Surau.co. Tafsir Jalalain Surah Al-Baqarah tentang Puasa dan Kiblat – Puasa dalam Islam bukan hanya ibadah menahan lapar dan dahaga, tetapi latihan spiritual untuk menumbuhkan ketakwaan. Dalam Tafsir al-Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, penjelasan tentang ayat-ayat puasa (QS. Al-Baqarah: 183–187) tersusun ringkas, tetapi sarat makna.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Imam al-Mahalli menegaskan bahwa ayat ini menjadi perintah pertama untuk berpuasa di bulan Ramadan. Kata kutibamenandakan kewajiban, bukan sekadar pilihan. Puasa hadir dengan hikmah mendalam: melatih diri agar tumbuh rasa takwa.
Tafsir Jalalain Surah Al-Baqarah tentang Puasa dan Kiblat menguraikan bahwa “takwa” bukan sekadar rasa takut kepada Allah, melainkan kemampuan menahan diri dari hal-hal yang menodai jiwa — baik secara lahir maupun batin. Dalam kehidupan modern, pesan ini terasa relevan. Puasa menjadi sarana melatih diri agar tidak terjebak pada perilaku konsumtif, amarah, dan kesombongan sosial.
Keringanan dalam Ibadah: Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya
Perintah puasa datang bersama kasih sayang. Allah memberi keringanan bagi orang sakit, musafir, dan mereka yang memiliki uzur syar’i.
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka gantilah pada hari-hari lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Menurut Tafsir Jalalain, ketentuan ini menampakkan kelembutan hukum Islam. Imam Suyuthi menjelaskan bahwa Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya. Keringanan ini menjadi bentuk rahmat agar ibadah tetap berjalan tanpa menimbulkan mudarat.
Sebagian orang mungkin merasa puasa berat. Namun Jalalain mengingatkan bahwa di balik rasa lapar tersimpan kedekatan. Dalam setiap detik menahan diri, Allah sedang mengajar manusia tentang empati dan rasa cukup. Imam al-Mahalli menulis, “Allah memudahkan bagi orang yang memiliki uzur untuk berbuka, bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai rahmat.”
Malam Ramadan dan Keindahan Kebersamaan
Salah satu penjelasan menarik dari Jalalain berkaitan dengan kebolehan makan dan berhubungan suami-istri pada malam Ramadan.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Imam Suyuthi menulis bahwa ayat ini menandai penghapusan larangan lama yang berlaku di awal Islam. Dulu, siapa pun yang tertidur setelah berbuka tidak boleh makan hingga malam berikutnya. Namun kemudian Allah memberikan keringanan itu.
Jalalain menekankan bahwa hukum syariat selalu berkembang dalam bingkai rahmat, bukan beban. Kehidupan rumah tangga pun tetap terjaga kehormatannya. Ibadah tidak memutus fitrah manusia, melainkan menatanya agar berjalan selaras dengan kehendak Allah. Dalam konteks modern, ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani.
Pergantian Kiblat: Simbol Kesatuan dan Ketaatan
Selain puasa, Jalalain juga membahas perubahan arah kiblat dalam Surah Al-Baqarah ayat 144. Peristiwa itu bukan sekadar sejarah, melainkan memiliki makna spiritual dan sosial yang dalam.
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Sungguh Kami melihat wajahmu (wahai Muhammad) menengadah ke langit, maka Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai; maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Imam al-Mahalli menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memohon agar arah salat berpindah dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah. Allah mengabulkan doa itu sebagai bentuk pemuliaan bagi beliau dan umat Islam.
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan:
“Pemindahan kiblat menjadi ujian bagi orang beriman, agar tampak siapa yang benar-benar mengikuti Rasul dan siapa yang berpaling.”
Makna ini menggugah: perubahan kiblat bukan semata arah fisik, melainkan simbol ketaatan dan kesatuan umat. Kini, arah kiblat dapat dimaknai sebagai kompas moral — penunjuk hati agar tetap menuju Allah di mana pun manusia berada.
Hati yang Tunduk, Bukan Sekadar Tubuh yang Menghadap
Perubahan arah salat mengajarkan bahwa nilai ibadah tidak hanya terletak pada gerak tubuh, tetapi juga ketundukan hati. Jalalain menulis, “Yang penting bukan ke mana wajah menghadap, tetapi kepada siapa niat diarahkan.”
Pesan ini menegaskan bahwa agama tidak cukup dijalankan secara formal; ia harus disertai ketulusan. Salat yang benar bukan hanya tepat arah kiblatnya, tetapi juga lurus hatinya.
Hikmah dari Dua Hukum Besar
Puasa dan kiblat — dua hukum besar dalam Surah Al-Baqarah — membentuk keseimbangan antara pengendalian diri dan orientasi hidup. Puasa mengajarkan kapan harus menahan, sedangkan kiblat menuntun ke mana hati mesti mengarah.
Dalam keseharian, kedua hukum ini melatih manusia agar disiplin, sadar arah, dan berorientasi pada kebaikan.
Penutup: Jalan Menuju Takwa dan Kesatuan
Tafsir Jalalain memandang hukum-hukum dalam Surah Al-Baqarah bukan sekadar peraturan, tetapi pedoman menuju kemuliaan. Puasa menguatkan jiwa dalam pengendalian, sedangkan perubahan kiblat meneguhkan ketaatan di tengah perubahan zaman.
Setiap ayat menegaskan bahwa agama ini berdiri di atas kasih sayang dan kebijaksanaan. Manusia, sebagaimana Adam dahulu, diberi kehormatan untuk memilih jalan lurus dengan penuh kesadaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
