Khazanah
Beranda » Berita » Punya Hati Bersih di Zaman Nyinyir

Punya Hati Bersih di Zaman Nyinyir

Ilustrasi seorang pemuda bermeditasi dengan tenang di tengah keramaian kota, simbol hati bersih di zaman nyinyir.
Ilustrasi ini menggambarkan ketenangan batin di tengah kebisingan dunia modern, melambangkan hati yang bersih di tengah budaya nyinyir.

Surau.co Di zaman serba cepat ini, ruang digital kita penuh dengan suara—ada yang menenangkan, tapi tak jarang juga yang melukai. Media sosial menjadi tempat semua orang bisa berpendapat, berkomentar, bahkan menilai tanpa jeda. Kadang, tanpa sadar, kita ikut terseret dalam arus “nyinyir berjamaah” itu. Maka, menjaga hati agar tetap bersih di tengah derasnya komentar negatif bukanlah perkara mudah. Tapi justru di situlah ujian dan keindahan akhlak seseorang diuji.

Memiliki hati bersih di zaman nyinyir bukan sekadar soal diam dan tak menanggapi. Ia adalah laku batin yang menuntut kesadaran, latihan, dan pengendalian diri. Sebab, sebagaimana debu yang halus bisa menutupi cahaya, begitu pula bisikan iri, dengki, dan prasangka bisa mengaburkan kejernihan hati manusia.

Menjaga Hati di Tengah Bisingnya Dunia

Zaman ini penuh dengan informasi dan opini yang berseliweran. Setiap hari, kita disuguhi drama, sindiran, dan komentar yang kadang membuat hati tak tenang. Dalam situasi seperti itu, orang yang bisa menjaga kejernihan hati adalah mereka yang paham bahwa kebisingan luar hanya bisa diredam oleh ketenangan dalam.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ”
“Sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Hadis ini mengingatkan kita bahwa kualitas hati menentukan arah seluruh perilaku. Di dunia yang gemar mengomentari, orang yang hatinya bersih akan memilih jalan berbeda: bukan bereaksi, tapi berefleksi. Ia sadar, setiap kata yang keluar mencerminkan isi batin.

Hati yang Bersih Tidak Mudah Tersulut

Hati yang bersih tak mudah terguncang oleh cibiran atau pujian. Ia stabil, karena tidak mencari pengakuan manusia, melainkan ridha Allah. Seorang yang memiliki hati bersih tidak merasa perlu menjawab semua tudingan, karena ia tahu: diamnya orang yang tulus lebih kuat dari seribu pembelaan.

Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

“مِنْ أَدَبِ النَّفْسِ أَنْ تَكُونَ نَقِيَّةَ الصَّدْرِ سَلِيمَةَ النِّيَّةِ، لَا تَحْمِلُ غِلًّا وَلَا حَسَدًا”
“Termasuk adab jiwa adalah memiliki dada yang bersih dan niat yang selamat, tidak membawa kebencian dan tidak menumbuhkan iri.”

Kebersihan hati bukan berarti tidak pernah marah atau kecewa. Tapi ketika hati bersih, kemarahan tidak berubah menjadi kebencian, dan kekecewaan tidak tumbuh menjadi dendam. Orang seperti ini mampu menempatkan perasaan pada tempatnya, tidak menyalakan api baru di tengah panasnya dunia maya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kebaikan yang Tak Perlu Dipertontonkan

Kita hidup di masa di mana setiap tindakan mudah direkam dan disebarluaskan. Banyak orang berbuat baik tapi ingin dunia tahu. Padahal, hati yang bersih tidak butuh sorotan. Ia cukup dengan rasa damai karena Allah melihatnya.

Kebaikan sejati tumbuh dari keikhlasan, bukan dari kamera atau komentar. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا”
“Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanyalah untuk mengharap ridha Allah. Kami tidak menginginkan balasan maupun ucapan terima kasih.”
(QS. Al-Insān [76]: 9)

Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan yang sejati tidak bergantung pada pengakuan manusia. Di zaman nyinyir, di mana kebaikan sering dicurigai dan niat baik disalahpahami, orang berhati bersih tetap berjalan di jalannya — tanpa banyak bicara, tanpa pamrih.

Melatih Diri untuk Tidak Nyinyir Balik

Tantangan terbesar bukanlah menghadapi orang nyinyir, tapi menahan diri untuk tidak membalas dengan hal yang sama. Banyak orang jatuh bukan karena diserang, tapi karena hatinya ikut keruh oleh amarah.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Menjaga hati agar tidak ikut nyinyir adalah bentuk jihad kecil dalam kehidupan modern. Ia butuh kesadaran setiap kali jari ingin mengetik balasan atau mulut ingin menyindir balik. Sebab, sebagaimana api tak bisa dipadamkan dengan api, nyinyir tak bisa disucikan dengan nyinyir.

Rasulullah ﷺ pernah berpesan:

“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”
“Bukanlah orang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Mengendalikan diri adalah bentuk kekuatan batin yang jarang disadari. Orang yang bisa menahan diri dari nyinyir balik bukan berarti lemah; justru ia sedang menunjukkan kebesaran jiwa dan kedalaman iman.

Membersihkan Hati dari Racun Digital

Hati manusia seperti wadah: apa yang sering masuk ke dalamnya akan membentuk isinya. Bila tiap hari kita membaca komentar negatif, gosip, dan ujaran kebencian, lama-lama racun itu menumpuk. Maka, penting untuk melakukan “detoks hati” dari hal-hal yang tak berguna.

Coba sesekali berpuasa dari media sosial. Luangkan waktu untuk membaca Al-Qur’an, mendengarkan lantunan dzikir, atau menatap alam tanpa notifikasi. Saat hati diberi ruang tenang, kita bisa kembali mendengar suara yang paling jujur: suara fitrah dalam diri yang selalu condong pada kebaikan.

Imam Al-Māwardi juga menerangkan dalam kitabnya:

“وَصَاحِبُ الْعَقْلِ يَجْعَلُ لِقَلْبِهِ وَقَايَةً مِنْ دَنَسِ الدُّنْيَا، كَمَا يَجْعَلُ لِبَدَنِهِ وَقَايَةً مِنَ الْأَذَى”
“Orang berakal menjadikan hatinya terlindung dari kotoran dunia sebagaimana ia melindungi tubuhnya dari bahaya.”

Membersihkan hati bukan sekadar ibadah spiritual, tapi juga upaya menjaga kesehatan batin agar tidak mudah rapuh oleh dunia yang penuh polusi emosi.

Hati yang Bersih Adalah Cermin Akhlak

Dalam tradisi Islam, hati bersih bukan hanya soal pribadi, tapi fondasi bagi akhlak sosial. Orang yang hatinya jernih akan memandang orang lain dengan kasih, bukan curiga. Ia mudah memaafkan, karena tahu bahwa semua manusia sama-sama sedang belajar menjadi lebih baik.

Hati yang bersih membuat seseorang mampu melihat kebaikan bahkan dalam kekurangan orang lain. Ia menolak ikut-ikutan menghakimi, sebab ia sadar, setiap manusia punya sisi yang Allah tutupi dari pandangan umum.

Ketika hati bersih, lidah akan lembut, dan mata akan teduh. Dari hati yang jernih, lahir ucapan yang menyejukkan dan perbuatan yang memuliakan. Dunia digital yang panas membutuhkan lebih banyak orang seperti ini — bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling tulus menjaga jiwa.

Penutup: Di Antara Nyinyir dan Nurani

Hati yang bersih tidak berarti hidup tanpa luka. Ia justru sering diuji oleh banyaknya nyinyiran dan ketidakadilan. Namun, sebagaimana emas diuji dengan api, hati yang ikhlas diuji dengan komentar.

Di zaman yang ramai, menjadi tenang adalah keberanian. Di zaman yang nyinyir, tetap berbuat baik adalah keteguhan. Dan di zaman yang penuh kepura-puraan, menjaga hati agar tetap tulus adalah kemewahan yang tak ternilai.

Maka, bila dunia makin riuh, mari kita perbanyak diam yang bermakna. Bila orang lain sibuk menilai, mari kita sibuk memperbaiki diri. Karena sesungguhnya, hati yang bersih lebih indah daripada seribu pujian — dan lebih berharga daripada semua sorotan.

“يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ • إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ”
“Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 88–89)

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement