Surau.co. Tafsir Jalalain Al-Baqarah 30–39 – Ayat 30 hingga 39 dari Surah Al-Baqarah menggambarkan salah satu kisah paling agung dalam Al-Qur’an — kisah penciptaan manusia, ujian iblis, dan turunnya Adam ke bumi. Dalam Tafsir al-Jalalain, karya monumental Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, bagian ini tidak sekadar menceritakan sejarah, melainkan menghadirkan refleksi teologis tentang asal-usul martabat manusia dan hakikat ujian kehidupan.
Penciptaan Manusia dalam Tafsir Jalalain
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”
Menurut Imam al-Mahalli, kata khalīfah berarti “pengganti”, yakni makhluk yang akan mengelola bumi dengan kehendak Allah. Malaikat bertanya bukan karena menentang, tetapi karena ingin memahami hikmah di balik penciptaan makhluk yang memiliki potensi untuk berbuat kerusakan.
Dalam kehidupan modern, pertanyaan malaikat itu seolah mencerminkan keresahan etis manusia: mengapa kebebasan sering berujung pada penyalahgunaan? Dari kisah ini, kita belajar bahwa kebebasan justru menjadi ujian untuk menakar keikhlasan dan kebijaksanaan dalam memilih jalan hidup.
Ilmu sebagai Kehormatan Manusia
Setelah menciptakan Adam, Allah menampakkan keistimewaan manusia di hadapan para malaikat:
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya.”
Dalam Tafsir Jalalain, Imam as-Suyuthi menjelaskan bahwa Allah mengajarkan kepada Adam nama segala sesuatu — dari benda hingga makhluk hidup — sebagai simbol pengetahuan yang tidak dimiliki malaikat. Ilmu inilah tanda kedekatan manusia dengan Tuhannya. Manusia tidak hanya diciptakan untuk hidup, tetapi juga untuk memahami dan memberi makna pada kehidupan.
Kini kita melihat relevansinya semakin nyata. Manusia dapat mencipta teknologi, menulis buku, bahkan menjelajah langit. Namun, kemuliaannya tetap bergantung pada sejauh mana ilmu itu digunakan dengan kesadaran ilahi.
Kejatuhan Iblis dan Lahirnya Kesombongan
Ketika para malaikat bersujud kepada Adam, iblis justru menolak dengan kesombongan:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia enggan dan sombong, dan ia termasuk golongan kafir.”
Imam al-Mahalli menafsirkan bahwa penolakan iblis muncul bukan karena kurangnya pengetahuan, melainkan karena penyakit hati: kesombongan. Ia merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, sementara Adam berasal dari tanah. Jalalain menulis, “Iblis menolak perintah Allah karena menganggap dirinya lebih tinggi derajatnya daripada Adam.”
Pelajaran moral dari kisah ini sangat jelas. Banyak manusia jatuh bukan karena kurangnya ilmu, melainkan karena keangkuhan. Kesombongan menjadi bentuk halus dari kekafiran — menolak kebenaran dengan alasan ego dan logika. Dalam kehidupan modern, sikap itu muncul ketika seseorang merasa paling benar, paling suci, atau paling pintar. Padahal, iblis pun terjatuh karena perasaan serupa.
Ujian di Surga dan Godaan Abadi
Kehidupan Adam dan Hawa di surga menggambarkan masa damai sekaligus ujian pertama. Allah memberi kebebasan untuk menikmati seluruh kenikmatan surga, kecuali satu pohon:
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan Kami berfirman: Hai Adam, diamilah engkau dan istrimu surga ini, dan makanlah dengan nikmat di mana saja kamu berdua suka, tetapi jangan dekati pohon ini agar kamu tidak termasuk orang-orang yang zalim.”
Menurut Imam as-Suyuthi, larangan ini bukan bentuk pembatasan, melainkan ujian ketaatan. Namun, iblis menggoda mereka dengan tipu daya yang halus. Ia membisikkan janji palsu tentang keabadian, hingga Adam dan Hawa tergoda.
Akhirnya, mereka harus turun ke bumi. Tetapi, peristiwa itu bukan tragedi, melainkan awal perjalanan manusia — dari surga menuju bumi untuk belajar tentang ketaatan dan tanggung jawab.
Turunnya Manusia dan Janji Rahmat
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Kami berfirman: Turunlah kamu semua dari surga itu! Maka jika datang petunjuk dari-Ku, siapa pun yang mengikuti petunjuk-Ku, mereka tidak akan takut dan tidak akan bersedih hati.”
Imam al-Mahalli menafsirkan ayat ini sebagai janji kasih sayang Allah kepada manusia. Walau Adam tergelincir dalam kesalahan, Allah tetap menurunkan petunjuk sebagai jalan kembali. Tafsir Jalalain menegaskan bahwa turunnya Adam bukan hukuman, melainkan awal dari tugas suci manusia sebagai khalifah di bumi.
Pesannya sangat dalam: manusia memang bisa salah, tetapi selama ia mau bertobat dan mengikuti petunjuk Allah, ia tidak akan tersesat.
Cermin Kehidupan Manusia Zaman Kini
Kisah dalam Surah Al-Baqarah ayat 30–39 tetap hidup di setiap zaman. Ia bukan sekadar tentang Adam, iblis, atau surga, tetapi tentang diri kita sendiri. Setiap manusia diuji oleh pilihan: antara taat dan durhaka, rendah hati dan sombong.
Kini, iblis tidak lagi tampak di depan mata, tetapi godaannya hadir lewat keserakahan, kesombongan, dan kelalaian. Seperti Adam, kita pun sering tergoda oleh “buah terlarang” — kenikmatan dunia yang singkat namun menurunkan derajat ruhani. Meski begitu, jalan pulang selalu terbuka: dengan ilmu, tobat, dan kerendahan hati.
Penutup: Antara Dosa, Ilmu, dan Rahmat
Tafsir Jalalain Al-Baqarah 30–39 mengajarkan bahwa kisah penciptaan bukan sekadar sejarah, tetapi cermin abadi tentang hubungan manusia dengan Tuhannya.
Adam dimuliakan karena ilmu, iblis jatuh karena kesombongan, dan manusia diselamatkan karena taubat. Dalam tiga hal itulah seluruh dinamika kehidupan berpijak: belajar, diuji, lalu kembali kepada Tuhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
