SURAU.CO – Dalam tulisan-kajian dakwah, disebutkan bahwa refleksi adalah langkah sadar untuk menilai diri, mengambil pelajaran, dan memperbaiki arah. Ketika kita hanya bergerak tanpa berhenti untuk meninjau, maka kita bisa terseret ke dalam rutinitas kosong—ibadah tanpa rasa; dakwah tanpa empati; aktivitas tanpa makna.
Sebagaimana dalam dakwah modern disebutkan: “dakwah bukan hanya sekadar berbicara, tapi mendengar dan menyentuh hati.” Maka refleksi membantu kita menimbang: apakah suara dakwah kita menyentuh, atau hanya gema tanpa gema makna?
Hati Sebagai Ladang Amanah
Allah ta’âlâ berfirman:
> «إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِّلْمُؤْمِنِينَ» (QS Âli ‘Imrân 3:190)
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda bagi orang yang beriman.
Tanda-tanda itu bukan hanya fenomena alam, melainkan juga suara hati yang bergetar ketika melihat keindahan, kesulitan, atau ujian. Hati kita adalah ladang yang harus dijaga — dari kelalaian, dari rutinitas yang mematikan rasa. Refleksi mengajak kita masuk ke dalam ladang hati itu, mengolahnya, menyuburkannya dengan rasa syukur, keikhlasan, dan ketakwaan.
Antara Dakwah dan Kehidupan Sehari-hari
Sering kita memisahkan dakwah dengan kehidupan sehari-hari: dakwah di mimbar, kehidupan di rumah/kerja. Padahal hakikat dakwah adalah menciptakan transformasi diri dan masyarakat — bukan sekadar menceramahi. Sebagaimana artikel kajian menegaskan bahwa dakwah yang “membumi” dan “mendengarkan” lebih efektif daripada yang hanya formal.
Maka dalam refleksi ini, kita tanya diri:
Apakah dakwah saya hanya ceramah, atau juga penghayatan?
Dan Apakah kehidupan saya sehari-hari mencerminkan nilai-nilai yang saya sampaikan?
Apakah saya mendengarkan saudara saya, atau hanya berbicara kepada mereka?
Jika jawaban kita masih lemah, maka saatnya kita berhenti sejenak, tarik nafas, dan mulai dari hati.
Tantangan Zaman dan Keberlanjutan Dakwah
Zaman bergerak cepat; tantangan berubah. Dalam kajian terbaru di Indonesia disebutkan bahwa dakwah di era media sosial, budaya materialistik, serta pluralitas memerlukan pendekatan yang relevan dan ilmiah.
Artinya: kita tak bisa hanya bertahan dengan metode lama—tetapi juga tidak boleh terperangkap pada perubahan sehingga mengabaikan substansi. Refleksi mengajak kita menyeimbangkan: antara nilai abadi (tauhid, akhlak, dakwah) dan cara yang relevan (metode, media, bahasa). Sebagaimana dikatakan:
“Substansi dakwah tetap sama — menyentuh hati manusia.”
Langkah Praktis Menuju Refleksi Produktif
Berikut beberapa langkah yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari refleksi harian maupun mingguan:
Luangkan waktu hening — walau hanya 5-10 menit sehari. Diam, mohon ampunan, evaluasi hari.
Catat tiga hal baik dan tiga hal yang perlu diperbaiki. Syukur dan introspeksi.
Tinjau kembali dakwah / aktivitas Anda: apakah ada kesesuaian antara niat, ucapan, dan perbuatan?
Perbarui niat: setiap aktivitas—belajar, bekerja, berdakwah—jadikan untuk Allah ta’âlâ.
Hubungkan dengan orang lain: dakwah bukan insaniyah sendiri. Dengarkan, rangkul, ajak.
Berdoalah agar Allah memperkuat hati Anda dan jamaah Anda.
Kisah Inspiratif: Menjadi Teladan Hati
Bayangkan seorang dai yang tidak hanya berkhotbah di mimbar, tetapi setelah itu berjalan ke pasar, membeli barang dagangan kecil dari pedagang, membantu tetangga yang susah, menyapa dengan senyum. Dakwahnya menjadi “hari-hari kecil” yang tersebar. Itulah dakwah yang menyentuh hati dan masyarakat.
Seumpama yang disebutkan dalam yang sederhana dari artikel: “kisah pedagang jujur di pasar … anak muda yang menjaga sopan santun meski hidup di tengah deras arus digitalisasi.”
Refleksi Akhir dan Panggilan untuk Berubah
Sahabat, hidup ini sangat singkat. Setiap detik kita berlalu, tak akan kembali. Apabila kita hanya lewat tanpa makna, maka kerugian yang besar akan menanti kita di akhirat kelak. Allah ta’âlâ berfirman:
> «وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ» (QS Al-Ankabût 29:64)
Artinya: Dan sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda-gurau.
Tetapi bagi orang-yang beriman dan beramal shalih, dunia adalah ladang. Refleksi adalah kuncinya: agar ladang itu tidak menjadi tandus, agar bibit iman tumbuh, agar buah akhlak bermunculan.
Mari kita berkomitmen hari ini:
Tidak hanya jadi pendengar dakwah, tetapi juga pelaku perubahan.
Juga Tidak hanya berdakwah di depan mikrofon, tetapi juga berdakwah melalui kehidupan kita.
Tidak hanya mengejar angka/kiprah, tetapi meneguhkan kalbu: “Apakah Allah ta’âlâ ridha dengan saya?”. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
