Surau.co. Memberi maaf itu tidak sesederhana ucapan “aku udah maafin kamu.” Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kalimat itu—yakni pergulatan hati. Kita bisa saja tersenyum di luar, tapi di dalam dada masih menyimpan bara yang tak padam. Namun justru di titik itulah, memaafkan menjadi seni hati yang paling tinggi: ia bukan kelemahan, tapi kemenangan batin.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, orang mudah tersinggung dan sulit melupakan kesalahan orang lain. Padahal, Islam menempatkan memaafkan sebagai salah satu akhlak tertinggi. Allah ﷻ berfirman:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”
(QS. An-Nur [24]: 22)
Ayat ini seolah bertanya lembut kepada kita: jika Allah saja Maha Pengampun, mengapa manusia begitu pelit memberi maaf?
Memberi maaf bukan hanya tindakan sosial, tapi spiritual. Memaafkan berarti menata diri agar hati tetap teduh, tidak dikuasai dendam. Dan di zaman penuh ego ini, kemampuan memaafkan benar-benar menjadi tanda kedewasaan jiwa—bukan kelemahan.
Mengapa Memberi Maaf Itu Sulit?
Memberi maaf terasa sulit karena kita sering mengira bahwa dengan memaafkan, kita kalah. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Dalam diri manusia, ada dua kekuatan: nafsu dan akal. Nafsu ingin membalas, akal ingin menenangkan. Ketika seseorang memilih untuk memaafkan, berarti ia memilih akalnya untuk menuntun hatinya menuju kedamaian.
Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
وَإِذَا قَدَرْتَ عَلَى عَدُوِّكَ فَاجْعَلِ الْعَفْوَ عَنْهُ شُكْرًا لِلْقُدْرَةِ عَلَيْهِ
“Apabila engkau mampu mengalahkan musuhmu, maka jadikanlah memaafkannya sebagai bentuk syukur atas kekuasaanmu terhadapnya.”
Artinya, memaafkan bukan tindakan lemah, tetapi ekspresi syukur karena kita mampu mengendalikan diri. Orang yang marah lalu membalas hanya mengikuti dorongan naluri, tapi orang yang menahan amarah dan memaafkan berarti telah memenangkan dirinya sendiri.
Secara psikologis, memberi maaf juga sulit karena ada luka yang belum sembuh. Namun Islam mengajarkan, proses memaafkan tidak harus instan. Ia bisa melalui tahapan: memahami, menerima, lalu melepaskan.
Memaafkan Sebagai Kekuatan Spiritual
Memaafkan tidak menghapus keadilan, tapi mengembalikan keseimbangan jiwa. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Tidaklah Allah menambah kepada seseorang karena memberi maaf, kecuali kemuliaan.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati datang bukan dari membalas dendam, tapi dari keikhlasan melepas sakit hati. Orang yang bisa memaafkan sebenarnya sedang meneladani sifat Allah: Al-Ghafūr, Ar-Rahīm.
Ketika hati seseorang mampu menenangkan diri dan berkata, “Aku ikhlas,” maka di situlah lahir kemerdekaan batin. Ia tidak lagi dikendalikan oleh amarah, tapi oleh kasih sayang.
Dalam konteks sosial, memaafkan juga bisa menjadi kekuatan penyembuh. Dalam komunitas, keluarga, bahkan pertemanan, sikap ini membuat hubungan tidak mudah rusak oleh ego. Di tengah budaya kompetisi dan keangkuhan, memberi maaf justru menjadi bentuk perlawanan lembut terhadap kekacauan moral zaman.
Seni Tenang di Tengah Luka
Memaafkan tidak berarti melupakan kesalahan orang lain begitu saja. Ia lebih kepada kemampuan menata ulang makna dari luka. Seseorang yang tenang ketika disakiti, sejatinya telah menguasai seni tinggi dalam kehidupan: seni mengelola hati.
Menjadi tenang bukan berarti membiarkan diri diinjak, tetapi memilih tidak dikuasai oleh amarah. Dalam dunia yang penuh provokasi, orang yang tenang justru tampak “berkelas”—bukan karena ia tidak bisa marah, tetapi karena ia tahu kapan dan bagaimana marah itu pantas disampaikan.
Imam Al-Mawardi berkata:
أَشْرَفُ الْأَخْلَاقِ الْعَفْوُ عِنْدَ الْقُدْرَةِ
“Akhlak yang paling mulia adalah memaafkan ketika sedang mampu membalas.”
Saat kita bisa membalas tapi memilih untuk menahan diri, di situlah letak keanggunan sejati. Bukan di kata-kata keras, tapi di kebijaksanaan diam.
Maaf Sebagai Jalan Menuju Kedewasaan Jiwa
Kita tidak bisa tumbuh dewasa tanpa belajar memaafkan. Ada orang yang bertahun-tahun menanggung luka karena tidak pernah mau memaafkan masa lalunya sendiri. Padahal memaafkan juga berarti berdamai dengan diri.
Maaf adalah keputusan yang mengubah arah hidup. Dengan memaafkan, kita memutus rantai kebencian dan memberi ruang bagi kedamaian. Hidup terlalu singkat untuk disibukkan oleh dendam.
Ketenangan tidak muncul dari membalas, tapi dari melepas. Semakin cepat kita belajar memaafkan, semakin matang pula kepribadian kita. Tidak semua orang bisa mencapai tahap itu—karena memaafkan butuh keberanian, bukan sekadar kebaikan hati.
Ketika Maaf Menjadi Jalan Cinta
Dalam relasi apa pun—antara sahabat, keluarga, pasangan—memaafkan adalah bahan bakar cinta. Tidak ada cinta sejati tanpa maaf, sebab dua hati yang berinteraksi pasti saling melukai, bahkan tanpa sengaja.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa memaafkan membawa kedamaian:
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”
(QS. Asy-Syura [42]: 40)
Betapa indah janji ini—bahwa balasan bagi yang memaafkan tidak sekadar ketenangan batin, tapi juga ganjaran langsung dari Allah.
Dalam relasi sosial, sikap memaafkan menularkan energi damai. Memaafkan membuat orang lain belajar rendah hati, membuat suasana menjadi lebih ringan, dan menghapus dendam yang menular.
Penutup: Maaf Itu Seni, dan Hanya Jiwa Besar yang Bisa
Memberi maaf itu nggak gampang, tapi berkelas. Ia bukan tindakan kecil, melainkan karya besar dalam diri manusia. Ia bukan kelemahan, melainkan keanggunan. Dalam dunia yang sibuk membalas, orang yang memaafkan adalah yang paling kuat. Karena kekuatan sejati bukan terletak pada otot, melainkan pada kemampuan hati menahan dan melepaskan.
Mungkin kita pernah disakiti oleh seseorang, dan butuh waktu lama untuk pulih. Tapi percayalah, setiap maaf yang kita berikan tidak pernah sia-sia. Ia membersihkan hati, memperindah jiwa, dan menjadikan kita manusia yang lebih lapang.
Seperti bunga yang tetap mekar meski diinjak, begitulah hati yang tetap lembut meski pernah dilukai. Dan di situlah letak kemuliaan manusia: bukan di balasan dendam, tapi di kesediaan memberi maaf dengan penuh cinta.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
