Surau.co. Tafsir Surah An-Nisa’ Menurut Jalalain – Surah An-Nisa’ termasuk salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur’an. Isinya banyak membahas persoalan sosial, terutama yang berkaitan dengan perempuan, pernikahan, warisan, dan keadilan ekonomi. Dalam Tafsir al-Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, surah ini diterangkan dengan bahasa padat namun menyentuh akar nilai kemanusiaan.
Sejak ayat pertama, An-Nisa’ membuka pembicaraan tentang asal-usul manusia dan pentingnya menjaga persaudaraan.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya; dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 1)
Menurut Tafsir Jalalain, ayat ini menegaskan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang sama, yakni Adam dan Hawa. Imam al-Mahalli menulis bahwa “penciptaan dari satu jiwa” melambangkan kesetaraan serta saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks masa kini, tafsir ini terasa relevan. Di tengah ketimpangan sosial dan bias gender, Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak bergantung pada jenis kelamin atau status ekonomi, tetapi pada ketakwaan.
Pernikahan: Ikatan Spiritual dan Sosial
Dalam pandangan Tafsir Jalalain, pernikahan bukan sekadar hubungan biologis. Ia merupakan perjanjian yang memuat nilai spiritual dan tanggung jawab sosial. Ayat kedua dan ketiga Surah An-Nisa’ berbicara tentang pengasuhan anak yatim dan etika dalam pernikahan.
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Maka nikahilah wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.” (QS. An-Nisa’: 3)
Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan bahwa ayat ini bukan sekadar izin berpoligami, melainkan penegasan batas moral: keadilan. Menurut Jalalain, “ayat ini membatasi syahwat agar pernikahan tidak berubah menjadi sumber kezaliman.”
Keadilan di sini bukan hanya soal materi, melainkan juga perasaan dan perhatian. Bila seseorang tidak mampu menegakkan keseimbangan itu, Islam menganjurkan cukup satu pasangan. Tafsir ini menegaskan bahwa inti pernikahan bukan jumlah pasangan, tetapi tanggung jawab dan kasih sayang.
Warisan dan Prinsip Keadilan Ilahi
Surah An-Nisa’ juga terkenal karena pembahasan detailnya tentang hukum waris. Jalalain menjelaskan aturan pembagian dengan teliti. Sistem ini tidak sekadar mengatur harta, tetapi menegakkan struktur keadilan yang bersumber langsung dari Allah.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Menurut Imam al-Mahalli, ketentuan ini tidak menunjukkan keunggulan laki-laki atas perempuan. Perbedaan tersebut bersifat fungsional, karena laki-laki memikul tanggung jawab nafkah dan perlindungan keluarga. Dengan begitu, bagian warisnya disesuaikan dengan beban sosial yang ia tanggung.
“Perbedaan bagian bukan karena kehormatan atau kedudukan, tetapi karena tanggung jawab yang berbeda,” tulis al-Mahalli.
Ayat ini membuktikan bahwa hukum Islam menekankan keseimbangan, bukan diskriminasi. Dalam kehidupan modern, semangat ini menumbuhkan kesadaran bahwa ekonomi keluarga harus dibangun atas dasar tanggung jawab bersama, bukan perebutan hak.
Ekonomi Islam dan Perlindungan Kaum Lemah
Nilai luhur lain dalam Tafsir Jalalain ialah pentingnya menjaga harta anak yatim dan menegakkan ekonomi yang bersih.
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh itu dosa besar.” (QS. An-Nisa’: 2)
Jalalain menafsirkan ayat ini dengan penekanan moral yang kuat. Allah melarang segala bentuk penyalahgunaan harta, terutama terhadap kelompok rentan seperti anak yatim dan perempuan. Imam as-Suyuthi menambahkan bahwa ayat ini mencerminkan nilai al-amanah — kejujuran dalam ekonomi — sebagai dasar kesejahteraan sosial Islam.
Pesan ini sangat relevan. Banyak sistem ekonomi modern mengejar pertumbuhan tetapi melupakan keadilan. Islam, melalui tafsir klasik ini, menegaskan bahwa keberkahan ekonomi hanya hadir bila harta dikelola dengan amanah dan berpihak kepada yang lemah.
Harmoni Sosial dan Kesetaraan dalam Ketaatan
Secara keseluruhan, tafsir An-Nisa’ versi Jalalain menampilkan upaya Islam membangun peradaban berbasis kasih sayang dan keadilan. Surah ini menegaskan bahwa keseimbangan antara hak dan kewajiban menjadi kunci harmoni sosial.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi menulis, “Islam memuliakan perempuan bukan dengan kata-kata, melainkan melalui hukum yang menjaga martabatnya.”
Hal ini tampak dalam cara Al-Qur’an mengatur rumah tangga, harta, dan hubungan sosial. Setiap hukum dimaksudkan bukan untuk membatasi perempuan, melainkan melindunginya dari ketidakadilan sosial.
Penutup: Keadilan Sebagai Jiwa Syariat
Tafsir al-Jalalain atas Surah An-Nisa’ memperlihatkan wajah Islam yang lembut sekaligus tegas. Ia menempatkan keadilan sebagai pusat dari setiap hukum — baik dalam cinta, ekonomi, maupun warisan.
Imam al-Mahalli dan Imam as-Suyuthi menunjukkan bahwa syariat bukan hanya sekumpulan aturan, melainkan jalan menuju harmoni sosial.
Dengan memahami pesan ini, umat Islam diharapkan mampu menegakkan nilai kasih, keseimbangan, dan amanah di tengah tantangan modernitas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
