghakimi, tidak menebar kebencian, dan justru membawa kedamaian. Inilah moralitas Qur’ani yang lahir dari cahaya iman yang hidup.

Keadilan Sosial dan Keterbukaan Masyarakat

Selanjutnya, Surah An-Nur menyoroti persoalan sosial dengan sangat tegas. Salah satu peristiwa penting yang diangkat adalah Haditsul Ifk—fitnah terhadap Sayyidah Aisyah r.a.:

«إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ عُصْبَةٌۭ مِّنكُمْ»
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan dari kamu.” (QS. An-Nur: 11)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam Jalalain menjelaskan bahwa Allah menegur keras orang-orang yang mudah percaya pada kabar tanpa bukti. Menurut beliau, fitnah merupakan bentuk kegelapan sosial yang hanya bisa diterangi oleh akal dan iman.

Kini, pelajaran itu terasa semakin relevan. Di era media digital, kabar bohong dan ujaran kebencian menyebar jauh lebih cepat daripada cahaya. Oleh karena itu, Surah An-Nur menuntun kita agar menjadi pembawa terang: memeriksa fakta, menjaga lisan, serta menolak menyebarkan keburukan. Dengan begitu, masyarakat akan tumbuh dalam suasana adil, jernih, dan saling menghormati.

Ketika Cahaya Menjadi Jalan Hidup

Cahaya Ilahi dalam tafsir Jalalain tidak berhenti pada makna simbolik, tetapi mengalir menjadi panduan hidup. Allah menutup Ayat an-Nur dengan pesan yang menenangkan:

«يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ»
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur: 35)

Imam al-Mahalli menjelaskan bahwa bimbingan ini merupakan rahmat yang hanya diraih oleh hati yang bersih dari kesombongan dan kebencian. Namun, siapa pun dapat menerima cahaya itu bila ia membuka diri terhadap kebenaran.

Dalam kehidupan modern, cahaya itu hadir dalam berbagai bentuk: senyum yang menenangkan, kerja yang jujur, doa yang tulus, dan sikap memaafkan yang meneduhkan. Semua itu menjadi pantulan nur Allah — cahaya yang tak pernah padam meski dunia terus berubah.

Kesimpulan: Menjadi Cermin Cahaya Ilahi

Dari seluruh tafsir Jalalain atas Surah An-Nur, kita belajar bahwa kesucian dan moralitas adalah dua sisi dari satu cahaya. Iman tanpa akhlak akan redup, sedangkan moral tanpa iman akan kehilangan arah. Hidup yang menerangi dirinya dengan Cahaya Ilahi bukan berarti bebas dari kesalahan, melainkan terus berusaha kembali ke jalan yang benar.

Setiap kali hati tergelincir dalam kegelapan, Allah membuka pintu cahaya-Nya bagi siapa pun yang mau bertobat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya ketika seorang hamba melakukan dosa, titik hitam muncul di hatinya. Jika ia bertobat, hatinya akan bersinar kembali.” (HR. Tirmidzi)

Akhirnya, makna terdalam dari Surah An-Nur adalah perjalanan menuju cahaya yang tidak pernah padam—cahaya yang menyinari batin, menggerakkan amal, dan menuntun manusia menuju kedamaian hakiki.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement