Khazanah
Beranda » Berita » Mental Kuat Itu Bukan Gak Nangis, Tapi Gak Nyerah

Mental Kuat Itu Bukan Gak Nangis, Tapi Gak Nyerah

Ilustrasi tentang kekuatan mental yang tidak menyerah meski menangis
Seorang pemuda duduk di bawah cahaya senja, air matanya jatuh tapi wajahnya tenang. Di belakangnya, bayangan dirinya berdiri tegak memandang langit, melambangkan kekuatan setelah tangis

Surau.co. Dalam kehidupan yang penuh tekanan, banyak orang salah paham tentang arti “mental kuat.” Kita sering mengira bahwa seseorang yang kuat adalah yang tidak menangis, tidak rapuh, dan selalu tampak tangguh di hadapan orang lain. Padahal, kekuatan sejati tidak diukur dari seberapa sering seseorang menahan air mata, melainkan dari seberapa ia mampu bangkit kembali setelah jatuh.

Frasa “mental kuat itu bukan gak nangis, tapi gak nyerah” mengajak kita melihat kekuatan mental dari sudut pandang yang lebih manusiawi. Menangis tidak selalu tanda kelemahan, justru bisa menjadi bentuk keberanian menghadapi kenyataan. Dalam Islam, tangis yang lahir dari keikhlasan dan kesadaran diri bahkan bernilai ibadah. Rasulullah ﷺ sendiri pernah menangis ketika berdoa, ketika kehilangan orang yang dicintai, bahkan ketika membaca Al-Qur’an.

Kekuatan sejati bukanlah membatu, melainkan tetap lembut di tengah badai kehidupan. Mental yang kuat bukan yang tak pernah retak, melainkan yang mampu memperbaiki diri setiap kali hancur.

Menangis Bukan Lemah, Tapi Manusiawi

Dalam masyarakat modern, ada tekanan sosial untuk selalu tampak “baik-baik saja.” Banyak orang menahan tangis demi terlihat kuat. Padahal, menangis adalah bagian dari ekspresi emosi yang sehat. Dalam psikologi modern, tangisan membantu mengeluarkan beban emosional dan menyeimbangkan perasaan.

Al-Qur’an pun mengabadikan tangisan para nabi sebagai tanda keimanan, bukan kelemahan. Allah berfirman tentang para hamba-Nya yang saleh:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Mereka tunduk bersujud sambil menangis, dan (tangisan itu) menambah kekhusyukan mereka.”
(QS. Al-Isrā’: 109)

Ayat ini menegaskan bahwa air mata bisa menjadi jembatan antara hati yang lembut dan Tuhan yang Maha Penyayang. Menangis karena kelelahan, karena doa yang belum terkabul, atau karena kehilangan, tidak menjadikan seseorang lemah. Justru itu bukti bahwa hati masih hidup, masih merasa, dan masih berharap.

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

البُكَاءُ مِنَ الرِّقَّةِ، وَالرِّقَّةُ مِنَ الْإِيمَانِ
“Tangis berasal dari kelembutan hati, dan kelembutan hati adalah bagian dari iman.”

Kelembutan hati inilah yang menjaga manusia tetap manusiawi di tengah kerasnya dunia. Menangis bukan tanda putus asa, melainkan bukti bahwa seseorang masih memiliki ruang untuk harapan dan cinta.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kekuatan Sejati: Bertahan Ketika Semua Terasa Berat

Setiap orang pernah berada di titik rendah. Ada yang kehilangan pekerjaan, gagal dalam studi, patah hati, atau kehilangan orang terkasih. Pada saat seperti itu, banyak yang berkata “tetap kuat” seolah kekuatan berarti tidak boleh runtuh. Padahal, bertahan adalah bentuk kekuatan paling sunyi yang sering tak terlihat.

Mental kuat bukanlah tidak merasakan sakit, tapi tetap berjalan meski terluka. Dalam Islam, keteguhan ini disebut ṣabr—kesabaran yang aktif. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 153)

Kesabaran bukan berarti diam tanpa usaha, melainkan terus berjuang dengan hati yang berserah. Mental kuat adalah kemampuan untuk tidak menyerah bahkan ketika harapan tampak kabur.

Imam Al-Mawardi juga menjelaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

مِنْ حُسْنِ الْعَقْلِ أَنْ تَصْبِرَ عَلَى مَا تَكْرَهُ
“Bagian dari kecerdasan adalah mampu bersabar atas sesuatu yang tidak disukai.”

Artinya, orang yang kuat bukan yang tidak merasa sedih, tapi yang tahu bagaimana menata kesedihan agar tidak menguasai dirinya. Ia membiarkan tangis mengalir, lalu bangkit kembali dengan langkah yang lebih tenang.

Mental Kuat Adalah Kemampuan untuk Pulih

Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Kadang doa tak langsung dijawab, kadang usaha terasa sia-sia. Namun, di sinilah kekuatan mental diuji: bukan pada hasil, melainkan pada ketekunan untuk mencoba lagi.

Dalam dunia psikologi, konsep resilience (daya lenting) menggambarkan kemampuan seseorang untuk pulih dari kesulitan. Islam telah lama mengajarkan konsep ini melalui sabar, tawakal, dan syukur. Orang yang sabar akan tetap berusaha; yang tawakal akan tetap tenang; dan yang bersyukur akan tetap optimis.

Nabi ﷺ bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena seluruh urusannya adalah kebaikan.”
(HR. Muslim)

Hadis ini mengajarkan bahwa bahkan dalam kegagalan, ada ruang untuk kebaikan. Mental kuat bukan tentang menolak rasa sakit, tapi memahami bahwa setiap rasa sakit membawa pelajaran. Ia adalah kemampuan untuk pulih dengan lebih bijak, bukan sekadar bangkit dengan keras kepala.

Tidak Menyerah: Bukti Iman yang Hidup

Tidak menyerah bukan berarti tak pernah ingin berhenti, tetapi tetap melangkah walau perlahan. Dalam perjuangan hidup, setiap orang pasti mengalami masa ingin menyerah. Namun, iman menuntun kita untuk terus percaya bahwa badai akan berlalu.

Allah berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirāḥ: 6)

Ayat ini tidak mengatakan “setelah kesulitan,” tetapi “bersama kesulitan,” menandakan bahwa harapan selalu hadir bahkan di tengah derita.

Imam Al-Mawardi berkata:

مَنْ لَمْ يُجَاهِدْ نَفْسَهُ لَمْ يَسْتَقِمْ دِينُهُ
“Barang siapa tidak berjuang melawan dirinya, maka agamanya tidak akan tegak.”

Menyerah pada keadaan berarti berhenti berjuang melawan diri sendiri. Padahal, jihad terbesar adalah jihad melawan keputusasaan. Mental yang kuat adalah hasil dari latihan batin, bukan warisan lahir. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa Tuhan selalu dekat, bahkan ketika dunia terasa menjauh.

Menangis, Lalu Melanjutkan Langkah

Sering kali, setelah menangis, seseorang merasa lebih ringan. Air mata bukan tanda kalah, tetapi bagian dari proses penyembuhan. Orang yang menangis lalu bangkit adalah pemenang sejati dalam pertempuran batinnya.

Menangis adalah cara tubuh dan jiwa berdialog. Tangisan adalah bahasa hati yang jujur, sementara menyerah adalah keputusasaan yang membungkam harapan. Maka, lebih baik menangis dengan doa daripada diam dalam keputusasaan. Itulah bentuk mental kuat yang sejati—yang tahu kepada siapa ia harus bersandar ketika lelah.

Kekuatan Hati: Ketenangan di Tengah Ujian

Ketenangan bukan berarti tak ada badai, tapi kemampuan untuk berdiri di tengah badai tanpa kehilangan arah. Orang yang bermental kuat tidak menolak ujian, melainkan belajar menemuinya dengan hati yang tenang.

Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Al-Mawardi menerangkan:

الْقَلْبُ الْمُطْمَئِنُّ هُوَ عِمَادُ النَّفْسِ
“Hati yang tenang adalah tiang penyangga bagi jiwa.”

Ketika hati tenang, pikiran jernih, dan langkah pun mantap. Maka, mental kuat tidak tumbuh dari ambisi semata, tetapi dari keseimbangan antara doa, usaha, dan penerimaan.

Penutup: Kuat Itu Tetap Berjalan, Meski Sambil Menangis

Hidup tidak selalu tentang kemenangan besar. Kadang, bertahan sehari lagi saja sudah termasuk keberanian. Menangis tidak menjadikanmu lemah; yang membuatmu kuat adalah keberanian untuk melangkah lagi setelah air mata itu kering.

Kuat bukan berarti tidak pernah goyah, tapi tetap memilih bangkit setiap kali terjatuh. Dalam setiap luka, Allah menitipkan hikmah; dalam setiap tangis, ada kasih yang membersihkan hati.

Jadi, bila hari ini kamu menangis, jangan malu. Biarkan air mata menjadi saksi perjuanganmu, lalu berdirilah lagi dengan tenang. Karena mental kuat itu bukan gak nangis, tapi gak nyerah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement