Khazanah
Beranda » Berita » Kecil Hati? Mungkin Karena Kurang Bersyukur

Kecil Hati? Mungkin Karena Kurang Bersyukur

Seseorang duduk merenung di alam terbuka dengan hati lapang karena bersyukur.
Seorang laki-laki atau perempuan duduk di tepi bukit saat matahari terbit, tangannya di dada, wajahnya tenang. Di sekelilingnya terlihat pemandangan luas dengan cahaya lembut yang menembus awan. Warna lembut, nuansa syukur dan ketenangan.

Surau.co. Ada kalanya hati terasa sempit padahal hidup tidak benar-benar kekurangan. Pekerjaan ada, keluarga cukup, bahkan banyak hal yang dulu kita panjatkan dalam doa kini sudah menjadi nyata. Namun entah mengapa, hati justru terasa kecil—mudah kecewa, iri, dan tidak tenang.

Fenomena ini sering kali bukan karena kurangnya nikmat, melainkan karena kurangnya rasa syukur. Hati yang kurang bersyukur ibarat gelas kecil yang dipenuhi air keruh—tak sanggup menampung kebahagiaan karena lebih sibuk melihat kekurangan. Padahal, Al-Qur’an telah menegaskan hubungan erat antara syukur dan kelapangan hati:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim [14]: 7)

Syukur bukan sekadar mengucap “Alhamdulillah,” melainkan cara pandang hidup. Orang yang bersyukur tidak memandang kekurangan sebagai beban, tetapi sebagai ruang untuk belajar dan bertumbuh. Karena itu, rasa kecil hati sering kali bukan disebabkan oleh keadaan luar, melainkan oleh cara pandang batin yang sempit terhadap karunia Tuhan.

Syukur dan Ketenangan Hati Menurut Imam al-Māwardī

Dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam al-Māwardī menulis tentang keutamaan syukur sebagai sumber kebahagiaan batin. Beliau menegaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

الشُّكْرُ يُوجِبُ الْمَزِيدَ، وَيَدْفَعُ الْوَعِيدَ، وَيُبْقِي النِّعْمَةَ، وَيَجْلِبُ الرَّاحَةَ
“Syukur itu mendatangkan tambahan nikmat, menolak ancaman (azab), menjaga keberkahan nikmat, dan mendatangkan ketenangan.”

Imam al-Māwardī melihat syukur bukan sekadar kewajiban moral, tapi juga strategi spiritual untuk menjaga kesehatan jiwa. Seseorang yang berlatih bersyukur akan lebih stabil emosinya, lebih tenang menghadapi ujian, dan tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan hidup.

Ketenangan hati tidak datang dari banyaknya harta atau prestasi, melainkan dari kemampuan menerima keadaan dengan rasa cukup. Dalam bahasa Arab, rasa cukup disebut qanā‘ah — dan inilah inti dari syukur yang sejati. Orang yang qanā‘ah tidak berhenti berusaha, tetapi hatinya tidak gundah bila hasilnya tidak sesuai harapan. Ia tahu bahwa segala sesuatu sudah ditakar oleh hikmah Allah.

Kecil Hati, Cermin dari Kurangnya Qanā‘ah

Rasa kecil hati sering muncul ketika seseorang membandingkan hidupnya dengan orang lain. Di era media sosial, hal itu semakin mudah. Kita melihat kesuksesan orang lain lalu merasa diri tak berarti. Padahal, perbandingan seperti ini hanyalah ilusi. Yang tampak di layar tidak selalu seindah kenyataan.

Dalam banyak hadis, Rasulullah ﷺ mengingatkan agar tidak memandang orang yang lebih tinggi dalam hal dunia, tetapi melihat mereka yang lebih rendah agar kita mudah bersyukur.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam urusan dunia), dan jangan melihat kepada yang di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kecil hati bukan karena sedikitnya nikmat, tetapi karena cara pandang yang salah terhadap nikmat. Ketika hati terbiasa melihat ke atas, rasa cukup perlahan hilang, dan yang tersisa hanyalah penyesalan serta perasaan tidak berharga.

Syukur sebagai Latihan Jiwa

Syukur tidak muncul begitu saja; ia perlu dilatih. Layaknya otot, jiwa juga perlu dilatih agar kuat menahan gelombang kehidupan. Latihan syukur bisa dimulai dari hal kecil: mengingat kebaikan yang sudah diterima hari ini, menuliskannya, atau mengucapkannya dengan kesadaran penuh.

Setiap kali seseorang mengingat nikmat Allah, ia sedang mengundang ketenangan masuk ke dalam jiwanya. Itulah sebabnya syukur sering diibaratkan sebagai “penjaga pintu kebahagiaan.” Tanpa syukur, hati mudah diserang kecemasan, iri, dan rasa tidak cukup.

Dalam pandangan psikologi modern pun, kebiasaan bersyukur terbukti meningkatkan kesejahteraan mental. Orang yang rajin bersyukur cenderung lebih bahagia, lebih sabar, dan lebih optimis dalam menghadapi masalah. Maka, nilai syukur yang diajarkan Islam ternyata sejalan dengan temuan ilmiah: syukur menyehatkan jiwa.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Menemukan Keindahan di Balik Kekurangan

Kita sering lupa bahwa kekurangan adalah bagian dari kesempurnaan ciptaan Allah. Tidak ada manusia yang memiliki segalanya, karena dunia ini memang tempat ujian, bukan surga. Kecil hati muncul ketika seseorang menolak kenyataan bahwa hidup memang dirancang untuk tidak sempurna.

Padahal, dalam kekuranganlah manusia belajar mendekat kepada Allah. Dalam kesulitan, doa menjadi lebih tulus; dalam kegagalan, tawakal menjadi lebih kuat. Karena itu, syukur bukan berarti menolak kesedihan, tetapi mampu menemukan keindahan di baliknya.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]: 5–6)

Ayat ini bukan janji bahwa kesulitan akan hilang, tetapi bahwa di balik kesulitan pasti ada peluang dan pelajaran. Orang yang bersyukur mampu melihat cahaya kecil di tengah gelapnya ujian.

Mengubah Kecil Hati Menjadi Lapang Dada

Langkah pertama mengobati rasa kecil hati adalah menyadari bahwa hati bisa dilatih untuk lapang. Mulailah dengan mengingat nikmat yang paling sederhana—napas yang masih berhembus, iman yang masih tertanam, dan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Imam al-Māwardī dalam karyanya menegaskan bahwa syukur sejati adalah gabungan antara pengakuan hati, ucapan lisan, dan amal perbuatan. Jika seseorang hanya berucap “Alhamdulillah” tanpa menunjukkan dalam perbuatan, syukurnya belum sempurna.

الشُّكْرُ ثَلَاثَةٌ: اعْتِرَافٌ بِالْقَلْبِ، وَنُطْقٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ
“Syukur itu ada tiga: pengakuan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.”

Dengan demikian, seseorang bisa melatih diri untuk bersyukur melalui tindakan nyata: membantu sesama, menjaga amanah, atau sekadar tersenyum kepada orang lain. Dari tindakan-tindakan kecil itu, hati akan terbiasa melihat nikmat daripada kekurangan.

Syukur: Jalan Menuju Hati yang Tenang

Syukur bukan hanya ekspresi spiritual, tetapi juga fondasi sosial dan moral. Masyarakat yang terbiasa bersyukur akan lebih damai, lebih rendah hati, dan saling menghargai. Sebaliknya, masyarakat yang dipenuhi keluh kesah dan iri akan mudah terpecah oleh rasa tidak puas.

Rasa kecil hati yang dialami seseorang, jika tidak disembuhkan, bisa berkembang menjadi sikap pesimis bahkan sinis terhadap hidup. Maka, mengajarkan syukur sejak dini adalah pendidikan jiwa yang paling penting. Ia bukan hanya membentuk pribadi religius, tapi juga manusia yang kuat secara batin.

Dalam setiap sujud, sebenarnya kita diajak untuk mengingat betapa kecilnya diri di hadapan Yang Maha Besar, namun justru di situlah letak kebesaran hati: ketika kita mampu tunduk, bersyukur, dan menerima.

Penutup: Hati yang Lapang adalah Hadiah dari Syukur

Hidup tidak selalu mudah, dan hati manusia tidak selalu tenang. Namun, setiap kali rasa kecil hati datang, itu pertanda bahwa kita perlu kembali belajar bersyukur. Syukur adalah seni melihat nikmat dalam keterbatasan, menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan, dan menikmati hidup tanpa harus memiliki segalanya.

Hati yang lapang bukanlah hati yang bebas dari ujian, melainkan hati yang tahu bagaimana bersyukur di tengah ujian. Maka, ketika kamu merasa kecil hati, jangan buru-buru menyalahkan keadaan. Mungkin bukan hidupmu yang sempit, melainkan rasa syukurmu yang berkurang.

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak.” — (HR. Ahmad)

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blita


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement