Opinion
Beranda » Berita » Dampak Pacaran Sebelum Menikah

Dampak Pacaran Sebelum Menikah

Dampak Pacaran Sebelum Menikah
Dampak Pacaran Sebelum Menikah

 

SURAU.CO – Pendahuluan: Pacaran, atau dalam istilah remaja sering disebut “have a relationship”, menjadi fenomena yang tak bisa diabaikan dalam kehidupan remaja masa kini. Banyak yang melihatnya sebagai bagian wajar dari tumbuh-kembang, mencari identitas, atau belajar berinteraksi dengan lawan jenis.

Namun, di sisi lain, pacaran tanpa panduan dan batasan yang jelas bisa membawa dampak negatif yang serius — baik secara psikologis, sosial, maupun spiritual.

Dalam tulisan ini, kita akan mengupas berbagai dampak pacaran, kemudian melihat dari perspektif islami/akidah, dan akhirnya memberi beberapa tips agar tema ini bisa diposisikan secara sehat — baik bagi remaja maupun orang tua/pembimbing.

Dampak Psikologis

a) Fluktuasi emosi dan konflik

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Sebuah studi menunjukkan bahwa ketika remaja menjalin hubungan pacaran yang cukup serius, interaksi harian antara pasangan (termasuk konflik kecil) dapat memengaruhi suasana hati negatif secara signifikan, karena secara kognitif dan emosional remaja belum matang.
Artinya: ketika ada kata-kata yang menyakitkan, salah paham, cemburu, atau keinginan untuk “dibuktikan”, muncul tekanan emosi yang mungkin belum siap dihadapi.

b) Risiko terhadap kesehatan mental

Pacaran yang mengandung unsur kekerasan, penekanan, atau pengabaian bisa memberikan efek jangka panjang. Misalnya, penelitian di Amerika menemukan bahwa remaja yang mengalami kekerasan dalam pacaran (fisik atau psikologis) memiliki risiko lebih tinggi untuk depresi, penggunaan zat, hingga pikiran bunuh diri di usia muda dewasa.

Di Indonesia juga tercatat riset bahwa pacaran berdampak pada kesehatan mental remaja.
Jadi: pacaran bukan hanya soal “senang-senang”, tetapi bisa memunculkan luka emosi, ketergantungan, atau bahkan identitas diri yang rapuh.

c) Gangguan dalam pengaturan hidup sehari-hari

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Remaja yang terlibat pacaran mungkin mengalami gangguan dalam prioritas: seperti waktu belajar, aktivitas bersama teman sebaya, keluarga, hingga perkembangan diri. Ketika hubungan menjadi dominan, banyak aspek lain bisa tertinggal.

Selain itu, lingkungan digital (media sosial, chat) mempercepat komunikasi dan interaksi, namun juga membuka peluang kontrol, kecemburuan, pengawasan berlebih, yang bisa membebani mental.

Dampak Sosial

a) Pengaruh terhadap jaringan pertemanan dan aktivitas sosial

Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang sangat aktif dalam pacaran, terutama yang berganti-ganti pasangan atau terlibat pacaran panjang di usia dini, memiliki kemungkinan lebih besar untuk terlibat dengan teman sebaya yang tidak terstruktur (“unstructured peer contact”) atau aktivitas yang bisa membawa ke risk behaviour (misalnya kenakalan, substansi) dibanding mereka yang tidak terlalu fokus pacaran.
Artinya: hubungan romantis bisa menggusur atau mengganggu jaringan sosial yang sehat seperti persahabatan, kegiatan positif, komunitas.

b) Media sosial dan dinamika kontrol

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dalam era digital, pacaran remaja juga membawa bentuk-bentuk baru risiko sosial: misalnya melalui media sosial pasangan yang terlalu “terbuka” (public display of affection), atau lewat chat dan pesan yang bisa menjadi kontrol atau intimidasi digital. Studi Pew Research menemukan bahwa sebagian remaja melaporkan pasangan mereka memeriksa pesan tanpa izin, meminta password, atau menggunakan teknologi untuk menekan.
Ini membawa dampak pada rasa privasi, kepercayaan, dan bisa memperlemah batasan antara hubungan sehat dan yang berpotensi negatif.

c) Perubahan identitas dan ekspektasi

Saat remaja mulai pacaran, seringkali mereka mulai mendefinisikan diri lewat pasangan: misalnya, “aku pacaran agar dianggap keren”, “pacaran agar punya pasangan”, atau “aku berpasangan untuk merasa diterima”. Ketika identitas pribadi mulai dikaitkan dengan status pacaran, maka ketika hubungan bermasalah atau putus, bisa terjadi krisis identitas.
Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang sudah memiliki identitas “troublemaker” dan teman sebaya bermasalah, maka pacaran memperkuat risiko terlibat kenakalan.

Dampak dari Perspektif Akidah Islam dan Pendidikan

Dalam perspektif Islam, hubungan antara pria dan wanita yang bukan mahram memiliki aturan dan batasan sangat jelas. Pacaran yang tanpa aturan bisa menimbulkan potensi fitnah, tergelincir pada hal-yang-dilarang (ghairu muhrim), atau menumbuhkan syahwat dan kesalahpahaman.

a) Potensi perkara maksiat dan melampaui batas

Ketika remaja memandang pacaran sebagai “hak” atau kewajaran tanpa memahami bahwa dalam Islam ada adab, maka bisa terbuka pintu untuk bersentuhan fisik, bertukar intim, atau berbagi rahasia yang seharusnya tidak. Hal ini berisiko terhadap pelanggaran syariat dan bisa menimbulkan dosa tersembunyi.

b) Menunda kewajiban utama mencari ilmu dan penguatan akidah

Seperti yang Anda sering tulis: pentingnya menuntut ilmu, memperkuat akidah, menjaga adab. Jika pacaran menyita energi, waktu, dan konsentrasi, maka upaya untuk belajar, berdakwah, atau memperkuat jiwa bisa tertunda. Akhirnya terjadi “pengalihan prioritas” dari ikhtiar akherat ke kesibukan dunia.

c) Menyibukkan diri daripada muhasabah

Ketika pacaran menjadi aktivitas utama, seringkali remaja tidaknya menyempatkan introspeksi diri: siapa saya, apa tujuan hidup saya, bagaimana hubungan saya dengan Allah. Padahal dalam Islam, makna ikatan adalah menuju ibadah, menuju sakinah, mawaddah, warahmah — bukan sekadar “pacaranku”.

Dampak Positif (Jika Dengan Batasan dan Kesadaran)

Meskipun banyak dampak negatif, penting diingat bahwa bukan semua pacaran otomatis buruk. Dari penelitian lembaga pemerintah AS: konsep pacaran/romansa pada masa remaja jika dilakukan dalam hubungan sehat dapat membantu “menjadi dewasa dalam hubungan”, belajar komunikasi, belajar empati, belajar memilih pasangan yang baik.
Jadi, aspek positifnya:

Belajar bagaimana berkomunikasi dengan lawan jenis secara sopan dan hormat.

Memahami batasan diri dan orang lain.

Membentuk nilai-nilai bahwa dalam hubungan kedahuluan ada kepercayaan, jujur, saling menghargai.

Menguji kesiapan diri: bukan sekadar “pacar” tapi peran yang lebih serius ke depan (nikah, tanggung jawab).
Bingkai hubunganmu dalam kerangka sehat, terkontrol, dan sesuai syariat.

Rangkuman Dampak Utama

Bagi dampak pacaran ke dalam tiga kategori untuk memudahkan analisis dan evaluasi:

Dampak negatif:

Emosi yang tidak stabil, risiko konflik, kecemburuan.

Gangguan kesehatan mental (depresi, kecemasan, stres).

Prioritas akademik atau sosial terganggu.

Potensi kenakalan atau risiko substansi jika jaringan teman “corrupt”.

Risiko digital: pengawasan, kontrol, tekanan online.

Potensi pelanggaran syariat jika tanpa adab / tanpa batas.

Dampak positif (dengan syarat):

Belajar komunikasi, empati, menghormati.

Membantu perkembangan sosial dalam batas wajar.

Menjadi ajang latihan memilih pasangan dan mengenal diri sendiri lebih baik.

Faktor penentu hasil (positif vs negatif):

Usia dan kematangan emosional remaja.

Lingkungan sosial dan teman sebaya.

Bimbingan orang tua/pembimbing dan adab agama.

Penggunaan media sosial dan teknologi (apakah sehat atau tidak).

Batasan dan tujuan jelas akan membantu mengarahkan hubungan ke arah yang lebih positif dan produktif.

Tips untuk Remaja & Orang Tua/Pembimbing

Untuk remaja:

  1. Kenali dirimu, tetapkan tujuan hidup, dan pegang teguh nilai-nilaimu. Jangan jadikan pacaran sebagai identitas utama.

  2. Sebelum memutuskan menjalin hubungan romantis, bertanyalah: “Apakah saya siap secara mental, tanggungjawab, batasan, dan syariat?”

  3. Tetapkan batasan yang jelas: waktu, komunikasi, fisik, sosial media. Jangan biarkan teknologi mengendalikan hubunganmu (contoh: password sharing, pelacakan lokasi, chat tanpa batas).

  4. Jaga prioritas: sekolah, keluarga, teman, ibadah, komunitas tetap jalan. Hubungan romantis sebaiknya jadi pelengkap, bukan pengganti.

  5. Bila sudah menjalani hubungan, pastikan saling menghormati, jujur, terbuka — dan ketika konflik muncul, jangan buru-buru meledak emosi. Cari pengertian dan solusi, jangan hanya “sedih sendiri”.

Untuk orang tua/pembimbing:

  1. Buka dialog dengan remaja tentang hubungan: jangan hanya larang, tapi ajak bicara mengapa ada batasan, apa risiko, apa alternatif positif.

  2. Jadilah teladan untuk adab dalam relasi: bagaimana Anda berinteraksi dengan pasangan, anak, sosial media — karena remaja belajar banyak dari contoh.

  3. Beri ruang untuk aktivitas positif: ekstrakurikuler, dakwah, komunitas, silaturahmi — agar remaja punya banyak kontak dan tidak terpaku hanya ke “pacaran”.

  4. Pantau penggunaan media sosial dan teknologi: ajarkan privasi, adab, serta kenali tanda-tanda kontrol digital yang tidak sehat.

  5. Jika remaja sudah menjalin hubungan, sekalipun Anda tidak setuju, tetap berikan bimbingan: apakah hubungan itu sehat, adakah rencana ke depan, adakah komitmen syariat.

Penutup

Pacaran bukanlah “haram” dalam semua kondisi, tetapi dalam banyak realitas remaja saat ini—tanpa bimbingan, tanpa batas, tanpa panduan — pacaran membawa banyak risiko. Dari aspek psikologis, sosial, hingga spiritual, dampaknya bisa jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan.

Mereka menjadikan pacaran sebagai kesempatan emas untuk menumbuhkan kesadaran, adab, dan tanggung jawab menuju pernikahan yang bahagia.

Sebagai generasi penerus, remaja dan orang tua perlu menyadari bahwa hubungan terbaik adalah yang membawa kita mendekatkan diri kepada Allah, memperkuat akidah, dan membangun pribadi yang matang, bukan sekadar “pacaran demi pacaran”. Semoga Allah memberi kita hikmah, kekuatan menjaga adab, dan keberanian memilih jalan yang benar. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement