SURAU.CO – Ilmu Ushul Fiqih :
يُعَرَّفُ أُصولُ الفِقهِ بأنَّه: مَعرِفةُ دَلائِلِ الفِقهِ إجمالًا، وكَيفيَّةِ الاستِفادةِ مِنها، وحالِ المُستَفيدِ . وهذا هو التَّعريفُ المُختارُ.
>وقيلَ: هو مَجموعُ طُرُقِ الفِقهِ على سَبيلِ الإجمالِ، وكَيفيَّةُ الاستِدلالِ بها، وكَيفيَّةُ حالِ المُستَدِلِّ بها .
>وقيلَ: هو أدِلَّةُ الفِقهِ وجِهاتُ دَلالاتِها على الأحكامِ الشَّرعيَّةِ، وكَيفيَّةُ حالِ المُستَدِلِّ بها مِن جِهةِ الجُملةِ لا مِن جِهةِ التَّفصيلِ .
>وقيلَ: هو العِلمُ بالقَواعِدِ التي يُتَوصَّلُ بها إلى استِنباطِ الأحكامِ الشَّرعيَّةِ الفرعيَّةِ عن أدِلَّتِها التَّفصيليَّةِ .
Ilmu Ushul Fiqih diartikan sebagai : Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih secara umum, cara memanfaatkan dalil-dalil tersebut, dan keadaan orang yang mengambil manfaat darinya. Dan inilah pengertian yang terpilih.
Pengertian Ilmu Ushul Fiqih
Ada yang mengatakan : (Ilmu Ushul Fiqih) adalah kumpulan metode fiqih secara umum, cara berdalil dengannya, dan keadaan orang yang berdalil dengannya.
Juga Ada yang mengatakan : (Ilmu Ushul Fiqih) adalah dalil-dalil fiqih dan arah petunjuknya terhadap hukum-hukum syar’i, serta keadaan orang yang berdalil dengannya dari sisi keumuman dan bukan dari sisi perincian.
Ada yang mengatakan : (Ilmu Ushul Fiqih) adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dengannya dapat dicapai penggalian tentang hukum-hukum syar’i cabang dari dalil-dalilnya yang terrinci.
Penjelasan :
(كَيفيَّةِ الاستِفادةِ مِنها): أي: مَعرِفةُ كَيفيَّةِ استِفادةِ الفِقهِ مِنَ الدَّلائِل، وهذا يَشمَلُ طُرُقَ الدَّلالةِ اللَّفظيَّةِ والعَقليَّةِ، وطُرُقَ نَصبِ الدَّليلِ الذي يوصِلُ إلى مَعرِفةِ الحُكمِ الشَّرعيِّ، سَواءٌ كان الدَّليلُ نَصًّا مِن قُرآنٍ أو سُنَّةٍ ونَحوِهما، أم مَعقولًا مِنَ النَّصِّ، (1) كالقياسِ (2) والاستِصلاحِ وغَيرِهما، وهذا يُدخِلُ ما ذَكَرَه الأُصوليُّونَ في دَلالاتِ الألفاظِ، مِثلُ (3) العامِّ والخاصِّ، (4) والمُطلَقِ والمُقَيَّدِ، (5) والمَنطوقِ والمَفهومِ، كما يُدخِلُ طُرُقَ (6) مَعرِفةِ العِلَّةِ المُستَنبَطةِ، ونَحوَ ذلك ، ولا بُدَّ أيضًا مِن مَعرِفةِ ما يَتَعَلَّقُ (7) بالتَّعارُضِ بَينَ الأدِلَّةِ، (8) وكَيفيَّةِ دَفعِ هذا التَّعارُضِ؛ فالغَرَضُ مِنَ البَحثِ عن أحوالِ الأدِلَّةِ إنَّما هو التَّوصُّلُ إلى استِنباطِ الأحكامِ الشَّرعيَّةِ مِنَ الأدِلَّةِ، وهذه الأدِلَّةُ المُفيدةُ للأحكامِ مِنها ما هو ظَنِّيٌّ، فهيَ قابلةٌ للتَّعارُضِ، وعِندَ التَّعارُضِ لا بُدَّ في استِفادةِ الحُكمِ مِن دَليلِه مِنَ (9) التَّرجيحِ بَينَه وبَينَ مُعارِضِه إن لَم يُمكِنِ الجَمعُ .
((Maksud : Cara memanfaatkan dalil-dalil tersebut)) : Yaitu: mengetahui cara pengambilan hukum fiqih dari dalil-dalil, dan ini mencakup metode penunjukan secara lafazh (tekstual) dan akal, serta cara penetapan dalil yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang hukum syar’i, baik dalil itu berupa teks dari AlQur-an atau As-Sunnah dan yang lainnya, maupun yang bersifat rasional (masuk akal) dari teks tersebut.
Metode Penunjukan Secara Lafadz dan Akal
(1) Qiyas (membandingkan sesuatu yang memiliki dalil dengan sesuatu yang tidak memiliki dalil karena adanya kesamaan hukum),
(2) Istishlah (إصتصلاح/Pertimbangan kemaslahatan umum yang tidak ada dalilnya secara khusus), dan yang lainnya.
Ini mencakup apa yang disebut oleh para Ahli Ushul dalam penunjukan lafazh seperti :
(3) Umum dan Khusus,
(4) Mutlak (مطلق/Tidak terikat) dan Muqayyad (مقيّد/Terikat dengan sesuatu),
(5) Mantuq (منطوق/Makna yang diperoleh langsung dari lafazh) dan Mafhum (مفهوم/Makna yang dipahami dari suatu lafazh), serta mencakup :
(6) Cara mengetahui sebab istimbath (استنباط/Proses mengeluarkan hukum syar’i dari sumber-sumbernya), dan yang lainnya.
Juga harus diketahui hal-hal yang berkaitan dengan :
(7) Dalil-dalil yang nampak saling bertentangan, dan
(8) Cara mengkompromikan pertentangan dalil-dalil tersebut
Penggalian Hukum Syar’i
Karena tujuan dari pembahasan tentang kondisi dalil-dalil adalah untuk mencapai penggalian hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang ada.
Dalil-dalil yang memberikan hukum itu ada yang bersifat zhanniy (dugaan kuat) yang bisa saling bertentangan, dan ketika terjadi pertentangan, maka dalam pengambilan hukum dari dalilnya harus dilakukan tarjih (menguatkan salah satu) antara dalil tersebut dan dalil yang menentangnya jika tidak memungkinkan untuk dikompromikan.
(حالِ المُستَفيدِ): أي: مَعرِفةُ حالِ المُستَفيدِ، وهو طالِبُ حُكمِ اللَّهِ تعالى، فيَدخُلُ فيه المُقَلِّدُ والمُجتَهِدُ؛ إذ كُلٌّ مِنهما يَستَفيدُ الأحكامَ، وإن كان طَريقُ الاستِفادةِ مُختَلفًا؛ لأنَّ المُجتَهدَ يَستَفيدُ الأحكامَ مِنَ الأدِلَّةِ، والمُقَلِّدَ يَستَفيدُها مِنَ المُجتَهِدِ ، وقيلَ: المُرادُ بالمُستَفيدِ هو المُجتَهدُ، وإنَّما ذُكِر المُقَلِّدُ وما يَتَعَلَّقُ بالتَّقليدِ استِطرادًا لذِكرِ المُجتَهدِ، ولأنَّه تابعٌ له .
(Keadaan orang yang mengambil manfaat dari (Ilmu Ushul Fiqih tersebut)) : Yaitu mengetahui keadaan orang yang mengambil manfaat yaitu pencari hukum Allah Ta’ala, maka termasuk di dalamnya adalah Muqallid (مقلّد/Orang yang menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya) dan Mujtahid (مجتهد/Ulama yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk menggali hukum syar’i langsung dari sumber-sumbernya), karena masing-masing dari keduanya mengambil manfaat dari hukum, meskipun cara pengambilannya berbeda, karena mujtahid mengambil hukum dari dalil-dalil (secara langsung), sedangkan muqallid mengambilnya dari mujtahid.
Ada yang mengatakan : Yang dimaksud dengan “Orang yang mengambil manfaat dari (Ilmu Ushul Fiqih tersebut)” adalah mujtahid itu sendiri, dan disebutkannya muqallid serta hal-hal yang berkaitan dengan taqlid hanyalah sebagai tambahan dalam pembahasan tentang mujtahid, karena muqallid mengikuti mujtahid.
Pembahasan-Pembahasan Dalam Ilmu Ushul Fiqih
كُلُّ عِلمٍ له مَوضوعٌ ومَسائِلُ، ومَوضوعُ كُلِّ عِلمٍ هو: ما يُبحَثُ في ذلك العِلمِ عن أحوالِه العارِضةِ لذاتِه، دونَ العَوارِضِ اللَّاحِقةِ لأمرٍ خارِجٍ عنِ الذَّاتِ، وأمَّا مَسائِلُه فهيَ مَعرِفةُ تلك الأحوالِ؛ فمَوضوعُ عِلمِ الطِّبِّ مَثَلًا: هو بَدَنُ الإنسانِ؛ لأنَّه يُبحَثُ فيه عنِ الأمراضِ اللَّاحِقةِ له، ومَسائِلُه: هيَ مَعرِفةُ تلك الأمراضِ، ومَوضوعُ عِلمِ النَّحوِ: الكَلِماتُ؛ فإنَّه يُبحَثُ فيه عن أحوالِها مِن حَيثُ الإعرابُ والبناءُ، ومَسائِلُه: هيَ مَعرِفةُ الإعرابِ والبناءِ، ومَوضوعُ عِلمِ الفرائِضِ: التَّرِكاتُ؛ فإنَّه يُبحَثُ فيه مِن حَيثُ قِسمَتِها، ومَسائِلُه: هيَ مَعرِفةُ حُكمِ قِسمَتِها.
Setiap ilmu memiliki objek dan masalah-masalahnya.
Objek setiap ilmu adalah : Hal-hal yang dibahas dalam ilmu tersebut mengenai keadaan-keadaan yang melekat pada dzatnya, bukan keadaan-keadaan yang berasal dari sesuatu yang berada di luar dzat tersebut.
Adapun masalah-masalahnya adalah : Pengetahuan tentang keadaan-keadaan tersebut.
Maka objek Ilmu Kedokteran misalnya : Yaitu tubuh manusia, karena dalam ilmu tersebut dibahas tentang penyakit-penyakit yang menimpa tubuh, dan masalah-masalahnya adalah pengetahuan tentang penyakit-penyakit tersebut.
Objek Ilmu Nahwu adalah kata-kata : Karena dibahas di dalamnya tentang keadaan kata dari segi i’rab (الإعراب/Perubahan akhir pada kata dalam bahasa Arab) dan bina’ (البناء/Keadaan suatu kata yang akhir katanya tetap dan tidak berubah), dan masalah-masalahnya adalah pengetahuan tentang i’rab dan bina’ tersebut.
Objek Ilmu Faraid (pembagian harta warisan) adalah : Harta warisan, karena dibahas di dalamnya tentang pembagiannya, dan masalah-masalahnya adalah pengetahuan tentang hukum pembagiannya.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Para Ulama Tentang Pembahasan-Pembahasan Dalam Ilmu Ushul Fiqih
القَولُ الأوَّلُ: أنَّ مَوضوعَ عِلمِ أُصولِ الفِقهِ هو: الأدِلَّةُ.
>وهو مَذهَبُ جُمهورِ الأُصوليِّينَ، ومِنهم: الآمِديُّ ، وابنُ تيميَّةَ ، والرَّهونيُّ ، والبِرْماويُّ ، وابنُ الهُمَامِ ، والمَرداويُّ ، وابنُ النَّجَّارِ .
>فمَوضوعُ عِلمِ أُصولِ الفِقهِ عِندَهم هو: الأدِلَّةُ الموصِلةُ إلى الأحكامِ الشَّرعيَّةِ العَمَليَّةِ، مَعَ أقسامِها، واختِلافِ مَراتِبِها، وكَيفيَّةِ استِثمارِ الأحكامِ الشَّرعيَّةِ مِنها على وَجهٍ كُلِّيٍّ؛ وذلك لأنَّ الأحكامَ الشَّرعيَّةَ ثَمَرةُ الأدِلَّةِ، وثَمَرةُ الشَّيءِ تابعةٌ له.
>فالأُصوليُّ يَبحَثُ في حُجِّيَّةِ الأدِلَّةِ الإجماليَّةِ، ثُمَّ يَبحَثُ عنِ العَوارِضِ اللَّاحِقةِ لهذه الأدِلَّةِ مِن كَونِها عامَّةً أو خاصَّةً، أو مُطلَقةً أو مُقَيَّدةً، أو مُجمَلةً أو مُبَيَّنةً، أو ظاهِرةً أو نَصًّا، أو مَنطوقًا أو مَفهومًا، وكَونِ اللَّفظِ أمرًا أو نَهيًا، ومَعرِفةُ هذه الأُمورِ هيَ مَسائِلُ أُصولِ الفِقهِ، فيَبحَثُ الأُصوليُّ هذه الأُمورَ وما تُفيدُه.
Objek Ushul Fiqih adalah dalil-dalil
Ini adalah madzhab kebanyakan ulama Ushul, di antaranya : Al-Āmidī, Ibnu Taimiyyah, Ar-Rahūnī, Al-Birmāwī, Ibnu Al-Humām, Al-Mardāwī, dan Ibnu An-Najjār.
Maka objek Ushul Fiqih menurut mereka adalah : Dalil-dalil yang mengantarkan kepada hukum-hukum syar’i yang bersifat amalan, beserta pembagiannya, tingkatan-tingkatannya yang berbeda, dan cara menggali hukum-hukum syar’i darinya secara menyeluruh. Hal ini karena hukum-hukum syar’i adalah buah dari dalil-dalil, dan buah suatu hal mengikuti asalnya.
Seorang Ahli Ushul membahas tentang keabsahan dalil-dalil secara umum, kemudian membahas tentang sifat-sifat yang melekat pada dalil-dalil tersebut, seperti apakah itu umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, bersifat luas atau dijelaskan secara terperinci, nampak jelas atau ditegaskan dengan penegasan, manthuq atau mafhum, serta apakah suatu lafazh itu merupakan perintah atau larangan, sehingga pengetahuan tentang hal-hal tersebut adalah masalah-masalah dalam Ilmu Ushul Fiqih, yang menjadi bahan kajian para Ahli Ushul dan apa yang dapat dipahami darinya.
القَولُ الثَّاني: مَوضوعُ عِلمِ أُصولِ الفِقهِ، هو: الأحكامُ.
فمَوضوعُ الأُصولِ هو الأحكامُ مِن حَيثُ ثُبوتُها بالأدِلَّةِ .
Objek Ilmu Ushul Fiqih adalah tentang hukum-hukum
Maka objek Ushul Fiqih adalah hukum-hukum dari segi penetapannya melalui dalil-dalil.
القَولُ الثَّالثُ: مَوضوعُ عِلمِ أُصولِ الفِقهِ هو الأدِلَّةُ والأحكامُ جَميعًا
وهو اختيارُ صَدرِ الشَّريعةِ المَحبوبيِّ ، والتَّفتازانيِّ ، والشَّوكانيِّ .
>فجَميعُ مَباحِثِ أُصولِ الفِقهِ راجِعةٌ إلى إثباتِ أعراضٍ ذاتيَّةٍ للأدِلَّةِ والأحكامِ، مِن حَيثُ إثباتُ الأدِلَّةِ للأحكامِ وثُبوتُها بها.
>قال صَدرُ الشَّريعةِ المَحبوبيُّ: (وإذا عُلمَ أنَّ جَميعَ مَسائِلِ الأُصولِ راجِعةٌ إلى قَولنا: كُلُّ حُكمِ كَذا يَدُلُّ على ثُبوتِه دَليلُ كَذا، فهو ثابتٌ، أو كُلَّما وُجِدَ دَليلُ كَذا دالًّا على حُكمِ كَذا، يَثبُتُ ذلك الحُكمُ؛ عُلمَ أنَّه يُبحَثُ في هذا العِلمِ عنِ الأدِلَّةِ الشَّرعيَّةِ والأحكامِ الكُليَّتَينِ مِن حَيثُ إنَّ الأولى مُثبِتةٌ للثَّانيةِ، والثَّانيةَ ثابتةٌ بالأولى، والمَباحِثُ التي تَرجِعُ إلى أنَّ الأولى مُثبِتةٌ للثَّانيةِ، والثَّانيةَ ثابتةٌ بالأولى بَعضُها ناشِئةٌ عنِ الأدِلَّةِ، وبَعضُها ناشِئةٌ عنِ الأحكامِ؛ فمَوضوعُ هذا العِلمِ الأدِلَّةُ الشَّرعيَّةُ والأحكامُ؛ إذ يُبحَثُ فيه عنِ العَوارِضِ الذَّاتيَّةِ للأدِلَّةِ الشَّرعيَّةِ، وهيَ إثباتُها الحُكمَ، وعنِ العَوارِضِ الذَّاتيَّةِ للأحكامِ، وهيَ ثُبوتُها بتلك الأدِلَّةِ) .
Pendapat Ketiga : Objek Ushul Fiqih adalah dalil-dalil dan hukum-hukumnya sekaligus.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Shadrusy Syarī’ah Al-Mahbūbī, At-Taftāzānī, dan Asy-Syaukānī.
Dalil-dalil Syar’i dan Hukumnya
Seluruh pembahasan dalam Ushul Fiqih kembali kepada penetapan sifat-sifat yang melekat pada dalil-dalil dan hukum-hukum, dari segi bahwa dalil menetapkan hukum dan hukum itu tetap dengan ada dalil.
Shadrusy Syarī’ah Al-Mahbūbī berkata : ((Jika telah diketahui bahwa seluruh masalah Ushul kembali kepada pernyataan. Setiap hukum tertentu ditunjukkan oleh dalil tertentu, maka hukum itu tetap. Atau setiap kali ditemukan dalil tertentu yang menunjukkan hukum tertentu. Maka hukum itu tetap, maka diketahui bahwa dalam ilmu Ushul ini dibahas tentang dalil-dalil syar’i. Dan hukum-hukum umum dari segi bahwa yang pertama (dalil) menetapkan yang kedua (hukum). Dan yang kedua (hukum) tetap dengan adanya yang pertama (dalil).
Pembahasan yang kembali kepada bahwa yang pertama menetapkan yang kedua dan yang kedua tetap. Dengan adanya yang pertama, sebagian berasal dari dalil-dalil dan sebagian berasal dari hukum-hukum. Maka objek ilmu ini adalah dalil-dalil syar’i dan hukum-hukumnya. Karena dalam ilmu ini dibahas tentang sifat-sifat yang melekat pada dalil-dalil syar’i. Yaitu penetapannya terhadap hukum, dan sifat-sifat yang melekat pada hukum-hukum tersebut, yaitu tetapnya hukum dengan dalil-dalil tersebut.
Jenis Perbedaan Pendapat Dalam Masalah
الخِلافُ في هذه المَسألةِ لَفظيٌّ؛ لأنَّ جَميعَهم قد ذَكَرَ الأدِلَّةَ والأحكامَ، وضَرورةَ بَحثِها في عِلمِ أُصولِ الفِقهِ، ولَكِنَّ أصحابَ المَذهَبِ الأوَّلِ قد بَحَثوا الأحكامَ على أنَّها تابعةٌ، وأصحابَ المَذهَبِ الثَّاني قد بَحَثوها على أنَّها أصليَّةٌ . وأصحابُ المَذهَبِ الثَّالثِ نَظَروا إلى الأحكامِ على أنَّها قَسيمةٌ للأدِلَّةِ، فكِلاهما يُمَثِّلُ مَوضوعَ عِلمِ الأُصولِ.
>فالواقِعُ أنَّ مَباحِثَ الأُصولِ مُتَّفَقٌ عليها، ولَكِنَّ الاختِلافَ في اعتِبارِ أحَدِ الأبوابِ أصلًا، والآخَرِ تَبَعًا، أو أنَّ أحَدَها جَوهَرٌ والآخَرَ تَقديمٌ له، أو أنَّ بَعضَها يُدرَسُ مِنَ النَّاحيةِ الذَّاتيَّةِ، والآخَرَ مِنَ النَّاحيةِ العَرَضيَّةِ، وهَكَذا .
Perbedaan pendapat dalam masalah ini hanya bersifat lafazh (hanya perbedaan istilah saja), karena semua pendapat telah menyebutkan dalil-dalil. Dan hukum-hukum serta pentingnya pembahasan keduanya dalam Ilmu Ushul Fiqih.
Namun, pengikut pendapat pertama membahas hukum sebagai sesuatu yang mengikuti (dalil),
Sedangkan pengikut pendapat kedua membahas hukum sebagai sesuatu yang pokok,
Sedangkan pengikut pendapat ketiga memandang hukum sebagai pasangan dari dalil, sehingga keduanya merupakan objek Ilmu Ushul.
Jadi, kenyataannya adalah bahwa pembahasan dalam Ushul Fiqih telah disepakati. Namun perbedaan terletak pada anggapan apakah salah satu bagian merupakan pokok dan yang lain hanya mengikut saja. Atau apakah salah satunya merupakan inti dan yang lain sebagai pengantar atau apakah sebagian dipelajari. Dari sisi hakikatnya dan yang lain dari sisi sifat tambahannya, dan seterusnya.
Pembahasan-Pembahasan Utama Yang Membentuk Ilmu Ushul Fiqih
1- الأدِلَّةُ الشَّرعيَّةُ: وتَشتَمِلُ على الأدِلَّةِ المُتَّفَقِ عليها والمُختَلَفِ فيها، وحُجِّيَّتِها وشُروطِها وما يَتَعَلَّقُ بها.
>2- الأحكامُ الشَّرعيَّةُ: وهيَ تابعةٌ للأدِلَّةِ وثَمَرةٌ لَها، ويَدخُلُ فيها الحَديثُ عنِ الأحكامِ التَّكليفيَّةِ، والأحكامِ الوضعيَّةِ، والحاكمِ، والمحكومِ عليه، والمحكومِ فيه.
>3- كَيفيَّةُ استِفادةِ الأحكامِ مِنَ الأدِلَّةِ: ويَدخُلُ في ذلك عِدَّةُ مَباحِثَ، مِثلُ: الأمرِ والنَّهيِ، والعامِّ والخاصِّ، والمُطلَقِ والمُقَيَّدِ، والمُجمَلِ والمُبَيَّنِ، والمَنطوقِ والمَفهومِ.
4- مَسائِلُ التَّعارُضِ والتَّرجيحِ بَينَ الأدِلَّةِ
5- مَباحِثُ الاجتِهادِ، ومِن ذلك شُروطُ المُجتَهدِ وصِفاتُه، وكَذلك ما يَتَعَلَّقُ بالتَّقليدِ والإفتاءِ .
-
Dalil-Dalil Syar’i : Mencakup dalil-dalil yang disepakati dan yang diperselisihkan, keabsahannya, syarat-syaratnya, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
-
Hukum-Hukum Syar’i : Merupakan turunan dan buah dari dalil-dalil, mencakup pembahasan tentang hukum taklifi/تكليفي wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), hukum wad’i/وضعي .(hukum yang tidak secara langsung memerintahkan atau melarang, atau mencakup penetapan status hukum terhadap sesuatu. Seperti sah atau batal), yang menetapkan hukum, yang dikenai hukum (subjek), dan objek hukum.
-
Cara Pengambilan Hukum Dari Dalil : Termasuk di dalamnya berbagai pembahasan seperti Perintah dan larangan, umum dan khusus, mutlak. Dan muqayyad, bersifat luas atau dijelaskan secara terperinci, manthuq dan mafhum.
-
Masalah Pertentangan dan Menguatkan Antara Dalil-Dalil.
-
Pembahasan Tentang Ijtihad (yang dilakukan oleh seorang Mujtahid/Ulama yang memiliki kemampuan. Dan keahlian untuk menggali hukum syar’i langsung dari sumber-sumbernya). Termasuk syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid. Serta hal-hal yang berkaitan dengan taqlid (menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya) dan tentang fatwa. (penjelasan hukum syariat yang diberikan oleh seorang yang berilmu kepada orang yang bertanya tentang suatu persoalan yang belum jelas hukumnya). Semoga bermanfaat. (Ummu Zikri Daily)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
