Khazanah
Beranda » Berita » Bidayatul Hidayah: Rangkaian Ibadah Harian dan Pentingnya Ilmu Bermanfaat

Bidayatul Hidayah: Rangkaian Ibadah Harian dan Pentingnya Ilmu Bermanfaat

Ilustrasi hamba yang sedang berdoa kepada pencipta.
Ilustrasi hamba yang sedang berdoa kepada pencipta.

SURAU.CO– Imam Al-Ghazali, dalam kitab monumental beliau, Bidayatul Hidayah, beliau berpesan agar setelah matahari terbit setinggi galah, kita hendaknya melaksanakan salat sunah Isyraq dua rakaat. Kita lakukan hal ini setelah waktu Karahah berlalu, yakni waktu makruh untuk salat.

Waktu Karahah mulai sejak kita selesai salat Subuh sampai matahari setinggi galah. Hal ini bisa terklasifikasikan menjadi dua. Yakni, waktu antara selesai salat Subuh sampai matahari terbit. Pada waktu ini  syariat mengharamkan kita untuk salat, kecuali salat yang memiliki sebab, seperti salat jenazah dan sejenisnya. Kemudian pada waktu antara matahari terbit sampai menyingsing setinggi galah,  syariat menyatakan makruh untuk salat.

Selanjutnya, bila hari mulai agak siang, Imam Al-Ghazali menyarankan hendaknya kita  menunaikan salat sunah Duha empat, enam, atau delapan rakaat. Kita laksanakan salat ini dengan mengucapkan salam setiap dua rakaat. Rasulullah SAW telah menuntunkan pelaksanaan salat Duha dengan salam setiap dua rakaat ini. Pada dasarnya, semua bilangan rakaat salat Duha adalah baik. Namun, jika kita menginginkan pahala yang banyak, maka kita perbanyak bilangan rakaatnya. Antara terbitnya matahari sampai masuk waktu salat Zuhur, tidak ada salat sunah lain kecuali salat Duha. Oleh karena itu, salat Duha memiliki pahala yang amat besar.

Memperdalam Ilmu Pengetahuan Setelah Salat Duha

Kita gunakan waktu yang tersisa—setelah kita melaksanakan salat Duha—untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi agama. Imam Al-Ghazali meminta kita menempuh berbagai cara, baik formal maupun nonformal. Kita hindari mendalami ilmu yang mendatangkan mudarat, baik ilmu sihir maupun perdukunan.

Sebab, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat kita jadikan sebagai sarana peningkatan iman dan takwa kepada Allah. Ilmu dapat kita gunakan sebagai sarana mengintrospeksi diri dari segala bentuk kekurangan, sehingga dapat mengantar kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu yang bermanfaat juga mampu mengendalikan diri kita untuk lebih mencintai kehidupan akhirat yang abadi. Selain itu, dengan ilmu yang bermanfaat, kita dapat mengetahui tipu daya setan dalam memperdaya ulama munafik, bodoh, dan tolol, yakni ulama yang tergila-gila dengan kemewahan dunia. Setan telah membius mereka. Ulama seperti itu merasa bangga mendapatkan kedudukan dan kehormatan di sisi penguasa. Mereka telah memperjualbelikan ilmu dengan kesenangan dunia yang bersifat sementara. Kesenangan yang mereka peroleh hanyalah kesenangan sesaat.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ulama yang bodoh dan tolol itu tidak akan segan dan tidak merasa malu memakan harta wakaf maupun anak yatim. Sepanjang hari, yang mereka impikan adalah kemewahan dan kedudukan di antara sesama. Mereka telah melupakan keagungan Allah. Akibatnya, mereka menjadi congkak dan sombong. Mereka merasa tahu segalanya. Semua ini adalah ciri para ilmuwan yang ilmunya tidak bermanfaat. Kita dapat mengkaji pembahasan tentang ilmu yang bermanfaat ini dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin – bagian pertama.

Mengamalkan Ilmu untuk Sesama

Oleh karena itu, apabila kita ingin memiliki ilmu yang bermanfaat, hendaknya kita berusaha dengan maksimal. Setelah kita memperoleh ilmu yang bermanfaat itu, kita ajarkan dan kita amalkan pada sesama. Dengan demikian, ilmu itu akan punya nilai manfaat yang besar. Sebab, siapa pun yang memiliki ilmu yang bermanfaat lalu mengajarkan ilmu itu kepada sesama, ia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan agung di sisi malaikat dan disaksikan oleh Nabi Isa AS.

Apabila kita mampu meraih ilmu yang bermanfaat, ini berarti kita telah mampu memperbaiki diri kita, baik lahir maupun batin. Kita ikatkan ilmu itu dengan iktikad dan keyakinan yang baik, sehingga tidak ada lagi halangan bagi kita untuk mempelajari khilafiah antar mazhab, seperti Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i. Kita lakukan hal ini agar kita mengetahui tentang seluk-beluk cabang ilmu agama yang jarang diterapkan dalam peribadatan, sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan bila terjadi khilafiah di antara mereka.

Mempelajari paham mazhab lain hukumnya Fardu Kifayah. Namun, mendalami paham dari mazhab tertentu adalah Fardu ‘Ain. Oleh sebab itu, kita tidak dibenarkan mempelajari mazhab lain sebelum mendalami paham dari mazhab yang kita anut.

Pertanda Masuknya Bujuk Rayu Setan

Adapun, apabila nafsu amarah telah memengaruhi kita agar tidak melaksanakan amalan-amalan berupa wirid, maka ini adalah pertanda bahwa kita telah terkena bujuk rayu setan yang terkutuk. Setan telah memasukkan benih penyakit dalam hati kita. Dan bila itu terjadi, akan sulitlah untuk mengobatinya. Bentuk penyakit yang akan muncul adalah cinta kemewahan, pangkat, dan kedudukan. Jika hal itu terjadi, para setan akan bersukaria menyambutnya, karena mereka telah berhasil membujuk kita. Oleh sebab itu, janganlah bangga dan senang bila kita mendapatkan sanjungan dan pujian dari sesama manusia. Juga, janganlah terlalu mendamba dan mencintai kemewahan dunia.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai muslim tentu mau mengamalkan amalan-amalan yang telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, sedikit demi sedikit, nafsu yang bersemayam dalam jiwa dapat kita tundukkan, minimal dapat kita jinakkan. Melalui latihan diri dalam melakukan kebajikan, perasaan berat dan bosan akan sirna, dan perasaan cinta pada ilmu yang bermanfaat pun dapat kita realisasikan. Hanya orang yang berlatih secara rutin dan tekun yang dapat dikatakan sebagai orang yang mendambakan ilmu yang bermanfaat.

Mencari Ilmu Hanya Untuk Keridaan Allah

Apabila kita melaksanakan ibadah secara rutin dan ikhlas, ini artinya kita mencari ilmu hanya untuk keridaan Allah dan mencari kehidupan akhirat. Inilah yang merupakan ibadah yang utama. Niat mencari ilmu dengan penuh keikhlasan lebih utama bila dibandingkan dengan melakukan ibadah sunah. Bila kita memiliki niat ikhlas dalam melaksanakan sesuatu, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Sebaliknya, bila kita lakukan dengan niat yang kurang ikhlas, niscaya kita akan terjerumus pada jurang kehinaan. Mereka inilah yang termasuk dalam kategori orang-orang bodoh nan tolol, meskipun di mata umat, mereka mendapat gelar ilmuwan.(St.Diyar)

Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement