Khazanah
Beranda » Berita » Bidayatul Hidayah: Dua Pilar Shalat Menurut Al-Ghazali

Bidayatul Hidayah: Dua Pilar Shalat Menurut Al-Ghazali

Ilustrasi seorang hamba yang bersujud pada pencipta.
Ilustrasi seorang hamba yang bersujud pada pencipta.

SURAU.COImam Al-Ghazali, dalam kitab monumental beliau, Bidayatul Hidayah, menyatakan setelah  kita menghilangkan hadas dan membersihkan segala kotoran yang menempel di badan, pakaian, serta tempat shalat, dan telah menutup aurat (bagi laki-laki, batas aurat dari pusat sampai lutut; bagi perempuan, seluruh badan kecuali telapak tangan dan muka). Maka sepatutnya kita berdiri menghadap kiblat dan laksanakanlah shalat.

Ketika  berdiri tegak dengan kaki sedikit terbuka (tidak terlalu rapat),  Imam Al-Ghazali mengajak kita membaca surat An-Naas. Hal ini demi memohon perlindungan Allah dari segala bujuk rayu setan agar bisa khusyuk dalam shalat. Mulai saat ini, kita berusaha steril  dari segala khayalan dan pikiran yang tidak perlu. Kita perlu memusatkan perhatian untuk shalat dengan penuh kekhusyu’an.  Karena menurut Imam Al-Ghazali  bahwa saat ini kita sedang berdialog langsung dengan Tuhan.

Allah Maha Mengetahui yang Hamba Rahasiakan

Imam Al-Ghazali menyampaikan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang seseorang rahasiakan. Dan Allah melihat apa yang menjadi renungan hatinya. Allah memberikan besar kecilnya pahala sesuai dengan kekhusyu’an seseorang dalam beribadah. Demikian pula, saat shalat, Allah menilai dari segi kekhusyu’an, ketawadlu’an, dan kesopanan dalam pelaksanaannya.

Saat shalat, mam Al-Ghazali  meminta kita berfokus seakan-akanmelihat dan berhadapan dengan Allah. Meskipun kenyataannya kita tidak dapat melihat-Nya dengan mata kepala. Kita  harus beriktikad bahwa Allah melihat dan menyaksikan apa saja yang Anda perbuat dalam ibadah itu.

Jika hati tidak bisa khusyuk dan anggota badan tidak bisa tenang karena sedikitnya makrifah kepada Allah, maka mam Al-Ghazali  meminta kita sadar  bahwa pribadi yang demikian adalah hina. Sadarilah bahwa diri kita  hanya seorang yang hina, sehingga Anda mau meneladani orang yang shalih. Orang yang beribadah harus memiliki perasaan bahwa orang-orang shalih di antara mereka selalu mengintai ibadah yang kita  lakukan. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam melaksanakan ibadah tersebut, supaya orang-orang shalih yang melihatnya tidak menertawakan kita. Jika kita  menanamkan perasaan yang demikian dalam hati dan membiasakannya dalam shalat, maka kekhusyu’an, ketawadlu’an hati, dan ketenangan anggota badan akan datang dengan sendirinya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam segala aktivitas, kita hendaknya selalu berkonsentrasi dan mawas diri. Kembalikanlah segalanya kepada diri pribadi. Jangan sesekali menuduh ataupun menyalahkan pihak lain. Katakanlah selalu kepada nafsu:

“Wahai nafsu yang jelek, tidakkah engkau merasa malu kepada Dzat yang telah menciptakanmu dan yang kamu pertuan? Mengapa kalau hanya dilihat sesama makhluk yang hina yang tidak akan mendatangkan bahaya dan tidak pula mendatangkan manfaat padamu, justru kamu khusyuk, tenang, dan baik dalam shalat? Padahal dalam kenyataannya, kamu tahu pasti bahwa Allah selalu melihat dan mengawasimu. Lalu mengapa kamu tidak khusyuk dan tawadlu’ kepada-Nya? Apakah kamu beranggapan bahwa Allah lebih hina daripada makhluk yang hina? Kalau begitu, wahai nafsu, kamu terlalu tolol dan terlalu besar khianatmu terhadap dirimu sendiri.”

Berupayalah agar ibadah dapat khusyuk, tidak terkalahkan oleh pengaruh hawa nafsu. Di antara cara mengobatinya adalah dengan mengingatkan nafsu seperti yang telah dijelaskan di atas, atau dengan cara lain yang tepat. Dengan cara demikian, mungkin hati akan tunduk dan mau melakukan ibadah dengan khusyuk. Ibadah shalat tidak akan sempurna tanpa adanya dasar pengertian dan pemikiran yang menuju ke arah kesempurnaan. Anda hendaknya mengistighfari shalat yang Anda lakukan dalam keadaan pikiran kosong, kurang konsentrasi, dan kurang khusyuk, serta menebusnya dengan membayar kifarat. Shalat yang demikian masih memiliki cela dan cacat, yaitu kurang khusyuk.

Khusyu’ dan Tawadlu Sebagai Fondasi

Perlu diingat,  mam Al-Ghazali  menyatakan bahwa yang menjadi fondasi dalam shalat adalah kekhusyu’an dan ketawadlu’an dalam hati. Bagi yang sedang shalat, hendaklah memikirkan—sekaligus merenungkan—maksud dan arti bacaan tersebut.

Hasan Bashri Rahimahullah mengatakan: “Orang yang shalat tanpa disertai kekhusyu’an dan ketawadlu’an, maka pantaslah Allah SWT menyiksanya.” Rasulullah SAW. pernah bersabda:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Sesungguhnya, seorang hamba yang shalat, tidak akan mendapat pahala seperenam ataupun sepersepuluhnya. Adapun yang dicatat sebagai amal kebajikan yang mendapat pahala adalah ingatnya pada Allah ketika melaksanakan shalat itu.”

(St.Diyar)

Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement