Khazanah
Beranda » Berita » Gaya Boleh Berbeda, Tapi Adab Harus Sama

Gaya Boleh Berbeda, Tapi Adab Harus Sama

Ilustrasi simbolik tentang perbedaan gaya hidup yang tetap diikat oleh adab.
Ilustrasi realistik tentang dua orang dengan gaya berpakaian berbeda — satu modern, satu tradisional — sedang saling tersenyum dan berjabat tangan di bawah cahaya lembut.

Surau.co. Dalam kehidupan sosial, setiap orang memiliki gaya hidup, cara berpikir, dan selera yang berbeda. Ada yang berpakaian sederhana, ada yang modis. Ada yang berbicara lugas, ada pula yang lembut dan tenang. Perbedaan gaya bukanlah persoalan — justru itulah yang membuat manusia berwarna. Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa di balik semua perbedaan itu, ada satu hal yang harus tetap sama: adab.

Frasa “Gaya boleh berbeda, tapi adab harus sama” mengandung pesan mendalam tentang etika dan penghormatan. Dalam masyarakat modern yang semakin bebas berekspresi, adab sering kali dianggap kuno atau kaku. Padahal, adab adalah inti dari kemanusiaan dan cermin keimanan. Gaya bisa berubah sesuai zaman, tapi adab adalah nilai abadi yang melampaui tren dan waktu.

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

لَا شَرَفَ لِمَنْ لَا أَدَبَ لَهُ، وَلَا عِلْمَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ
“Tidak ada kemuliaan bagi orang yang tidak beradab, dan tidak ada ilmu bagi orang yang tidak berakal.”

Adab, menurut beliau, bukan sekadar sopan santun lahiriah. Ia adalah kesadaran batin untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya — kepada Allah, kepada sesama, dan kepada diri sendiri.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Perbedaan Gaya Adalah Keniscayaan

Setiap zaman melahirkan gaya yang berbeda. Cara berpakaian, berbicara, hingga berinteraksi di media sosial berubah mengikuti arus waktu. Generasi muda mengekspresikan diri dengan caranya sendiri, sementara generasi sebelumnya punya cara yang dianggap lebih tradisional.

Namun, Islam tidak pernah menolak perbedaan selama ia tidak melanggar batas. Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
(QS. Al-Hujurāt: 13)

Perbedaan adalah bagian dari rencana Ilahi. Namun, Allah menutup ayat itu dengan penegasan:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Artinya, ukuran kemuliaan bukan pada gaya, status, atau selera, melainkan pada ketakwaan — yang tercermin dalam adab.

Perbedaan gaya tidak boleh menjadi alasan untuk merendahkan atau membanggakan diri. Orang yang benar-benar berilmu akan memahami bahwa variasi ekspresi adalah sunnatullah, tapi adab adalah tali yang mengikat seluruh perbedaan agar tidak berujung pada kesombongan.

Adab: Cermin Keimanan yang Tak Lekang oleh Zaman

Adab bukan sekadar etiket sosial, tapi pancaran dari iman yang hidup. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Akhlak dan adab adalah ruh dari agama. Tanpa keduanya, ibadah menjadi kering dan interaksi sosial kehilangan makna. Adab membuat seseorang tahu kapan harus berbicara, bagaimana bersikap, dan kepada siapa ia harus merendahkan hati.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa adab adalah bagian dari keadilan batin:

الأدبُ زِينَةُ العَقْلِ وَعَطَاءُ الفَضِيلَةِ
“Adab adalah perhiasan akal dan karunia dari keutamaan.”

Artinya, adab tidak bisa dipisahkan dari kecerdasan moral. Orang yang beradab tidak hanya berpikir benar, tapi juga berbuat dengan penuh pertimbangan dan kasih.

Ketika Gaya Menjadi Ujian Adab

Perkembangan teknologi membuka ruang ekspresi yang luas. Media sosial memungkinkan siapa pun tampil dengan gaya dan opini masing-masing. Namun di sanalah ujian adab justru muncul. Kita bisa berbeda pandangan, tapi sering kali perbedaan itu berubah menjadi perdebatan yang penuh caci maki.

Padahal adab mengajarkan bahwa dalam setiap perbedaan harus tetap ada penghormatan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan gaya berpikir bukan alasan untuk kehilangan adab berbicara. Justru di tengah keberagaman, adab menjadi penentu apakah perbedaan itu membawa berkah atau kehancuran.

Orang yang beradab tahu kapan harus menahan diri. Ia tidak perlu membuktikan siapa yang paling benar, sebab ia tahu: kebenaran tidak butuh teriakan, cukup ketenangan dan kebijaksanaan.

Adab Menyatukan, Gaya Menampilkan

Dalam setiap interaksi sosial, gaya hanyalah wadah, sedangkan adab adalah isinya. Dua orang bisa berbeda gaya berpakaian, tetapi jika sama-sama beradab, mereka akan saling menghormati. Sebaliknya, dua orang dengan gaya serupa bisa saling membenci jika adabnya hilang.

Imam Al-Mawardi menerangkan:

الأدبُ مِيزَانُ الإِنْسَانِ
“Adab adalah timbangan bagi manusia.”

Artinya, nilai seseorang diukur bukan dari penampilannya, melainkan dari bagaimana ia menjaga adab kepada Allah, kepada sesama, dan kepada dirinya sendiri.

Dalam konteks modern, menjaga adab berarti tetap sopan di ruang publik, menghormati pandangan orang lain di media sosial, tidak menghakimi hanya karena perbedaan cara hidup. Dunia digital membutuhkan adab digital — kesadaran bahwa di balik layar ada hati dan manusia yang bisa terluka oleh kata-kata.

Adab dalam Perbedaan: Teladan dari Para Ulama

Sejarah Islam menyimpan banyak kisah indah tentang perbedaan yang dijaga dengan adab. Imam Syafi’i dan Imam Malik, misalnya, memiliki pendapat fiqh yang berbeda, namun keduanya saling menghormati. Imam Syafi’i bahkan berkata:

“Pendapatku benar, namun mungkin salah; pendapat orang lain salah, namun mungkin benar.”

Inilah puncak dari adab intelektual. Perbedaan tidak menjadikan mereka musuh, melainkan jalan menuju pemahaman yang lebih luas.

Adab menuntut kerendahan hati untuk menerima bahwa kebenaran tidak selalu datang dari kita. Dalam ruang publik yang penuh perdebatan hari ini, nasihat Imam Al-Mawardi terasa sangat relevan — bahwa orang yang beradab bukan yang paling lantang, tetapi yang paling lapang hatinya.

Menjaga Adab di Tengah Perbedaan Generasi

Setiap generasi punya ekspresinya sendiri. Anak muda mengekspresikan diri dengan cara yang berbeda dari orang tua, begitu pula sebaliknya. Namun, perbedaan generasi tidak boleh memutus rantai penghormatan.

Adab kepada orang tua, guru, dan sesama tetap menjadi fondasi hubungan manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda.”
(HR. Tirmidzi)

Hadits ini menegaskan bahwa penghormatan lintas generasi adalah bentuk adab yang harus dijaga. Adab tidak berarti menolak perubahan, melainkan menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral.

Generasi muda boleh tampil dengan gaya baru, tetapi tetap harus menjaga bahasa, sikap, dan penghormatan. Generasi tua pun harus bijak menerima perbedaan gaya, tanpa tergesa-gesa menghakimi.

Ketika Adab Menjadi Cermin Kehidupan

Adab tidak hanya terlihat saat kita berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga dalam cara kita memperlakukan diri sendiri dan alam sekitar. Orang yang beradab tahu bahwa setiap ciptaan Allah memiliki hak untuk dihormati.

Rasulullah ﷺ pernah menegur sahabat yang menebang pohon tanpa alasan:

“Janganlah kalian menebang pohon yang memberi naungan tanpa alasan yang benar.”

Ini menunjukkan bahwa adab mencakup seluruh aspek kehidupan — dari berbicara, berpakaian, berinteraksi, hingga menjaga alam.

Ketika adab dijadikan panduan hidup, maka perbedaan gaya tidak akan memecah manusia. Sebaliknya, ia akan menjadi kekayaan yang saling melengkapi.

Penutup: Gaya Akan Pudar, Adab Akan Abadi

Zaman akan terus berubah. Tren berpakaian, cara berbicara, bahkan cara beribadah mungkin akan mengalami penyesuaian. Namun, satu hal yang tidak akan pernah usang adalah adab.

Gaya boleh berbeda — karena dunia memang beragam. Tetapi adab harus sama — karena kita hidup dengan nilai yang satu: kasih, hormat, dan kebaikan.

Imam Al-Mawardi mengingatkan:

مَنْ لَمْ يَتَأَدَّبْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ
“Siapa yang tidak beradab, ilmunya tidak akan memberi manfaat.”

Adab adalah cahaya yang menuntun ilmu, iman, dan perbuatan. Tanpanya, hidup kehilangan arah. Maka, dalam dunia yang penuh warna ini, biarlah gaya kita berbeda — tapi pastikan adab kita tetap sama: adab kepada Allah, kepada sesama, dan kepada diri sendiri.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement