Khazanah
Beranda » Berita » Bikin Baik Itu Gak Harus Viral

Bikin Baik Itu Gak Harus Viral

Pemuda berjalan tenang di senja hari, melambangkan kebaikan yang tak perlu viral.
Gambaran kebaikan yang dilakukan tanpa sorotan, simbol ketulusan dalam kesunyian

Surau.co. Di zaman ketika hampir setiap hal bisa direkam dan dibagikan, kebaikan sering kali dinilai dari seberapa banyak ia dilihat. Banyak orang ingin berbuat baik, tapi tak sedikit pula yang ingin kebaikannya terlihat. Fenomena ini membuat kita bertanya: apakah kebaikan yang tidak viral masih bernilai? Padahal, esensi kebaikan sejati justru terletak pada niat dan keikhlasan, bukan pada jumlah penonton.

Dalam pandangan Islam, amal baik tidak diukur dari sorotan publik, tetapi dari ketulusan hati. Allah ﷻ berfirman:

وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ
“Dan kebaikan apa pun yang kamu kerjakan untuk dirimu, niscaya kamu akan mendapat (balasan)nya di sisi Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 110)

Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan tidak perlu dicatat kamera, cukup tercatat di Lauh Mahfuzh. Ketika manusia mengharapkan pengakuan, Allah justru meminta keheningan hati. Sebab, kebaikan sejati adalah dialog rahasia antara hamba dan Tuhannya.

Antara Amal dan Panggung Dunia

Kita hidup di era “panggung”, di mana setiap tindakan bisa menjadi tontonan. Di media sosial, membantu orang miskin atau berbagi sedekah sering disertai kamera dan caption panjang. Tidak salah jika niatnya untuk inspirasi, tapi menjadi berbahaya ketika tujuan utamanya adalah pengakuan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ mengingatkan dalam sebuah hadits riwayat Muslim:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”

Hadits ini menegaskan bahwa ukuran amal bukan pada tampilan, tetapi pada niat di dalam dada. Seseorang bisa terlihat dermawan di mata manusia, namun miskin di sisi Allah karena hatinya penuh pamrih. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang membantu diam-diam tanpa kamera mungkin lebih mulia karena hatinya tenang dan tulus.

Ikhlas Itu Tenang, Riyaa Itu Gelisah

Keikhlasan adalah pondasi amal yang paling dalam. Ia tidak butuh lampu sorot atau pengakuan publik. Imam Al-Mawardi dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menjelaskan:

وَالإِخْلَاصُ أَصْلُ الْعَمَلِ وَرُوحُهُ، فَمَنْ فَقَدَ الإِخْلَاصَ فَقَدَ الرُّوحَ فِي الْجَسَدِ
“Keikhlasan adalah dasar amal dan ruhnya; barang siapa kehilangan keikhlasan, maka amalnya seperti jasad tanpa ruh.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kalimat itu terasa tajam sekaligus lembut. Amal yang tanpa keikhlasan hanya tampak indah di luar, tapi kosong di dalam. Sedangkan amal yang dilakukan dengan hati yang jujur akan menenangkan batin, meski tidak mendapat “likes” atau komentar.

Keikhlasan membebaskan kita dari kegelisahan mencari validasi. Orang yang ikhlas tidak mudah kecewa meski tak ada yang tahu perbuatannya. Ia percaya bahwa Allah Maha Melihat, dan setiap tetes kebaikan akan kembali pada dirinya, entah cepat atau lambat.

Ketika Amal Jadi Konten

Bukan rahasia, kini banyak kebaikan menjadi “konten.” Seseorang memberi makan anak jalanan, lalu merekamnya dan mengunggahnya dengan tagar #BerbagiBerkah. Niatnya bisa baik, tetapi batas antara inspirasi dan pamer sering kali kabur.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kamera itu untuk mengingatkan kebaikan, atau untuk membuktikan bahwa kita baik? Amal yang direkam tidak otomatis salah, tetapi hati harus terus diawasi. Imam Al-Ghazali pernah menasihati bahwa riyaa bisa muncul dalam bentuk yang sangat halus, bahkan dalam doa yang panjang atau sedekah yang tampak tulus. Maka, sebelum menekan tombol “unggah,” tanyakan: apakah Allah ridha jika niatku setengah untuk-Nya dan setengah untuk manusia?

Menjadi Baik Tanpa Sorotan

Kebaikan yang tidak viral tetap bisa mengubah dunia. Ia mungkin tidak muncul di timeline, tapi hidup di hati manusia. Bayangkan seorang ibu yang mendoakan anaknya dalam sujud, seorang guru yang sabar menghadapi murid nakal, seorang tetangga yang diam-diam menolong tanpa diketahui siapa pun. Semua itu adalah bentuk amal yang tak terlihat tapi tak pernah sia-sia.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah [9]: 120)

Ayat ini menjadi janji bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, akan dihargai. Dunia mungkin tidak menontonnya, tapi langit mencatatnya. Orang yang tulus tidak butuh kamera, karena ia tahu malaikat sudah mencatat dengan lebih sempurna.

Kebaikan Sunyi yang Menumbuhkan Jiwa

Kebaikan yang tersembunyi sering kali lebih menumbuhkan jiwa dibanding kebaikan yang ramai. Ketika kita tidak mencari tepuk tangan, kita belajar berbuat baik semata karena cinta. Dari situ, hati menjadi lembut dan lapang.

Dalam sunyi, kebaikan menjadi dialog batin dengan Tuhan. Kita tidak lagi sibuk mencari siapa yang tahu, melainkan bagaimana agar Allah ridha. Dari situlah muncul kedewasaan spiritual: kita belajar bahwa amal bukan performa, tapi ibadah.

Imam Al-Mawardi juga menerangkan,

مَنْ أَرَادَ بِعَمَلِهِ وَجْهَ اللَّهِ أَخْفَاهُ عَنِ النَّاسِ، وَمَنْ أَرَادَ بِهِ الْفَخْرَ أَظْهَرَهُ
“Barang siapa menginginkan wajah Allah dengan amalnya, maka ia akan menyembunyikannya dari manusia; dan barang siapa menginginkan kebanggaan, maka ia akan menampakkannya.”

Kata-kata itu seolah menampar kita yang hidup di era serba tampil. Kadang, yang paling tulus justru mereka yang tidak terlihat.

Mendidik Hati di Era Digital

Kita tak bisa menolak teknologi atau budaya berbagi di media sosial. Namun, kita bisa mengatur hati agar tetap jernih. Tidak semua kebaikan harus dipamerkan, dan tidak semua yang disembunyikan harus disesali. Yang penting adalah menjaga niat agar tetap lurus.

Cara mendidik hati di era digital adalah dengan melatih kesunyian. Berbuat baik tanpa saksi manusia, sekadar untuk melatih batin. Misalnya, bersedekah anonim, membantu tanpa tagar, atau mendoakan orang lain tanpa mereka tahu. Dari situ, kita belajar merasakan indahnya amal yang hanya diketahui Allah.

Kebaikan yang disembunyikan justru lebih kuat pengaruhnya. Ia menumbuhkan empati tanpa ego, dan menghadirkan kebahagiaan yang tidak tergantung pada notifikasi. Itulah seni menjadi baik di dunia yang bising.

Penutup: Jadilah Cahaya yang Tenang, Bukan Kilau yang Bising

Kebaikan tidak perlu viral untuk menjadi berarti. Bahkan, semakin sunyi sebuah amal, semakin dalam nilainya di sisi Allah. Jangan biarkan niat kita dikaburkan oleh kamera dan komentar. Sebab, yang menilai sejatinya bukan manusia, melainkan Tuhan yang Maha Mengetahui isi hati.

Menjadi baik itu seperti menyalakan lilin di tengah gelap—ia mungkin kecil, tapi cukup untuk memberi arah. Tidak semua cahaya perlu menyilaukan, cukup yang menerangi jalan pulang.

Maka, tetaplah berbuat baik, meski tak ada yang melihat. Sebab dalam keheningan amal yang tersembunyi, Allah sedang mempersiapkan pahala yang jauh lebih indah daripada sorotan dunia.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement