SURAU.CO– Imam Al-Ghazali, dalam kitab monumental beliau, Bidayatul Hidayah, menyatakan setiap Muslim harus bersabar dan tahan uji dalam melaksanakan amaliah sesuai yang telah terencanakan. Apabila perasaan malas timbul dalam hati, hendaklah kita mengambil pelajaran dari seseorang yang sedang sakit. Dengan sabar dan tahan uji, ia menelan pil yang sangat pahit karena punya harapan agar cepat sembuh. Demikian pula ibadah. Kita harus tahan uji dan sabar, karena mempunyai harapan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Umur Tersedia Relatif Lebih Pendek Dengan Kehidupan Akhirat
Kita hendaklah selalu berfikir dan merenungkan, bahwa umur yang tersedia relatif sangat pendek dan sedikit bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Sekalipun seseorang berusia umur seratus tahun misalnya, itu pun masih sedikit bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang serba abadi. Kita hendaklah membayangkan dan memikirkan pula kehinaan dan kepayahan seseorang yang memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Kita bekerja selama sebulan atau setahun dengan harapan bisa menikmati hasilnya selama dua puluh tahun. Lalu, bagaimana halnya dengan seseorang yang malas beribadah? Padahal ia menginginkan kebahagiaan yang kekal di akhirat. Perbandingan ini diharapkan dapat menggugah kesadaran setiap orang yang menamakan dirinya sebagai Muslim untuk memperbanyak pengabdian kepada Allah, mencapai kebahagiaan abadi di atas ridha-Nya. Lakukanlah ibadah dengan tekun tanpa mengesampingkan pekerjaan yang menjadi sarana penguatnya.
Menghindari Diri dari Lamunan
Setiap Muslim harus menghindarkan diri dari lamunan yang tiada arti, yang mengakibatkan kemalasan melakukan amal kebajikan. Jangan sekali-kali mempunyai keyakinan bahwa umurnya masih panjang, sehingga segala sesuatu yang dapat kita lakukan nanti dapat kita tunda sampai dengan waktu tertentu. Dalam mengarungi hidup dan kehidupan, penuhilah dengan keyakinan bahwa ajal setiap saat siap menghampiri, sehingga kita lebih rajin melakukan amal shalih. Mempersiapkanlah bekal yang akan kita gunakan untuk menjemput datangnya ajal. Yakni, tingkatkanlah pengabdian kepada Allah.
Semboyan “Hari ini aku harus memperbanyak pengabdian kepada Allah, sebab mungkin nanti malam ajal menghampiri,”
setiap saat harus kita kumandangkan dalam hati setiap Muslim. Ketika malam tiba, seharusnya kita mempunyai perasaan dan kesadaran bahwa besok pagi barangkali ajal menghampiri. Cara ini akan lebih mempermudah peningkatan ibadah, bahkan terasa ringan untuk beramal kebajikan. Kematian tidak akan datang pada umur maupun waktu tertentu, tapi kapan saja bisa terjadi. Ia datang secara tiba-tiba dan menimpa siapa saja. Tidak pandang muda maupun tua, miskin maupun kaya, rakyat jelata maupun penguasa. Karenanya, setiap Muslim harus selalu mempersiapkan diri dalam segala keadaan, kapan saja dan di mana saja. Cara ini paling tepat untuk menyambut datangnya kematian, sehingga kita dapat selamat dari bahaya keberakhiran yang jelek (su’ul khatimah).
Persiapan Diri Menyambut Ajal
Mempersiapkan diri—untuk menyambut datangnya ajal—lebih baik daripada menyambut kehidupan dunia yang diliputi kebahagiaan semu, kebahagiaan lahiriah belaka. Setiap Muslim mengetahui bahwa kebahagiaan dunia bersifat sangat sementara, sedangkan kehidupan akhirat abadi sepanjang masa. Barangkali hidup dunia tinggal sehari, bahkan mungkin tinggal satu menit. Rasa bahwa ajal akan menghampiri hendaklah kita tanamkan dalam hati, sehingga setiap saat timbul tenggelam di lubuk sanubari. Ini berarti memberikan komando untuk selalu melakukan pengabdian kepada Allah SWT.
Hawa nafsu memang menjadi musuh utama bagi orang yang hendak tekun melakukan ibadah kepada Allah. Karenanya, kita harus dapat memaksa diri dan memerangi kehendak hawa nafsu, yakni dengan bersabar dan tahan uji di dalam melaksanakan peribadatan dan pengabdian kepada Allah. Lakukanlah ibadah sedikit demi sedikit, tetapi kontinyu. Dengan demikian, hawa nafsu seseorang akan lebih condong kepada kebiasaan tersebut, sehingga dengan mudah pula melakukan ibadah kepada Tuhan, sekalipun ibadah tersebut terasa berat.
Kalau seseorang telah mampu menjadikan ibadah sebagai kebiasaan dengan baik selama lima puluh tahun, misalnya, tentu suatu saat hawa nafsu akan memberontak, tidak mau lagi berjalan ke arah kebaikan. Tetapi, kalau nafsu itu terus menerus kita latih melakukan kebajikan, tentu dengan sendirinya dapat teratasi. Sehingga, saat ajal menghampiri diri, kita dapat mendapatkan kebahagiaan. Kalau seseorang mendapatkan kebahagiaan dikala mendapati ajal, maka berarti mendapatkan kebahagiaan untuk sepanjang masa. Kebahagiaan yang luar biasa, karena maut menghampirinya dengan mudah.
Kesusahan yang Datang Saat Ajal Datang
Sebaliknya, manakala manusia membiasakan diri memperturutkan kemauan hawa nafsu, merasa malas melakukan ibadah kepada Allah, maka sudah tentu kesusahan yang sangat akan datang padanya saat ajal menghampiri diri. Seorang penyair berkata:
“Di waktu pagi kamu semua memuji perjalanan malam, dan ketika mati kabar akan datang padamu.”
Ketika ajal telah menemui seseorang, dia akan dapat membuktikan segala informasi tentang yang ghaib, yang terdapat di alam akhirat. Sesuatu yang ghaib itu dapat mereka yakini secara pasti. Keridhaan Allah pun dapat terbuktikan dan semuanya pasti akan menjadi kenyataan.(St.Diyar)
Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
