Khazanah
Beranda » Berita » Melihat Diri Sendiri Dulu Sebelum Komen

Melihat Diri Sendiri Dulu Sebelum Komen

Ilustrasi refleksi diri sebelum berkomentar di media sosial.
Seorang pemuda duduk di depan layar ponsel yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, separuh wajahnya bercahaya, separuh lainnya teduh.

Surau.co. Kita hidup di zaman ketika komentar lebih cepat lahir daripada pemikiran. Di media sosial, setiap berita, potongan video, atau status pribadi sering kali disambut derasnya komentar, baik yang bijak maupun yang tajam menyayat. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya manusia berbicara tanpa menimbang. Padahal, dalam pandangan Islam, berbicara bukan sekadar mengeluarkan suara—ia adalah cermin dari hati dan akal oelh karena itu penting untuk melihat diri sendiri sebelum berkomentar.

Lihat diri sendiri dulu sebelum komen maksudnya adalah mengajak kita berhenti sejenak sebelum menilai orang lain. Ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi juga bentuk pendidikan sosial: membangun kesadaran diri, menjaga etika publik, dan melatih empati. Dalam konteks digital, pesan ini menjadi semacam “rem spiritual” agar jari-jemari tidak lebih cepat dari hati nurani.

Budaya Komentar dan Krisis Refleksi

Media sosial menciptakan ruang baru bagi partisipasi publik. Siapa pun bisa berbicara, berdebat, dan menilai. Namun, di balik kebebasan itu, muncul fenomena over-commenting—yakni kecenderungan menilai tanpa refleksi. Banyak yang merasa dirinya sudah tahu segalanya, padahal mungkin hanya melihat sebagian kecil dari realitas.

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

قَدْ يَسْتَخِفُّ الْإِنْسَانُ بِقَوْلِهِ وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيمٌ
“Seseorang kadang meremehkan ucapannya, padahal di sisi Allah ucapannya itu amat besar.”

Saat Tidak Ada yang Melihat, Allah Tetap Mengawasi

Kalimat ini menegaskan, kata-kata bukan hal sepele. Setiap komentar, baik di dunia nyata maupun dunia maya, memiliki bobot moral dan spiritual. Karena itu, sebelum berkomentar, kita seharusnya melihat ke dalam diri: apakah kita memahami konteksnya, apakah ucapan kita membawa maslahat, atau justru menambah luka sosial?

Krisis refleksi terjadi ketika manusia lebih sibuk melihat kesalahan orang lain daripada memperbaiki dirinya. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:

طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ
“Beruntunglah orang yang sibuk dengan aibnya sendiri sehingga tidak sempat memerhatikan aib orang lain.”
(HR. al-Bayhaqi)

Hadis ini seolah menjadi kritik sosial yang sangat relevan hari ini. Ketika ruang publik dipenuhi komentar pedas dan hujatan, Islam mengajak kita menundukkan pandangan—bukan hanya mata, tetapi juga opini.

Menilai Tanpa Memahami: Sumber Kekacauan Sosial

Banyak konflik sosial muncul bukan karena perbedaan fakta, melainkan karena kesalahpahaman yang lahir dari komentar terburu-buru. Di ruang digital, sebuah potongan video berdurasi 10 detik bisa memicu perdebatan panjang tanpa dasar. Orang berlomba-lomba berkomentar, tetapi sedikit yang bertanya: “Apakah aku benar-benar memahami hal ini?”

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Komentar yang tidak berpijak pada pengetahuan adalah bentuk kezaliman kecil yang bisa berdampak besar. Imam Al-Mawardi juga mengingatkan:

مَنْ تَكَلَّمَ فِي مَا لَا يَعْنِيهِ لَمْ يَسْلَمْ مِنَ الزَّلَلِ
“Siapa yang berbicara tentang hal yang bukan urusannya, ia tidak akan selamat dari kesalahan.”

Kutipan ini sejalan dengan prinsip etika komunikasi dalam Islam: berbicara bila tahu, diam bila ragu. Dalam masyarakat modern, pesan ini sangat relevan untuk membangun ekosistem digital yang sehat. Menilai tanpa memahami bukan hanya mencederai orang lain, tetapi juga menodai integritas diri sendiri.

Maka, “melihat diri sendiri dulu” bukan berarti diam seribu bahasa. Ia adalah latihan kejujuran intelektual dan moral untuk memastikan setiap pendapat yang kita keluarkan lahir dari pengetahuan, bukan prasangka.

Refleksi Diri: Cermin dari Akhlak

Refleksi diri adalah bagian penting dari pendidikan karakter. Dalam tradisi Islam, muhasabah menjadi fondasi pembentukan akhlak. Al-Qur’an mengingatkan:

Manfaat Memahami Makna Tauhid

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu (sendiri).”
(QS. al-Mā’idah: 105)

Ayat ini menegaskan pentingnya mengoreksi diri sebelum mengoreksi orang lain. Melihat diri sendiri bukan tanda kelemahan, tetapi bentuk kematangan spiritual. Orang yang mampu bercermin pada dirinya lebih mudah memahami kelemahan orang lain tanpa menghakimi.

Dalam konteks sosial, refleksi diri mencegah kita menjadi bagian dari budaya saling menjatuhkan. Ia menumbuhkan empati dan kesabaran, dua nilai yang kini langka di dunia digital. Dengan berlatih introspeksi, kita bukan hanya memperbaiki komunikasi, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan.

Adab dalam Berkomentar

Berkomentar adalah bentuk komunikasi, dan komunikasi tanpa adab melahirkan kekacauan. Al-Mawardi menjelaskan dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn:

إِذَا تَكَلَّمْتَ فَكُنْ عَلَى كَلَامِكَ بَصِيرًا، وَإِلَّا كُنْ فِي صَمْتِكَ حَكِيمًا
“Jika engkau berbicara, maka hendaklah engkau memahami ucapanmu; bila tidak mampu, maka bijaklah dalam diam.”

Prinsip ini menjadi pedoman universal bagi netizen modern. Sebelum menulis komentar, tanyakan tiga hal:

  1. Apakah komentarku benar?
  2. Apakah komentarku bermanfaat?
  3. Apakah komentarku disampaikan dengan adab?

Jika salah satunya tidak terpenuhi, diam lebih utama. Dalam diam pun ada nilai ibadah, sebab ia menjaga kehormatan diri dan orang lain.

Etika ini juga menjadi dasar dalam pendidikan digital di masyarakat Muslim. Generasi muda perlu diajarkan bahwa kebebasan berekspresi tidak sama dengan kebebasan menyakiti. Setiap komentar adalah jejak, dan jejak digital adalah bagian dari tanggung jawab moral.

Membangun Budaya Dialog, Bukan Cacian

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang gemar berdialog, bukan mencaci. Dialog menumbuhkan pengetahuan, sedangkan cacian menumbuhkan permusuhan. Dalam dunia maya, dialog berarti berani mendengarkan, menghargai perbedaan, dan mengoreksi diri bila salah.

Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan hikmah, bukan dengan amarah. Allah berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.”
(QS. an-Naḥl: 125)

Ayat ini menegaskan bahwa kritik dan komentar harus disampaikan dengan kebijaksanaan. Hikmah berarti tahu kapan berbicara, bagaimana berbicara, dan kepada siapa berbicara. Maka, komentar yang benar bukan hanya soal isi, tetapi juga niat dan cara penyampaian.

Melihat Diri: Awal dari Perubahan Sosial

Perubahan sosial yang besar sering dimulai dari hal sederhana: keberanian untuk melihat ke dalam diri. Saat setiap individu berani bercermin, ia akan lebih hati-hati dalam menilai, lebih bijak dalam berkata, dan lebih lembut dalam menasihati.

Melihat diri sendiri sebelum berkomentar juga berarti memahami bahwa kita semua tidak sempurna. Setiap manusia memiliki kekurangan, dan kesadaran itu membuat kita lebih rendah hati. Dalam masyarakat yang penuh komentar, kerendahan hati menjadi oase yang menyejukkan.

Ketika setiap komentar didasari kesadaran diri, ruang digital akan lebih damai. Tidak ada lagi debat kusir, hujatan, atau fitnah yang mengeringkan nurani. Yang ada adalah percakapan yang menumbuhkan pengetahuan dan kasih sayang.

Penutup: Diam yang Menumbuhkan Hikmah

Kadang, diam lebih fasih daripada seribu kata. Diam bukan karena tidak peduli, tetapi karena sadar bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam diam yang penuh refleksi, kita belajar mendengar, memahami, dan mengasah empati.

Mari mulai dari diri sendiri: sebelum jari mengetik, biarkan hati menimbang; sebelum lidah berbicara, biarkan akal berpikir. Sebab, sebagaimana kata Imam Al-Mawardi, “Orang bijak adalah yang menimbang ucapannya sebelum keluar dari lisannya.”

Dan ketika kita mampu menahan diri untuk tidak mudah mengomentari, sesungguhnya kita sedang mempraktikkan satu bentuk kebijaksanaan sosial: menata hati sebelum menata kata.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.