Khazanah
Beranda » Berita » Ngopi, Ngaji, dan Ngendalikan Diri

Ngopi, Ngaji, dan Ngendalikan Diri

Pemuda membaca Al-Qur’an sambil menikmati kopi di pagi hari, simbol keseimbangan hidup dan ketenangan batin.
Seorang pemuda duduk di teras kayu saat fajar. Di depannya secangkir kopi beruap, di sampingnya terbuka mushaf Al-Qur’an. Cahaya pagi menembus lembut melalui pepohonan, menciptakan suasana hangat dan hening.

Surau.co. Di banyak warung kopi, obrolan kecil sering berawal dari hal ringan, tetapi perlahan berubah menjadi renungan yang dalam. Sambil menyesap kopi panas, kita kerap merenungkan hidup: tentang waktu yang berjalan cepat, hati yang mudah tersulut, atau iman yang naik turun. Dalam suasana sederhana itu, kita menyadari bahwa hidup sejatinya bukan sekadar urusan sibuk atau tampil keren, melainkan tentang kemampuan mengendalikan diri — ngopi boleh, ngaji harus, dan ngendaliin diri itu wajib.

Sebetulnya, keseimbangan antara menikmati dunia dan menata jiwa merupakan seni kehidupan. Karena pada hakikatnya, kebaikan tumbuh bukan hanya dari banyaknya ilmu, tetapi juga dari hati yang tenang serta pikiran yang terkendali.

Ngopi: Menikmati Kehidupan dengan Sadar

Minum kopi telah menjadi bagian dari budaya sosial masyarakat. Di antara aroma kopi yang menenangkan, tersimpan makna kesederhanaan. Ngopi bukan sekadar ritual pagi atau malam, tetapi simbol bahwa hidup memerlukan jeda dan kesadaran. Dalam setiap tegukannya, kita belajar berhenti sejenak, merasakan waktu, dan mensyukuri nikmat yang sering kita abaikan.

Namun demikian, ngopi juga mengajarkan tentang batas. Ketika seseorang terlalu banyak mengonsumsi kafein, ia justru merasa gelisah; begitu pula hidup, ketika kita berlebihan mengejar dunia, hati pun menjadi resah.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang seimbang (wasathan)…”
(QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti menikmati kopi atau bekerja. Islam tidak melarang kenikmatan dunia, tetapi mengajarkan agar kita tidak larut di dalamnya.

Dengan demikian, ngopi menjadi simbol kecil dari prinsip besar itu. Satu cangkir kopi bisa mengajarkan bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang tergesa-gesa, melainkan hidup yang dijalani dengan sadar, penuh rasa, dan tahu kapan harus berhenti.

Ngaji: Menata Hati dan Pikiran

Kalau ngopi menenangkan pikiran, maka ngaji menenangkan hati. Ngaji tidak hanya berarti membaca teks, tetapi juga menyelami makna, menemukan arah, dan menundukkan ego di hadapan kebenaran ilahi.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

وَمِنْ أَدَبِ الدِّينِ أَنْ يَكُونَ الْعِلْمُ سَبَبًا فِي صَلَاحِ الْقَلْبِ لَا فِي فَسَادِهِ
“Termasuk adab dalam agama ialah menjadikan ilmu sebagai sebab kebaikan hati, bukan kerusakannya.”

Pesan itu mengingatkan bahwa ilmu tidak boleh membuat seseorang sombong atau memecah hati. Sebaliknya, ilmu seharusnya menjadi cermin yang menata batin, mengarahkan akhlak, dan menumbuhkan kerendahan hati.

Lebih jauh, ngaji tidak selalu harus berlangsung di majelis formal. Kadang, “ngaji” justru hadir saat kita merenungi kesalahan sendiri, ketika hati berbisik lirih, “Aku harus berubah.” Momen itu pun menjadi bentuk ngaji — proses belajar dari pengalaman dan menata diri agar lebih baik.

Selain itu, ngaji juga mengajarkan bahwa setiap manusia membutuhkan bimbingan. Tanpa petunjuk, kita mudah tersesat oleh hawa nafsu. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang hingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa.”
(HR. Al-Baghawi)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Dengan kata lain, orang yang benar-benar berilmu ialah mereka yang mampu menundukkan diri di bawah kebenaran, bukan menundukkan kebenaran demi dirinya.

Ngendaliin Diri: Seni Mengalahkan Ego

Di antara tiga hal tadi, yang paling sulit adalah mengendalikan diri. Sebab, musuh terbesar manusia bukan orang lain, tetapi dirinya sendiri.

Imam al-Māwardī menulis lagi:

وَالنَّفْسُ إِنْ لَمْ تُقْهَرْ قَهَرَتْ، وَإِنْ لَمْ تُذَلَّ أَذَلَّتْ
“Jika nafsu tidak dikalahkan, maka ia akan mengalahkanmu; jika tidak direndahkan, maka ia akan merendahkanmu.”

Ungkapan ini menunjukkan pentingnya kemampuan untuk menaklukkan ego. Nafsu tidak perlu dimatikan, tetapi harus diarahkan. Ia seperti api: bisa menerangi jika dijaga, namun bisa membakar bila dibiarkan liar.

Mengendalikan diri bukan berarti menekan semua keinginan, tetapi menata keinginan dengan akal dan iman. Misalnya, ketika marah, kita bisa memilih diam dan mengambil wudu. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang di antara kalian marah, maka berwudulah.”
(HR. Abu Dawud)

Air wudu mendinginkan panasnya emosi, sebagaimana zikir menenangkan hati yang bergejolak. Sungguh, orang yang mampu menahan diri saat marah adalah orang kuat sejati. Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam dunia modern yang penuh tekanan dan pemicu stres, kemampuan mengendalikan diri menjadi wujud kecerdasan spiritual. Kita pun belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak muncul dari memuaskan semua keinginan, melainkan dari kemampuan memilih mana yang perlu dilakukan dan mana yang cukup didiamkan.

Ngopi dan Ngaji: Dua Latihan Kesadaran

Jika kita perhatikan lebih dalam, ngopi dan ngaji sebenarnya memiliki kesamaan makna: keduanya melatih kesadaran. Saat ngopi, kita belajar hadir dan menikmati detik yang berjalan pelan; sementara saat ngaji, kita belajar memahami makna hidup yang sering kita abaikan.

Keduanya mengajarkan kesadaran terhadap nikmat, waktu, dan diri sendiri. Sebab, orang yang sadar akan dirinya lebih mudah mengendalikan tindakannya. Ia tahu kapan harus berbicara, kapan diam, kapan memberi, dan kapan menahan diri.

Dengan demikian, kita memahami bahwa mengendalikan diri bukan kemampuan instan. Ia membutuhkan latihan terus-menerus, seperti kopi yang tidak bisa dinikmati dalam satu teguk, atau ngaji yang tak cukup dengan satu ayat. Kesabaran dalam menata diri adalah jalan panjang menuju ketenangan batin.

Menemukan Ketenangan di Tengah Hiruk Pikuk

Di tengah dunia yang serba cepat, banyak orang kehilangan arah. Media sosial menuntut kita tampil, pekerjaan menekan kita berlari, dan pikiran tak henti berputar. Dalam situasi itu, ngopi dan ngaji menjadi cara sederhana untuk berhenti sejenak, mengatur napas, dan kembali mengingat Tuhan.

Allah berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

Ketika hati telah tenang, diri pun menjadi lebih mudah dikendalikan. Kita tidak mudah tersinggung, iri, atau marah. Sebab, orang yang damai dengan dirinya pasti akan damai dengan sesamanya.

Lebih dari itu, dalam kehidupan sosial, orang yang mampu mengendalikan diri akan bersikap lebih bijak. Ia tidak bereaksi secara impulsif, melainkan merespons dengan akal sehat dan kasih. Inilah bentuk kematangan spiritual: bukan diukur dari seberapa banyak kita berbicara tentang kebaikan, tetapi dari seberapa tenang kita menjalani kebaikan itu.

Penutup: Kopi, Kalam, dan Kedamaian

Hidup sejatinya bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tetapi tentang seberapa dalam kita memahami setiap langkah. Ngopi mengajarkan rasa, ngaji menanamkan makna, dan mengendalikan diri memberikan arah. Ketiganya bertemu dalam satu titik: kesadaran bahwa hidup adalah perjalanan menuju kebaikan.

Dalam setiap tegukan kopi, semoga kita belajar menikmati hidup dengan sederhana. Dalam setiap ayat yang kita kaji, semoga hati semakin tunduk. Dan dalam setiap ujian yang datang, semoga kita mampu menahan diri agar tidak kalah oleh hawa nafsu.

Karena sesungguhnya, manusia yang baik bukanlah yang sempurna, melainkan yang terus berlatih menjaga dirinya. Seperti aroma kopi yang menenangkan, semoga hati kita selalu hangat oleh zikir dan lapang oleh kesadaran.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement