SURAU.CO – Dalam perjalanan seorang hamba menuju Allah, seringkali ada benteng-benteng yang harus ditegakkan sebelum ia merasakan ketenangan yang sesungguhnya.
Hati ibarat sebuah taman yang hanya dapat ditanami bunga-bunga keimanan jika ia dijaga dari hama yang merusaknya.
Terpelihara dari Noda Syahwat
Begitu pula seorang musafir yang membawa air jernih dalam wadahnya; ia tidak akan merasakan kesegaran air itu jika membiarkan debu, kotoran, atau serpihan tanah masuk ke dalamnya.
Demikianlah ibadah; ia memiliki rasa manis yang tidak akan dirasakan, kecuali oleh hati yang terpelihara dari noda-noda syahwat.
Syahwat dengan berbagai jenisnya, bagaikan arus deras yang dapat menyeret siapa saja yang mendekatinya tanpa waspada.
Sementara itu, ibadah adalah perahu keselamatan yang hanya dapat dikayuh dengan ringan apabila beban-beban nafsu syahwat telah diletakkan.
Perjalanan Menuju Allah Terasa Lapang
Barangsiapa ingin menikmati manisnya bermunajat, ia harus menegakkan dinding antara dirinya dan gelombang syahwat, sebagaimana halnya seorang petani membangun pagar di sekeliling ladangnya agar buah-buahnya tumbuh dengan sempurna.
Dengan penghalang itulah, ibadah menjadi lezat, hati menjadi hidup, dan perjalanan menuju Allah terasa lapang.
Seorang ulama Salaf, Bisyr bin al-Harits al-Hafiy رحمه الله berkata,
لا تجد حلاوه العبادة حتى تجعل بينك وبين الشهوات سدا
سير اعلام النبلاء (٨/ ٤٨٩)
“Engkau tidak akan menemukan manisnya ibadah sampai engkau menjadikan antara dirimu dan syahwat-syahwat (nafsu) suatu penghalang.” — Siyar A‘lam an-Nubala’ (8/489)
Pada akhirnya, manisnya ibadah bukanlah anugerah yang datang tanpa usaha, melainkan hasil dari kesungguhan seorang hamba dalam menjaga hatinya dari noda-noda syahwat dan gelapnya godaan dunia.
Penyucian Niat dan Pengendalian Diri
Barangsiapa yang membiarkan nafsunya menguasai diri, ia seperti orang yang menumpahkan garam ke dalam mata airnya sendiri; air itu tetap ada, tetapi tidak lagi terasa segar.
Namun, barangsiapa yang menahan diri dan menegakkan penghalang antara dirinya dan dorongan-dorongan syahwat yang merusak, niscaya ia akan memperoleh kelembutan hati yang tidak dapat digantikan oleh kenikmatan dunia manapun.
Barangsiapa ingin merasakan manisnya ibadah, hendaknya ia memulai dari penyucian niat, penjagaan pandangan, dan pengendalian keinginan. Ibarat pintu tidak akan pernah terbuka, kecuali setelah kuncinya diputar.
Nah, demikian pula hati, ia tidak akan terbuka untuk merasakan kelezatan ibadah sebelum ia dikunci rapat dari syahwat.
Dengan taufik Allah dan kesabaran dalam mujahadah (memerangi) syahwat, seseorang akan mendapati bahwa setiap sujud menjadi ketenangan, setiap dzikir menjadi kedamaian, dan setiap ibadah akan menjadi pemanis dalam perjalanan menuju Rabb semesta alam.
Faedah dari Nasihat
Berikut beberapa petikan faedah dari nasihat tersebut:
1) Manisnya ibadah adalah karunia yang memiliki sebab.
Ia tidak dirasakan oleh setiap orang, tetapi oleh mereka yang bersungguh-sungguh menjaga hati dari pengaruh syahwat dan hawa nafsu.
2) Syahwat adalah penghalang terbesar bagi kekhusyukan dalam ibadah.
Semakin seseorang itu larut dalam syahwat, semakin tumpul rasa spiritualnya dan semakin jauh ia dari kelezatan ibadah.
3) Menahan diri merupakan jalan menuju ketenangan hati.
Mujahadah (bersungguh-sungguh melawan nafsu) adalah pintu untuk merasakan kedekatan dengan Allah.
Sebab, nafsu ibarat arus air yang deras akan menggiring seseorang kepada jurang kebinasaan, dan semakin membuatnya jauh dari Allah -Azza wa jalla-.
4) Ibadah yang terasa manis, menandakan hati yang hidup.
Kepekaan hati terhadap ibadah adalah tanda bahwa ia bersih dari noda-noda syahwat yang merusaknya.
5) Memagari diri dari syahwat adalah bentuk penjagaan jiwa.
Sebagaimana halnya seseorang menjaga kebun dari hama, seorang hamba juga harus menjaga hatinya dari syahwat agar amalnya tumbuh subur.
6) Kesungguhan dalam meninggalkan syahwat amat sulit dan, tetapi lebih bermanfaat dan amat manis.
Berat di awal, namun mengantarkan kepada kenikmatan batin yang jauh lebih besar dan langgeng.
- Nasihat ini mengajarkan prioritas dalam mengarungi kehidupan yang sementara ini. Ibadah lebih utama daripada syahwat.
Hati tidak boleh dibiarkan mengikuti keinginan-keinginan yang menambah kelalaian dan mengurangi lezatnya ibadah.
Gowa, 1447 Hijriyah. Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah Al-Bughisiy -hafizhahullah. (Anadea Daily)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
