Dalam diskursus keislaman, konsep tauhid selalu menempati posisi sentral. Namun, pemahaman dan penafsirannya tidak selalu seragam, memunculkan beragam pendekatan teologis yang kaya. Salah satu madzhab teologi yang paling dominan dan dianut oleh mayoritas umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Tauhid Asy’ariyah. Mazhab ini menawarkan kerangka rasional dalam memahami iman, menjembatani antara teks-teks suci (naql) dan akal sehat (aqal).
Asal Mula dan Pilar Pemikiran Asy’ariyah
Mazhab Asy’ariyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M). Beliau awalnya adalah seorang Mu’tazilah, madzhab rasionalis yang sangat menekankan peran akal. Namun, setelah melalui perenungan mendalam dan kritik terhadap beberapa doktrin Mu’tazilah, ia berbalik arah dan mendirikan madzhabnya sendiri. Transformasi pemikirannya menjadi titik balik penting dalam sejarah teologi Islam. Al-Asy’ari berupaya mempertahankan keyakinan-keyakinan dasar Ahlussunnah, namun dengan metodologi rasional yang kokoh.
Inti dari Tauhid Asy’ariyah adalah penegasan keesaan Allah SWT dengan segala sifat-Nya yang sempurna. Para ulama Asy’ariyah menolak paham antropomorfisme (tasybih), yaitu menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka juga menghindari pendekatan tekstualis murni yang dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang sifat-sifat Allah yang mutlak. Pendekatan mereka adalah tanzih, mensucikan Allah dari segala keserupaan dengan makhluk.
Memahami Sifat-Sifat Allah dalam Perspektif Asy’ariyah
Salah satu ciri khas Asy’ariyah terletak pada cara mereka memahami sifat-sifat Allah. Asy’ariyah meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat wajib yang kekal dan qadim (tidak berpermulaan), seperti ilmu, qudrat, iradat, sama’, bashar, kalam, dan hayat. Namun, mereka menafsirkan sifat-sifat yang tampaknya mengandung makna fisik atau menyerupai makhluk (mutasyabihat) dengan cara takwil atau tafwidh.
Takwil adalah menafsirkan lafal mutasyabihat dengan makna kiasan yang sesuai dengan kemuliaan Allah. Contohnya, ‘tangan Allah’ ditakwilkan sebagai qudrat (kekuasaan) Allah. Sementara itu, tafwidh adalah menyerahkan makna hakiki lafal mutasyabihat sepenuhnya kepada Allah, tanpa mencoba menafsirkannya secara spesifik. Pendekatan ini merupakan upaya Asy’ariyah untuk menjaga kesucian tauhid dari tasybih.
Perbedaan Kunci dengan Madzhab Lain
Tauhid Asy’ariyah seringkali dibandingkan dengan madzhab teologi lain, seperti Mu’tazilah dan kelompok-kelompok yang condong pada tekstualisme ekstrem (misalnya, beberapa cabang Salafi/Wahabi). Perbedaan fundamental terletak pada peran akal dan naql, serta interpretasi sifat-sifat Allah.
Mu’tazilah terlalu mengedepankan akal hingga terkadang menafikan otoritas naql. Mereka berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan Asy’ariyah meyakini Al-Qur’an (kalamullah) adalah sifat Allah yang qadim, namun lafalnya adalah makhluk.
Kutipan Penting:
“Kalamullah itu qadim, dan huruf-huruf serta suara-suara yang kita baca itu adalah tanda-tanda dari kalamullah yang qadim tersebut.”
Di sisi lain, kelompok tekstualis cenderung memahami sifat-sifat Allah secara harfiah, yang seringkali memicu tuduhan tasybih dari Asy’ariyah. Asy’ariyah berpendapat bahwa pemahaman harfiah tanpa takwil untuk sifat-sifat mutasyabihat dapat mengarah pada penggambaran Allah yang menyerupai makhluk, yang jelas bertentangan dengan prinsip tanzih.
Relevansi Tauhid Asy’ariyah di Era Modern
Di tengah gelombang modernisasi dan tantangan pemikiran kontemporer, Tauhid Asy’ariyah tetap relevan. Metodologi rasionalnya memungkinkan umat Islam untuk menghadapi argumen-argumen skeptis dan ateistik dengan landasan yang kokoh. Pendekatan Asy’ariyah mengajarkan pentingnya berpikir kritis, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariat.
Ia juga menjadi benteng pelindung dari ekstremisme, baik ekstremisme akal (seperti Mu’tazilah di masa lalu) maupun ekstremisme tekstualis yang terkadang mengabaikan konteks dan hikmah. Asy’ariyah mendorong pemahaman Islam yang moderat, seimbang antara akal dan wahyu, serta menjaga persatuan umat di bawah payung Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam konteks pluralisme dan interaksi antaragama, pemahaman Tauhid Asy’ariyah yang menekankan transendensi dan keunikan Allah juga membantu umat Islam untuk menyampaikan ajaran tauhid dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan, tanpa terjebak dalam kontroversi yang tidak perlu. Pemikiran ini memberikan kedalaman bagi iman, menjadikannya bukan sekadar keyakinan buta, melainkan sebuah pemahaman yang diperkuat oleh penalaran.
Warisan dan Pengaruhnya
Tauhid Asy’ariyah telah melahirkan banyak ulama besar dan pemikir Islam terkemuka sepanjang sejarah. Imam al-Ghazali, Imam al-Juwaini, Imam Fakhruddin ar-Razi, dan banyak lagi, adalah para intelektual yang memperkaya dan menyebarkan ajaran Asy’ariyah. Karya-karya mereka menjadi rujukan utama dalam studi teologi Islam.
Hingga saat ini, sebagian besar lembaga pendidikan Islam tradisional di seluruh dunia, termasuk pesantren-pesantren di Indonesia, mengajarkan akidah Asy’ariyah (seringkali digabungkan dengan Maturidiyah sebagai dua madzhab teologi Ahlussunnah yang saling melengkapi). Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan penerimaan terhadap rasionalitas iman ala Asy’ariyah dalam membangun akidah yang kokoh dan moderat di kalangan umat.
Kesimpulan
Tauhid Asy’ariyah bukan sekadar kumpulan doktrin, melainkan sebuah metodologi komprehensif untuk memahami keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya. Dengan menyeimbangkan akal dan naql, serta menolak tasybih dan tafwidh (dalam beberapa konteks) yang ekstrem, Asy’ariyah menawarkan kerangka teologi yang rasional, moderat, dan sesuai dengan fitrah manusia. Pemahaman ini menjadi fondasi bagi mayoritas Ahlussunnah wal Jama’ah dan terus relevan dalam membimbing umat Islam di tengah kompleksitas dunia modern. Mempelajari Asy’ariyah adalah menyelami kedalaman rasionalitas iman yang kokoh dan indah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
