Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba sibuk, banyak manusia kehilangan pusat keyakinannya. Hidup yang terus dikejar target, pekerjaan, dan reputasi sering membuat seseorang lupa pada inti keimanan: tauhid — pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati. Tema besar inilah yang menjadi inti Surah Al-An’am, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Jalalain karya dua ulama besar, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Melalui pandangan mereka, ketauhidan bukan sekadar konsep teologis, melainkan fondasi spiritual dan moral yang membentuk manusia beriman yang sadar, kokoh, dan berakhlak.
Ketauhidan Sebagai Pondasi Keimanan yang Hidup
Surah Al-An’am turun di Makkah pada masa awal dakwah Nabi ﷺ ketika penentangan kaum musyrikin mencapai puncak. Oleh karena itu, kandungannya menekankan pemurnian tauhid serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan. Dalam Tafsir al-Jalalain, ayat pertama berbunyi:
«ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَجَعَلَ ٱلظُّلُمَـٰتِ وَٱلنُّورَ»
“Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi serta menjadikan gelap dan terang.”
(QS. Al-An’am: 1)
Menurut Imam al-Mahalli, keagungan Allah tampak melalui penciptaan langit, bumi, kegelapan, dan cahaya — dua unsur yang menjadi metafora iman dan kufur. Kegelapan melambangkan kebodohan spiritual, sementara cahaya menandakan tauhid dan ilmu.
Selain itu, pesan ini sangat relevan bagi kehidupan modern. Di tengah gemerlap teknologi, banyak manusia justru memuja “terang palsu” — kemajuan tanpa keimanan. Surah ini mengingatkan bahwa cahaya sejati hanya milik Allah. Menyadari hal itu merupakan bentuk jihad ruhani: mengembalikan hati kepada sumber cahaya hakiki.
Kesadaran Ketuhanan dalam Fenomena Alam
Imam as-Suyuthi menafsirkan ayat-ayat Surah Al-An’am dengan gaya lembut dan reflektif. Dalam ayat ke-99 beliau menulis:
«وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَىْءٍ»
“Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan.”
(QS. Al-An’am: 99)
Menurut Tafsir al-Jalalain, ayat ini bukan hanya deskripsi ilmiah, tetapi juga seruan batin agar manusia menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah di alam. Beragam tumbuhan yang tumbuh dari tanah dan air yang sama menunjukkan kesempurnaan takdir-Nya.
Oleh karena itu, setiap kali melihat hujan turun atau benih tumbuh menjadi pohon rindang, manusia seharusnya merenungi tanda kehadiran Allah. Semua itu mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Tauhid, dengan demikian, bukan sekadar keyakinan, tetapi kesadaran eksistensial: hidup ini sepenuhnya milik Allah.
Menolak Segala Bentuk Kemusyrikan Modern
Salah satu pesan paling tegas dalam Surah Al-An’am ialah penolakan terhadap kemusyrikan. Dalam tafsir ayat ke-100, Imam al-Mahalli menulis dengan nada tajam:
«وَجَعَلُوا۟ لِلَّهِ شُرَكَآءَ ٱلْجِنَّ»
“Dan mereka menjadikan jin sebagai sekutu bagi Allah.”
(QS. Al-An’am: 100)
Menurut Tafsir al-Jalalain, ayat ini menegur keras orang-orang musyrik yang menganggap jin atau kekuatan gaib sebagai sekutu Allah. Di masa kini, kemusyrikan sering hadir dalam bentuk yang lebih halus: ketergantungan berlebihan pada kekuasaan, harta, atau popularitas.
Sebagai contoh, ketika seseorang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan ridha Allah, saat itu syirik halus mulai merasuki hati. Oleh sebab itu, ketauhidan sejati menuntut keseimbangan: bekerja keras di dunia, tetapi hati tetap bergantung kepada Allah semata. Dengan cara itu, tauhid menjadi pegangan hidup yang membebaskan manusia dari belenggu duniawi.
Tauhid dan Moral: Menyatukan Iman dan Akhlak
Menurut Tafsir al-Jalalain, ketauhidan sejati tidak berhenti pada keyakinan, tetapi melahirkan akhlak mulia. Allah berfirman dalam ayat ke-162:
«قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ»
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. Al-An’am: 162)
Imam as-Suyuthi menegaskan bahwa ayat ini merupakan deklarasi totalitas iman. Seorang mukmin sejati menjadikan seluruh kehidupannya sebagai ibadah — dari bekerja, belajar, hingga bersosialisasi. Dengan niat yang tulus karena Allah, setiap amal menjadi cermin ketauhidan.
Selain itu, tauhid nyata ketika seseorang bersedekah tanpa pamrih, menepati janji, dan menahan amarah demi menjaga kehormatan orang lain. Nilai-nilai itu menjadikan tauhid bukan hanya ibadah di masjid, tetapi juga etika di jalan, kejujuran dalam profesi, dan ketulusan dalam cinta.
Kisah dan Renungan dari Tafsir Al-Jalalain
Dalam Tafsir al-Jalalain, para ulama sering menyisipkan hikmah mendalam. Misalnya, dalam penafsiran ayat ke-3:
«وَهُوَ ٱللَّهُ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَفِى ٱلْأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ»
“Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi; Dia mengetahui rahasiamu dan yang kamu nyatakan.”
(QS. Al-An’am: 3)
Imam al-Mahalli menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan kehadiran Allah di seluruh ruang dan waktu. Ketauhidan bukan hanya pengakuan lisan, tetapi keyakinan batin bahwa Allah selalu hadir dalam setiap detak kehidupan.
Ketika seseorang menyadari bahwa Allah mengetahui rahasia hatinya, ia akan malu berbuat dosa dan terdorong berbuat baik. Dengan kesadaran itu, lahirlah ketenangan yang tak tergoyahkan oleh dunia.
Meneguhkan Tauhid di Tengah Godaan Zaman
Di era informasi, manusia kerap kehilangan arah. Banyak yang mengaku beriman, tetapi tetap dilanda kecemasan tentang rezeki, masa depan, dan nasib. Padahal, tauhid sejati justru mengobati kecemasan tersebut.
Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Jalalain, keimanan sejati menumbuhkan rasa aman batin. Hanya Allah yang berkuasa memberi manfaat atau menimpakan mudarat. Dengan keyakinan itu, seseorang memperoleh ketenangan sejati di tengah ketidakpastian zaman.
Penutup: Hidup dalam Cahaya Tauhid
Surah Al-An’am, melalui pandangan para mufassir besar dalam Tafsir al-Jalalain, mengajarkan bahwa tauhid bukan dogma kaku, melainkan cahaya kehidupan. Ia menuntun akal agar tunduk, hati agar tenang, dan amal agar lurus.
Ketika manusia hidup dengan kesadaran bahwa Allah selalu hadir, setiap langkah menjadi doa, setiap usaha menjadi ibadah, dan setiap perjuangan menjadi jihad. Dengan demikian, pesan abadi Surah Al-An’am jelas: hidup tanpa tauhid hanyalah gerak tanpa arah, sedangkan hidup dengan tauhid adalah perjalanan menuju cahaya Ilahi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
