SURAU.CO. Setiap tanggal 10 November, Indonesia mengenang jasa para pahlawan. Upacara dan doa mengiringi peringatan ini, namun, esensi kepahlawanan sendiri melampaui seremoni tahunan. Ia bersemayam dalam sanubari, memandu nurani. Semangat kepahlawanan terus menyala di setiap generasi. Dan tahun 2025 ini menjadi babak baru. Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional. Sepuluh tokoh menerima penghargaan ini. Keputusan itu tertuang dalam Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 tertanggal 6 November 2025.
Daftar pahlawan melintasi latar dan zaman. Ada ulama, jenderal, aktivis buruh, dan diplomat. Pemimpin adat dan pendidik juga masuk dalam daftar. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Dari pesantren hingga ruang diplomasi. Dari sawah pekerja hingga istana pemerintahan. Semua mengajarkan makna perjuangan. Perjuangan tidak selalu berarti perang. Ini adalah keberanian menjaga martabat manusia.
Gus Dur: Pahlawan Toleransi Tanpa Syarat
Nama KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, selalu terukir dalam ingatan bangsa. Ia memimpin dengan hati dan menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Di masanya, dialog antaragama dan budaya terbuka luas, memberi napas bagi toleransi. Kini, ketika mahasiswa menyerukan keberagaman, mungkin mereka tak sadar—benihnya telah lama ditanam Gus Dur. Gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghormatan, melainkan pengingat bahwa kemanusiaan adalah napas panjang perjuangan.
Soeharto: Refleksi Kuasa dan Pelajaran Sejarah
Soeharto, presiden selama tiga dekade, kini tercatat dalam daftar pahlawan nasional. Sosoknya penuh paradoks: di satu sisi, ia menorehkan pembangunan besar; di sisi lain, sejarah mencatat luka yang tak mudah dilupakan. Namun bangsa yang dewasa belajar untuk tidak menutup mata—bukan untuk melupakan, melainkan memahami. Dari Soeharto, kita belajar bahwa kekuasaan selalu membawa dua sisi: kebesaran dan tanggung jawab moral. Kepahlawanan bukan berarti tanpa cela, tetapi keberanian menatap sejarah dengan jujur, menerima cahaya dan bayangannya sekaligus.
Marsinah: Pahlawan Buruh dari Tanah Pabrik
Di antara nama-nama besar, hadir Marsinah, buruh perempuan dari Jawa Timur. Ia gugur demi memperjuangkan hak-hak pekerja, tanpa pangkat dan jabatan—hanya keberanian yang lahir dari hati yang tulus. Suaranya yang sederhana pernah mengguncang keheningan negeri. Gelar pahlawan nasional baginya menjadi penegasan bahwa keadilan sosial bukan milik elite, melainkan hak setiap warga negara. Dari Marsinah, kita belajar bahwa suara kecil pun bisa mengubah bangsa, asalkan diucapkan dengan ketulusan dan keberanian hati.
Mochtar Kusumaatmadja: Diplomasi untuk Martabat Bangsa
Prof. Mochtar Kusumaatmadja adalah diplomat ulung sekaligus ahli hukum internasional. Ia memperjuangkan kepentingan Indonesia di forum dunia dan merumuskan hukum laut yang melindungi perairan Nusantara. Dari sosok Mochtar, kita belajar bahwa perjuangan tidak selalu di medan perang—ia juga hidup di meja perundingan, ruang kuliah, dan lembar ilmu. Mochtar mengajarkan bahwa menjadi intelektual berarti menjaga martabat bangsa dengan nalar, bukan dengan amarah.
Rahma El Yunusiyyah: Pelita Pendidikan Perempuan dari Minang
Dari Sumatera Barat, hadir Hj. Rahmah El Yunusiyyah, pendidik perempuan yang gigih menembus batas zamannya. Ia membuka jalan bagi perempuan untuk belajar, di masa ketika sekolah belum ramah bagi mereka. Rahmah mengubah keterbatasan menjadi peluang, dan dari madrasah yang ia dirikan tumbuh generasi perempuan berilmu dan berdaya. Gelar pahlawan ini adalah salam penghormatan bagi seluruh perempuan Indonesia—pengingat bahwa perjuangan besar selalu dimulai dari keberanian membuka pintu ilmu.
Sarwo Edhie Wibowo: Jenderal dengan Dilema Kekuasaan
Jenderal Sarwo Edhie Wibowo hadir dalam banyak babak penting sejarah bangsa. Di balik ketegasannya, tersimpan dilema antara kekuasaan dan kemanusiaan. Penobatannya sebagai pahlawan menjadi pengingat bahwa peran militer tak berhenti di medan tempur. Ia juga menyangkut adab, tanggung jawab, dan penjagaan nilai-nilai kemanusiaan. Dari sosok Sarwo Edhie, kita diingatkan bahwa kekuatan sejati bukan untuk menindas rakyat, melainkan untuk melindungi dan menegakkan martabat bangsa.
Sultan Muhammad Salahuddin: Pemimpin Berakar Budaya
Dari Nusa Tenggara Barat, hadir Sultan Muhammad Salahuddin, pemimpin yang memadukan adat dan modernitas dengan bijak. Ia mengajarkan bahwa semangat kebangsaan bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan menumbuhkannya dalam wajah baru yang lebih hidup. Penobatannya sebagai pahlawan menegaskan bahwa Indonesia berdiri kokoh di atas kearifan lokal—ribuan nilai yang tumbuh di tiap daerah, menyatu dalam satu jiwa: Nusantara.
Syaikhona Muhammad Kholil: Penanam Adab para Ulama
Syaikhona Kholil dari Bangkalan, Madura, adalah guru para guru. Di antara muridnya terdapat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Namun warisan terbesarnya bukan sekadar ilmu, melainkan adab—tentang bagaimana belajar dengan rendah hati, menghormati guru, dan melayani sesama. Penganugerahan gelar pahlawan untuknya menjadi pesan abadi: bangsa ini bertahan bukan karena senjata, tetapi karena budi pekerti dan didikan adab dari para ulama.
Mr. Rondahaim Saragih: Perjuangan Adat di Panggung Nasional
Dari Sumatra Utara, hadir Rondahaim Saragih, pejuang yang membela hak-hak masyarakat adat di tanah Batak. Ia menegakkan keadilan dari akar komunitasnya sendiri, menunjukkan bahwa kepahlawanan dapat tumbuh dari tanah yang sederhana. Melalui perjuangannya, nilai-nilai adat tetap terjaga, tidak hilang tertelan zaman. Rondahaim mengingatkan kita bahwa suara adat bukan gema masa lalu, melainkan bagian dari masa depan yang berakar pada kebijaksanaan leluhur.
Zainal Abidin Syah: Pahlawan Laut dan Warisan Maritim
Dari Maluku Utara, tampil Zainal Abidin Syah, pemimpin berjiwa pelaut yang memahami makna kemerdekaan dari ombak dan layar. Ia tahu, kemerdekaan Indonesia lahir bukan hanya dari daratan, tetapi juga dari perahu dan para penjaga perairan Nusantara. Namanya menandai kesadaran baru: laut bukan sekadar batas, melainkan halaman depan bangsa. Melalui dirinya, kita diingatkan bahwa jati diri Indonesia berdenyut dari samudra—dari gelombang yang menyatukan pulau-pulau menjadi satu kesatuan bernama Tanah Air.
Dari Jejak Menuju Jalan Pahlawan Nasional
Sepuluh nama ini bukan sekadar daftar. Mereka adalah potret bangsa yang beragam. Ada pemimpin bijak, ulama santun. Ada perempuan pemberani, rakyat kecil teguh.
- Dari Gus Dur, kita belajar mencintai manusia.
- Dari Marsinah, kita belajar menolak diam.
- Dari Soeharto dan Sarwo Edhie, kita belajar tanggung jawab kuasa.
- Dari Rahma El Yunusiyyah dan Syaikhona Kholil, kita menyerap makna ilmu dan adab.
- Dari Mochtar, Rondahaim, Sultan Salahuddin, dan Zainal Abidin Syah, kita mengenal luasnya Indonesia.
Kepahlawanan sejati tak pernah usai. Ia bukan kisah yang berhenti di halaman buku, melainkan perjalanan yang terus menunggu untuk dijalani. Sebab pada akhirnya, pahlawan bukan hanya mereka yang tercatat sejarah, tetapi mereka yang terus menyalakan cahaya, bahkan di tengah zaman yang gelap—mereka yang memilih berbuat baik, meski tak ada yang menyaksikan.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
