Suau.co. Dalam perjalanan hidup seorang mukmin, ada dua hal yang selalu diuji: keteguhan iman dan semangat jihad. Iman diuji oleh waktu dan keadaan, sementara jihad—yang berarti perjuangan, bukan sekadar perang—menjadi ujian tentang sejauh mana seseorang mempertahankan nilai-nilai ilahi di tengah dunia yang terus berubah. Melalui Tafsir al-Jalalain, karya monumental Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, kita menemukan kedalaman makna Surah Al-Ma’idah yang meneguhkan kedua nilai itu: iman yang teguh, dan jihad yang bermartabat.
Al-Ma’idah: Surah Perjanjian dan Komitmen Iman
Surah Al-Ma’idah adalah surah ke-5 dalam Al-Qur’an, turun di Madinah setelah umat Islam mulai membangun tatanan sosial dan hukum. Para mufassir klasik, termasuk Imam al-Mahalli dan as-Suyuthi, menyebut surah ini sebagai “Surah al-‘Uqūd” (Surah Perjanjian), karena banyak ayatnya berbicara tentang janji dan kesetiaan terhadap hukum Allah.
Dalam tafsir al-Jalalain, Imam al-Mahalli membuka penjelasan surah ini dengan peringatan yang tegas:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ»
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah segala janji (perjanjian)!”
(QS. Al-Ma’idah: 1)
Kedua imam menjelaskan bahwa “al-‘uqūd” mencakup segala bentuk perjanjian, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Maka keteguhan iman tidak hanya diukur dari ibadah ritual, tapi juga dari sejauh mana seseorang memegang komitmen dan integritasnya dalam hidup.
Dalam kehidupan modern, ayat ini relevan ketika seseorang tetap jujur meski sendirian, tetap amanah meski tak diawasi, dan tetap menolak korupsi meski semua orang melakukannya. Itulah bentuk jihad moral—perang batin melawan kelemahan diri sendiri.
Keteguhan Iman: Dari Keyakinan ke Konsistensi
Iman bukan hanya tentang keyakinan hati, tapi tentang konsistensi tindakan. Imam as-Suyuthi menafsirkan ayat ke-2 dari surah ini dengan lembut namun dalam maknanya:
«وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ»
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)
Menurut tafsir al-Jalalain, ayat ini adalah pondasi sosial umat Islam. Keteguhan iman diuji bukan saat kita sendirian di masjid, tapi saat kita berada di tengah masyarakat yang penuh kompromi terhadap nilai. Menolak ikut-ikutan dalam keburukan adalah jihad tersendiri.
Dalam dunia kerja, misalnya, banyak orang tergoda memutarbalikkan data demi keuntungan. Namun, seorang yang teguh imannya akan berkata seperti hati yang diserukan Al-Qur’an: “Tidak, aku tetap di jalan takwa.”
Jihad: Lebih dari Sekadar Medan Perang
Dalam tafsir al-Jalalain, jihad bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi tentang mengangkat moral dan akal agar tetap tunduk pada kebenaran. Imam as-Suyuthi menjelaskan ayat berikut dengan nada yang penuh semangat:
«وَمَن يَتَوَلَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَإِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْغَـٰلِبُونَ»
“Dan barangsiapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya golongan Allah itulah yang menang.”
(QS. Al-Ma’idah: 56)
Dalam penjelasan al-Jalalain disebutkan bahwa kemenangan di sini bukan semata kemenangan fisik, melainkan kemenangan maknawi: kemenangan iman atas hawa nafsu, atas kesombongan, dan atas rasa putus asa.
Jihad terbesar, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ:
“Jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu.”
(HR. Ahmad)
Maka seorang mahasiswa yang tetap belajar keras meski tanpa motivasi, seorang pedagang yang menolak menipu meski terancam rugi, atau seorang ayah yang tetap menafkahi keluarga dengan rezeki halal—semuanya sedang berjihad di jalan Allah.
Empat Cahaya dari Tafsir Jalalain atas Surah Al-Ma’idah
Tafsir al-Jalalain memberi kita empat kilau hikmah dari ayat-ayat Al-Ma’idah:
- Iman adalah kesetiaan terhadap perjanjian
«أَوْفُوا بِالْعُقُودِ»
Iman yang sejati tidak berubah karena situasi. Orang beriman tetap teguh walau dunia bergeser.
- Keteguhan lahir dari kerja sama dalam kebaikan
«وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى»
Iman yang kuat selalu mencari teman-teman baik yang saling meneguhkan, bukan saling menjatuhkan.
- Jihad adalah kesetiaan kolektif terhadap Allah
«فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ»
Umat yang saling menolong dalam kebenaran adalah “partai Allah” yang akan menang, bahkan tanpa senjata.
- Kelemahan iman membawa kebutaan moral
«فَعَمُوا وَصَمُّوا»
“Lalu mereka buta dan tuli terhadap kebenaran.”
Imam al-Mahalli menafsirkan bahwa orang yang kehilangan iman sejati akan buta terhadap nilai, meski matanya melihat.
- Refleksi: Iman dan Jihad dalam Kehidupan Modern
Kini, jihad terbesar kita bukan lagi di medan perang, tetapi di medan moral dan spiritual. Dunia modern menggoda dengan segala bentuk kemudahan: kenikmatan instan, validasi digital, dan kehidupan serba cepat. Namun di tengah itu, seorang mukmin sejati tetap teguh dalam prinsipnya—tidak menukar iman dengan popularitas, tidak menggadaikan kebenaran demi kenyamanan.
Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain terhadap ayat 48:
«وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ»
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran.”
Tafsir Jalalain: Al-Qur’an adalah pedoman yang menguji ketulusan iman; siapa yang jujur akan teguh, siapa yang ragu akan goyah.
Maka jihad kita hari ini adalah menjaga keteguhan hati agar tetap tunduk kepada kebenaran itu—sekalipun dunia menertawakan.
Penutup: Menjadi Bagian dari Hizbullah
Keteguhan iman dan jihad adalah dua sisi dari satu koin: satu meneguhkan batin, yang lain menyalakan semangat amal. Tafsir al-Jalalain mengajarkan bahwa iman tanpa jihad hanyalah wacana, dan jihad tanpa iman hanyalah ambisi.
Menjadi bagian dari Hizbullah—golongan Allah—berarti berani melawan diri sendiri, memperbaiki niat, dan terus berbuat baik meski tidak disorot. Karena pada akhirnya, seperti yang ditegaskan dalam ayat penutup tafsir tema ini:
«فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ»
“Sesungguhnya golongan Allah itulah yang menang.”
Dan kemenangan sejati, kata para mufassir, bukan saat kita menundukkan dunia, melainkan saat kita menundukkan hati kepada Tuhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
