Surau.co. Di zaman yang serba terlihat, kebaikan kadang berubah menjadi pertunjukan. Orang berlomba menjadi “baik” dengan cara yang justru menimbulkan drama: ingin diakui, ingin disorot, bahkan ingin dipuji karena kebaikan yang ia lakukan. Padahal, menjadi orang baik sejatinya bukan tentang bagaimana orang lain melihat kita, tetapi bagaimana hati kita melihat Tuhan.
Sering kali, niat yang semula tulus berubah menjadi pencitraan halus. Kita ingin dikenal dermawan, padahal diam-diam masih berharap pujian. Kita ingin tampil rendah hati, padahal diam-diam ingin dihormati. Maka, belajar jadi orang baik tanpa drama adalah perjalanan batin yang menuntut kejujuran, bukan sekadar kebaikan lahiriah.
Al-Qur’an mengingatkan tentang keikhlasan amal:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Ayat ini mengajarkan bahwa inti kebaikan bukanlah pengakuan sosial, melainkan kemurnian niat. Orang baik tidak membutuhkan panggung, sebab Tuhan selalu menjadi saksinya.
Drama dalam Kebaikan: Saat Niat Terselip di Antara Ego
Menjadi orang baik memang sulit, apalagi jika setiap kebaikan bisa dilihat, diabadikan, dan dinilai publik. Kita hidup di masa di mana menolong orang pun bisa menjadi konten. Ada yang berbagi sedekah dengan niat tulus, tapi ada pula yang tanpa sadar menjadikan sedekah sebagai alat pembuktian sosial.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn mengingatkan tentang bahaya ketidaktulusan:
مَنْ عَمِلَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَضَاعَ تَعَبَهُ، وَضَيَّعَ أَجْرَهُ
“Barang siapa beramal bukan karena Allah, maka ia telah menyia-nyiakan usahanya dan menghilangkan pahalanya.”
Kebaikan yang disertai drama akan kehilangan maknanya. Sebab, yang paling bernilai di sisi Allah bukan besar kecilnya amal, tapi ketulusan hati di baliknya. Sering kali, orang yang diam-diam menolong lebih tenang hidupnya daripada yang sibuk memamerkan amalnya.
Belajar jadi orang baik tanpa drama berarti belajar melepaskan ego. Tidak semua hal harus diumumkan, tidak semua niat harus dipahami orang lain. Terkadang, cukup Tuhan yang tahu, karena Dia-lah tujuan akhir dari segala kebaikan.
Ikhlas: Ruh dari Setiap Kebaikan
Kebaikan tanpa keikhlasan ibarat tubuh tanpa jiwa. Ia tampak hidup, namun sebenarnya hampa. Orang yang berbuat baik karena ingin dipuji akan cepat lelah, sebab energinya tergantung pada penilaian orang lain. Tapi orang yang ikhlas berbuat baik karena Allah akan selalu tenang, meski tidak ada yang melihat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi fondasi spiritual bagi siapa pun yang ingin menjadi baik tanpa drama. Kebaikan sejati bukan tentang seberapa banyak amal yang dilakukan, tetapi seberapa tulus ia dilakukan.
Dalam kehidupan sehari-hari, keikhlasan itu diuji di tempat-tempat kecil: saat kita membantu tanpa berharap ucapan terima kasih, saat kita memaafkan meski tidak dianggap, atau ketika kita memilih diam agar tidak memperpanjang konflik. Orang baik yang sejati tahu kapan harus berbuat dan kapan harus berhenti berbicara.
Diam yang Baik Lebih Berharga dari Ramai yang Palsu
Kadang, kebaikan yang paling luhur justru muncul dalam diam. Tidak semua perjuangan perlu diketahui orang lain. Tidak semua luka perlu diceritakan agar orang memahami pengorbanan kita. Ada nilai yang hanya tumbuh ketika seseorang rela berbuat tanpa sorotan.
Imam al-Māwardī menerangkan:
الصَّمْتُ زِينَةُ الْعَالِمِ، وَسِتْرُ الْجَاهِلِ
“Diam adalah perhiasan bagi orang berilmu, dan penutup bagi orang bodoh.”
Diam dalam kebaikan bukan berarti pasif, melainkan bentuk kedewasaan rohani. Ia tahu bahwa Tuhan lebih suka amal yang tersembunyi daripada yang disiarkan untuk mendapat simpati.
Dalam dunia yang gaduh oleh pencitraan moral, belajar diam menjadi keberanian tersendiri. Diam bukan berarti tidak peduli, tapi menolak terjebak dalam drama sosial yang hanya memperbesar ego. Dengan diam, seseorang menjaga kemurnian amalnya agar tetap bernilai di hadapan Allah.
Orang Baik Tidak Selalu Disukai
Salah satu ujian terbesar dalam menjadi orang baik tanpa drama adalah menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan menyukai kita. Ada kalanya niat baik disalahpahami, ada kalanya kejujuran disangka sombong, bahkan kebaikan dibalas dengan sinis.
Namun, bukankah itu bagian dari ujian hati? Allah berfirman:
هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلَّا الإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman [55]: 60)
Ayat ini bukan jaminan bahwa setiap kebaikan akan langsung dibalas manusia, melainkan janji bahwa Allah tidak akan melupakan amal sekecil apa pun. Maka, orang baik tidak perlu menunggu balasan duniawi, karena balasan sejati datang dari Tuhan.
Menjadi orang baik tanpa drama berarti tetap berbuat meski tak disambut, tetap menolong meski tak dihargai, dan tetap tersenyum meski hati disalahpahami. Sebab, yang ia kejar bukan tepuk tangan, melainkan ridha.
Kebaikan Tidak Perlu Diumumkan
Kita hidup di zaman di mana kata “berbagi” sering disertai kamera. Padahal, dalam pandangan Islam, amal yang disembunyikan justru lebih bernilai. Allah berfirman:
إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. Tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang fakir, maka itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 271)
Kebaikan yang tersembunyi memiliki keindahan yang tidak bisa ditandingi oleh panggung mana pun. Sebab di sanalah letak rahasia hubungan antara hamba dan Tuhannya. Hanya Allah yang tahu, hanya Dia yang menilai.
Maka, orang baik yang sejati tidak sibuk menjelaskan niatnya. Ia cukup berjalan dengan tenang, karena yakin bahwa kebaikan akan menemukan jalannya sendiri. Tanpa publikasi, tanpa pembelaan, tanpa drama.
Menjadi Baik Itu Proses, Bukan Gelar
Sering kali, kita terburu-buru menyebut seseorang “baik” atau “buruk,” seolah kebaikan adalah label tetap. Padahal, menjadi baik adalah proses seumur hidup. Hari ini mungkin kita kuat menahan amarah, besok bisa jadi kita goyah. Hari ini kita ikhlas, besok bisa saja tergoda oleh pujian.
Imam al-Māwardī menegaskan pentingnya murāqabah, yaitu kesadaran diri di hadapan Allah:
مَنْ رَاقَبَ اللَّهَ فِي سِرِّهِ أَصْلَحَ اللَّهُ عَلَانِيَتَهُ
“Barang siapa mengawasi dirinya di hadapan Allah dalam kesendirian, maka Allah akan memperbaiki keadaannya di hadapan manusia.”
Artinya, orang baik bukan yang sempurna di depan publik, tetapi yang terus memperbaiki diri meski tak ada yang melihat. Ia sadar bahwa kebaikan adalah latihan jiwa, bukan pencapaian akhir.
Belajar jadi orang baik tanpa drama berarti memahami bahwa setiap manusia sedang berproses. Tidak perlu saling menghakimi, cukup saling mengingatkan dan memperbaiki diri bersama.
Penutup: Jadi Baik Saja, Tak Perlu Diperlihatkan
Menjadi orang baik tidak perlu menunggu waktu, panggung, atau penilaian siapa pun. Cukup mulai dari hal kecil yang bisa kita lakukan hari ini. Tersenyum, menahan emosi, memaafkan, atau berbuat tanpa ingin dikenal.
Kebaikan yang tulus tidak butuh sorotan, karena sinarnya datang dari dalam hati. Ia seperti lilin kecil yang menerangi tanpa berisik. Dalam setiap amal yang sederhana, ada keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang ikhlas.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad)
Maka, jangan sibuk menampilkan kebaikan, tapi sibuklah menjadi baik. Karena ketika kebaikan dilakukan dengan tulus, ia akan berbicara sendiri—tanpa narasi, tanpa drama, tanpa perlu dipromosikan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
